“Mencekal” Penceramah Radikal


Upaya pemerintah untuk memberantas radikalisme terus dilakukan. Kali ini dengan himbauan agar tidak mengundang penceramah radikal. Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan sempat meminta penjelasan terkait hal ini. Dan akhirnya BNPT pun merilis lima indikator seorang penceramah bisa terkategori radikal sebagaimana dilnasir Kompas.com, 05/03/2022.

Radikalisme seolah terus menjadi senjata utama bagi rezim untuk mengalihkan perhatian dari persoalan lebih besar yang dihadapi masyarakat. Di saat harga kedelai naik, masyarakat berebut minyak goreng murah, merangkaknya harga tepung dan daging, polemik IKN, kontroversi penundaan pemilu dan banyak persoalan lainnya, isu radikalisme dimunculkan kembali. Dinarasikan terus menerus seolah pemberantasan radikalime lebih penting dari penyelesaian kasus korupsi yang telah menggurita dan lebih utama dibanding persoalan sulitnya ekonomi masyarakat usai pandemi.

Dan kini, upaya “mencekal” para penceramah yang dianggap radikal ini dilakukan karena kekhawatiran akan masuknya ajaran radikal tersebut ke tubuh aparat TNI dan Polri. Padahal   jika dicermati dari narasi-narasi yang selama ini disuarakan oleh sekelompok orang yang dikategorikan sebagai penceramah radikal, hampir semuanya merujuk kepada sumber-sumber syar’i. Jadi dalam kacamata Islam, itu semua adalah pendapat yang islami karena memiliki dalil syariat.

Dalil syariat yang digunakan adalah dasar untuk menilai sebuah kebenaran. Sebab dalil ini berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah yang sudah dipastikan kebenarannya. Maka berpegang teguh pada keduanya akan mengantarkan pada jalan kebenaran sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Saw dalam sebuah haditsnya

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi, HR. Malik, al-Hakim, dan al-Baihaqi)

Allah Swt sendiri telah menggambarkan dengan jelas balasan bagi orang yang tidak mau mengikuti petunjuk-Nya, tidak mau berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah. Allah Swt berfirman:

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى. وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta”. (Q.S Thaha: 123 -124).

Dalil-dalil syariat adalah sumber kebenaran. Perbedaan landasan untuk menyatakan sesuatu itu benar atau salah menjadi hal yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin. Sebab jika kaum muslimin tidak menggunakan petunjuk dari Allah Swt untuk menilai konten ceramah para dai maka justru dia akan tersesat. Apalagi jika kaum muslimin hanya sekadar menggunakan lima indikator yang dirilis BNPT untuk menentukan konten ceramah yang benar, maka ini akan membuat para dai dan masyarakat hanya akan melihat Islam secara parsial.

Seakan Islam hanya mengatur persoalan akhlaq, hanya memberikan rambu-rambu soal pergaulan, dan hanya ada dalam pengaturan ibadah saja. Seolah Islam tidak hadir dalam pengaturan urusan umat, absen dari dunia politik dan tak mampu menyelesaikan persoalan ekonomi yang kian hari kian bermasalah. Padahal Islam adalah agama sekaligus ideologi yang hadir dengan membawa solusi bagi setiap problematika yang dihadapi manusia.

Islam memiliki ajaran yang sempurna dan kafah yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Sebab Islam berasal dari Allah yang Maha Baik, diturunkan pada rasul terbaik dengan perantaraan malaikat yang terbaik pula. Jadi bagaimana mungkin ajaran Islam, yang bersumber dari dalil-dalil syariat dan sudah dipastikan kebenarannya, itu dituding sebagai ajaran yang membahayakan negara dan membawa bibit radikalisme? Bagaimana mungkin para ulama yang tulus menyebarkan ajaran Islam yang mulia ini dituding sebagai penceramah radikal yang senantiasa menyebarkan bibit-bibit kebencian terhadap pemerintah?

Maka, “mencekal” para penceramah radikal bukanlah solusi bagi negeri ini. Mengangkat isu radikalisme sebagai satu-satunya agenda penting juga bukanlah cara yang tepat untuk menyelesaikan persoalan negeri ini. Yang justru harus dilakukan adalah dengan membersihkan diri dari para pejabat yang korup, yang telah memakan uang rakyat dan mengembalikannya kembali pada rakyat dalam bentuk pemenuhan seluruh kebutuhan pokoknya. Mengatur ekonomi tanpa riba sehingga roda perekonomian di sektor real bisa berjalan dengan lancar. Serta memastikan tidak adanya money politics dalam pengaturan setiap kebijakan di negeri ini. 

Yang pasti upaya-upaya itu akan sangat sulit dilakukan tanpa mengganti sistem kapitalis sekuler yang telah mencengkeram dengan kuat negeri ini, kecuali dengan kembali pada sistem Islam. Sebab dengan kembali pada sistem Islam, Allah akan meridlainya. Dan jika Allah telah ridla maka apapun bisa terjadi. Wallahualam.


Oleh Kamila Mustadjab

Posting Komentar

0 Komentar