Sejak awal direncanakan perhelatan MotoGP yang berlangsung di Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Maret 2022 menyisakan berbagai komentar dan kritik. Wajar, sebab pelaksanaan balap motor ini dinilai tak menghiraukan kondisi masyarakat yang tengah dihujani berbagai problematika, seperti dampak pandemi, kelangkaan minyak goreng dan meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok. Apalagi diketahui pembangunan sirkuit ini memakan dana kurang lebih 2,5 T rupiah.
Sebagaimana dilansir kumparan.com (19/03/2022), uang negara hingga Rp 2,5 triliun digelontorkan demi menyukseskan penyelenggaraan MotoGP Mandalika. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merinci, ada Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) sebesar Rp 1,3 triliun. Kemudian pengalokasian APBN melalui anggaran kementerian dan lembaga sebesar Rp 1,18 triliun. Lalu Insentif PPN atas Jasa Kena Pajak Rp 240,73 miliar dan Insentif Bea Masuk dan Pajak Impor Rp 10,41 miliar.
Anehnya bagi sebagian orang, penggelontoran uang negara sebesar itu dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Pengamat olahraga, Ermiel Thabrani pernah berpendapat, "Ini seperti orang baru kerja dan punya istri, terus mau beli rumah. Tidak bisa untuk (berkata) 'Tidak bisa (gelar MotoGP, Piala Dunia Basket, dan Olimpiade)', harus bisa. Nyicil kek, kurangi kek pengeluaran, efektifkan anggaran, harus dipaksakan. Nah anggaran pembangunan dan belanja negara tidak pernah lebih, pasti tekor. Oleh karena itu, sekarang ini bukan (masalah) di anggaran tapi komitmen politik. Bagaimana caranya? Tempatkanlah perencanaan event ini di setiap rapat kabinet dan pembuatan keputusan, ini (tuan rumah MotoGP dan Olimpiade) harus terus digalang.” (cnnindonesia, 16/03/19)
Ini menunjukkan bahwa ajang balap motor semacam ini atau rencana menjadi tuan rumah Olympiade 2023 nanti memang sengaja dipaksakan masuk pada prioritas program kerja pemerintah. Dengan iming-iming bahwa ini adalah ajang bergengsi yang bertaraf internasional. Dengan begitu Indonesia akan mendapat keuntungan dan memperoleh kebanggaan menjadi negara yang diperhitungkan di level internasional.
Tentu saja semua itu hanya menguntungkan pihak pabrikan motor, pemilik hotel dan property. Tapi tidak memberikan dampak positif yang besar bagi masyarakat. Andai uang sebesar itu digunakan untuk membangun infrastruktur yang merupakan fasilitas umum, seperti jembatan, bendungan, akses jalan di wilayah terpencil, sekolah, pasar, rumah sakit dan sebagainya tentu akan lebih besar manfaatnya untuk masyarakat.
Sayangnya hal ini tidak menjadi hal urgen yang perlu diperhatikan oleh rezim. Tidak menjadi fokus dan bukan hal prioritas yang harus dikedepankan. Bagi pemerintah kebanggaan di dunia internasional lebih penting dibanding kesejahteraan masyarakat. Dan konsep semacam ini adalah dampak dari penerapan sistem kapitalis yang hanya memandang kesuksesan sebuah negara dari berbagai sarana dan infrastruktur yang ada tanpa memperhatikan aspek moral dan ruhiyah di dalamnya.
Skema pengaturan anggaran ala Kapitalis ini memang berbeda jauh dengan Islam. Sebab motif melakukan pembangunan infrastruktur di Islam adalah untuk menjalankan tugas negara sebagai pihak yang melakukan riayah syu’un. Sementara dalam sistem kapitalis, negara hanya bertugas sebagai regulator dan fasilitator saja. Sedang yang melakukan pembangunan fisik adalah pihak swasta dengan cara mengundang para investor.
Di dalam sistem ekonomi Islam, nash-nash syara telah menetapkan pemimpin adalah pengayom/pengurus masyarakat.
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi di dalam Islam, negara yang bertanggung jawab penuh terhadap berbagai urusan masyarakat, termasuk di dalamnya persoalan ekonomi. Maka, dalam mekanisme perekonomian Islam, menyubsidi rakyat itu bukan suatu dosa, malah wajib. Karena penguasa akan ditanya di hari kiamat tentang apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Berbanding terbalik dengan sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat ini, yang melarang rakyatnya disubsidi terus-menerus oleh negara.
Demikianlah Islam mendudukkan fungsi negara sebagai pengayom masyarakat. Jadi fungsi negara bukanlah pihak yang akan memuluskan kepentingan asing, kepentingan para investor dan para pemilik modal. Karenanya jika kapitalisme sudah terbukti membuat bangkrut negeri ini kenapa tidak segera kembali kepada pengaturan syariah Islam untuk menyambut seruan dari Allah agar terbebas dari kehidupan yang sempit? Firman Allah Swt:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan ayat-ayat kami, maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS: Al-A’raf: 96)
(Kamilia Mustadjab)
0 Komentar