Dua puluh lima tahun berlalu sudah sejak sirkuit Sentul menjadi lokasi dihelatnya MotoGP 1996 dan 1997 yang waktu itu masih bernama GP 500 cc. Kini, Indonesia kembali menghelat turnamen balap motor terelite di dunia itu di Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat 20 Maret 2022 kemarin. Sirkuit Mandalika yang memiliki 17 tikungan itu dianggap mampu menyelamatkan muka Indonesia, khususnya para pegiat balap otomotif tanah air, yang beberapa tahun belakangan cukup malu dengan para negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura yang rutin menjadi tuan rumah MotoGP dan F1.
Ambisi Indonesia menjadi tuan rumah ajang olahraga bergengsi akhirnya terpenuhi. Selain MotoGP, Indonesia juga berambisi untuk menjadi tuan rumah olimpiade 2032, namun gagal. Komite Olimpiade Internasional (IOC) menunjuk Brisbane, Australia, sebagai kota tuan rumah Olimpiade 2032. Indonesia akhirnya mulai fokus untuk bersiap kembali mengikuti bidding tuan rumah Olimpiade 2036. Keinginan untuk menjadi tuan rumah Olimpiade sudah dinyatakan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo usai Indonesia sukses menjadi tuan rumah Asian Games dan Asian Paragames 2018 lalu.
Ajang-ajang bergengsi di level internasional telah membuat para penguasa memiliki ambisi untuk membuat proyek-proyek yang sebenarnya tidak memberikan dampak positif secara langsung pada masyarakat. Dan proyek-proyek ambisius yang sudah nyata mangkrak kian banyak. Namun pemerintah tetap juga bersikukuh untuk terus membuat dan menciptakan proyek-proyek ambisius semacam sirkuit formula E dan IKN. Hingga dana APBN pun digelontorkan untuk itu padahal harga-harga mulai melangit dan mencekik masyarakat.
Proyek Ambisius ala Kapitalis
Ajang olahraga bergengsi yang ada saat ini jika dicermati lebih jauh bukanlah persoalan yang sangat urgen bagi sebuah negara. Pasalnya dalam Islam, tugas negara yang paling pokok adalah menyejahterakan rakyatnya, menegakkan hukum dan keadilan di tengah-tengah masyarakat dan memastikan bahwa semua sarana dan fasilitas umum bisa terakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Meski kegiatan ajang-ajang kompetisi di dunia internasional bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk menunjukkan eksistensi sebuah negara dan meningkatkan bargaining position sebuah negara di tengah konstelasi internasional, namun hal itu bukanlah keharusan bagi sebuah negara untuk mengikutinya. Bahkan jika ajang-ajang tersebut justru mengundang kemaksiyatan dan kemudharatan serta bisa melenakan umat dari ibadah kepada Allah Swt, maka negara tidak boleh mengikutinya.
Jika hari ini justru agenda-agenda semacam itu banyak digelar dan membuat banyak negara merasa malu jika tidak mampu mengikuti ajang-ajang semacam itu, maka dipastikan ada kesalahan dalam memandang tugas dan peran negara. Apalagi jika kemudian rasa malu para pemimpin dunia itu berimplikasi pada kebijakan negaranya, misal dengan mengalokasikan sumber dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat tapi akhirnya dipergunakan untuk membangun proyek-proyek ambisius demi harga diri sebuah negara yang semu. Maka bisa dipastikan ini adalah pandangan yang fatal tentang fungsi sebuah negara yang dimiliki seorang pemimpin negara.
Dan hari ini, hampir semua pemimpin negara memiliki pandangan yang sama tentang hal ini. Yakni menganggap ajang-ajang bergengsi bertaraf internasional itu sebagai salah satu prestasi dan prestise yang bisa dibanggakan. Kesamaan pandangan ini wajar ada karena arus dari sistem kapitalis, yang melahirkan pandangan ini, sangat kuat dan mendunia. Akhirnya hampir semua pemimpin dunia berkeinginan untuk menjadi tuan rumah berbagai event internasional meski untuk melakukan itu, mereka harus menebas rasa empati pada rakyatnya.
Lihat saja bagaimana proyek sirkuit Mandalika tetap dibangun di kala banyak orang terdampak pandemi. Begitu pula proyek IKN tetap berjalan meski rakyat harus berebut minyak goreng dan berjuang untuk bertahan hidup di tengah naiknya harga barang. Bahkan beberapa waktu yang lalu viral diberitakan seorang pasien, warga Bulu Kumba yang meninggal usai mengurus e-ktp agar bisa mendaftar sebagai peserta BPJS demi operasi yang akan dijalaninya. (Merdeka.com, 17/03/2022). Sungguh miris!
Demikianlah sistem kapitalis ini membangun peradabannya. Sebuah peradaban yang buruk yang menegasikan empati pada rakyat demi mengejar ambisi. Sebuah peradaban yang menginjak hak rakyat demi kemegahan infrastruktur yang sama sekali tak pernah dinikmati oleh rakyat. Sebuah peradaban sampah yang tidak mampu memanusiakan manusia.
Fungsi Negara dalam Islam
Karena itu memiliki pandangan yang jelas tentang fungsi sebuah negara sangat diperlukan bagi para penguasa. Dan Islam memiliki pandangan yang berbeda secara diametral dengan sistem kapitalis terkait hal ini. Dalam pandangan Islam, tugas negara tidak lain adalah menerapkan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Imam al-Ghazali menyatakan, “Kekuasaan itu penting demi keteraturan agama dan keteraturan dunia. Keteraturan dunia penting demi keteraturan agama. Keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat. Itulah tujuan yang pasti dari para nabi. Karena itu kewajiban adanya Imam (Khalifah) termasuk hal-hal yang penting dalam syariah yang tak ada jalan untuk ditinggalkan. (Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 99).
Karenanya dalam pandangan Islam, negara adalah pihak yang memiliki kewenangan untuk memastikan terlaksananya semua hukum syariat, baik hukum-hukum itu dibebankan kepada individu seperti sholat dan puasa, atau dibebankan pada kelompok seperti aktivitas amar makruf nahi mungkar, atau bahkan yang dibebankan pada negara seperti menjamin kebutuhan pokok rakyat.
Negara mengelola keuangan negara untuk kepentingan rakyat. Cara mengelolanya harus mengikuti syariat. Peruntukannya pun harus sesuai syariat. Pemasukan dan pengeluaran juga mengikuti ketentuan hukum syariat. Tak ada satu pun yang bisa seenaknya membuat kebijakan yang bertentangan dengan syariat, sekalipun dia adalah penguasa. Itu sebabnya ketakwaan seorang pemimpin menjadi syarat utama. Dengan demikian tak kan ada proyek-proyek ambisius ala kapitalis yang hanya menguntungkan segelintir orang. Wallahua’lam.
(Kamilia Mustadjab)
0 Komentar