Penguasa Abai, Kedelai Melambai

 

Produk tahu dan tempe, makanan favorit penduduk Indonesia menghilang kembali dari pasaran. Pasalnya, para produsen tahu dan tempe di Jabodetabek serentak melakukan mogok produksi dan berjualan selama 3 hari, mulai 21 Februari hingga 24 Februari 2022 (pikiranrakyat.com, 21/2/2022). Hal ini memberi efek domino bagi para pedagang yang menggunakan bahan baku tahu dan tempe untuk turut tidak berproduksi.

Para produsen tahu dan tempe mengeluhkan harga kedelai yang meroket. Di Pulau Jawa, harga kedelai naik hingga Rp11.300 per kilogram. Angka ini jauh lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah tahun lalu, yakni maksimal Rp9.000 per kilogram. Sedangkan harga kedelai di luar Jawa bisa lebih tinggi. Seperti yang terjadi di Kota Medan mencapai Rp12.500 per kilogram (merdeka.com, 20/2/2022).

Diketahui bahwa harga kedelai di pasar internasional tengah meroket. Sebagai negara yang 90 persen pasokan kedelainya dari luar negeri, tingginya harga kedelai itu praktis mempengaruhi tingginya harga kedelai impor di Indonesia. Menteri perdagangan, Muhammad Lutfi menyampaikan bahwa pada 2021, Indonesia hanya mampu memasok tidak lebih dari 300 ribu ton kedelai. Sementara kekurangannya sebanyak 2,5 juta ton kedelai diimpor dari pasar internasional (cnbcindonesia.com, 23/2/2022).

Fenomena langkanya tahu dan tempe di pasaran bukan kali ini saja. Awal 2021, terjadi pula aksi mogok massal dari para produsen tahu dan tempe lantaran harga kedelai semakin mencekik, melonjak dari Rp7.000 (2020) menjadi Rp8.500 (2021). Lantas, kenapa hal ini terjadi secara berulang? Dan akankah meroket kembali harga kedelai di tahun mendatang?

Harga kedelai dalam sistem ekonomi dengan ruh kapitalisme yang diterapkan Indonesia saat ini sangat berpotensi untuk tetap merangkak naik sebagaimana telah berlalu di tahun-tahun sebelumnya. Sebab, minimnya campur tangan pemerintah dalam pengadaan kedelai telah tampak secara nyata dalam dua hal berikut:

Pertama, pertanian Indonesia loyo untuk memenuhi kebutuhan pokok sebagian warga Indonesia yang satu ini. Realisasi produksi kedelai dalam negeri pada 2021 hanya menyentuh 211 ribu ton, dan malah lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 296 ribu ton. Sementara kebutuhan sisanya yang masih sangat besar disuplai dengan cara impor dari berbagai negara.

Badan Pusat Statistik merilis, pada 2021, Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2,49 juta ton dengan 86,5 persen diimpor dari Amerika Serikat. Sementara, sisanya berasal dari Kanada, Argentina, Brazil, dan Malaysia.

Ketidakseriusan pemerintah dalam mencari solusi atas keluhan produsen tahu dan tempe awal tahun 2021 juga terlihat dari dipangkasnya dana Kementerian Pertanian. Pada 2021, anggaran Kementerian Pertanian dipangkas Rp6,33 triliun menjadi Rp15,51 triliun saja (nasional.kontan.co.id, 8/2/2021). Lebih khusus lagi, anggaran Direktorat Tanaman Pangan Kementerian Pertanian hanya sekitar Rp136 milyar, menyusut 69,85 persen dibandingkan tahun anggaran 2021 yang mencapai Rp231 milyar.

Kedua, dibiarkannya pihak swasta menguasai impor kedelai. Sementara pemerintah tidak melakukan apa-apa. Memang betul ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan Kepada Perum BULOG Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Namun, Menurut Direktur Utama Badan Urusan Logistik, Budi Waseso alias Buwas, BULOG tidak memiliki kewenangan untuk mengamankan kedelai sebagaimana padi dan jagung. Sehingga, impor kedelai hanya dilakukan oleh para importir swasta semata.

Buwas juga mengatakan, harga kedelai impor naik disebabkan oleh lingkaran setan kartel-kartel importir. Lingkaran setan ini sulit dibasmi, kecuali bersama-sama. Buwas menjelaskan bahwa jalur distribusi kedelai yang berlapis-lapis membuat ongkos pengiriman kedelai menjadi mahal, birokrasi terlalu panjang, dan akhirnya dibebankan kepada masyarakat (finance.detik.com, 3/2/2021).

Permainan importir swasta ini sangat sensitif dirasakan oleh para produsen tahu dan tempe. Sehingga, Ketua Pusat Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (Kopti) DKI Jakarta, Sutarto mengatakan bahwa apapun isu yang terjadi di luar negeri terlepas dari masa panen atau keterlambatan pengiriman, sampai ke Indonesia dampaknya menjadi kenaikan harga (mereka.com, 20/2/2022).

Demikianlah tindakan abai pemerintah dalam menyuplai kedelai bagi warga masyarakat. Sikap abai ini sesungguhnya telah lahir dari peradaban kapitalisme yang dipraktikkan di negeri ini. Negara memposisikan diri hanya sebagai regulator dalam kancah kehidupan. Hajat hidup orang banyak digantungkan kepada swasta, dengan dalih kebebasan berekonomi, kebebasan kepemilikan. Walhasil, rakyat akan terus dirugikan dan diprediksi akan ada agenda-agenda mogok produksi tahu dan tempe lagi jika kedua hal di atas tetap dipraktikkan.    

Dalam Islam, jika harga kedelai meninggi disebabkan karena faktor ketersediaannya yang kurang, maka daulah Islam akan membuat kebijakan untuk menanam kedelai dengan kualitas terbaik sehingga dihasilkan swasembada pangan.  Sebab, hal ini terkategori genuine demand dan genuine supply. Oleh karena itu, harus dilakukan usaha untuk intervensi harga dengan cara menyediakan lebih banyak kedelai di pasaran, melalui mekanisme pertanian lokal. Dengan demikian, harga kedelai akan kembali normal.

Jika harga kedelai meninggi disebabkan karena adanya distorsi pasar baik berupa penimbunan barang (ihtikar), tindakan melambungkan harga, atau kecurangan lainnya, maka daulah Islam harus menindak pelakunya. Sehingga, menyadari kesalahannya dan pengaruh tindakannya terhadap keseimbangan pasar. Dengan hukum Islam yang adil, para importir nakal seperti ini, jika ada, dapat ditindak dengan tegas.

Dalam menyediakan kedelai, daulah Islam akan melakukan penanganan secara serius dan tersistematis. Khalifah dapat menetapkan pembantunya, muawwin tafwidh, untuk menyelesaikan perkara kurangnya kebutuhan kedelai. Khalifah dapat menetapkan wilayah-wilayah strategis untuk menanam kedelai, serta mengalokasikan dana dari baitul mal untuk keperluan pengolahannya. Negara juga dapat mendistribusikannya secara adil sesuai keperluan di berbagai wilayah di dalam daulah Islam.

Dengan adanya mekanisme di atas, maka harga kedelai akan stabil, karena pasokannya yang stabil. Hanya saja, untuk melakukan hal itu, dibutuhkan political will pemerintah yang bagus, berorientasi pada penyelesaian urusan masyarakat, dalam rangka mengurusnya. Semua itu hanya mampu diwujudkan oleh institusi berbasis aqidah Islam, di mana penguasa mengurusi rakyatnya atas dasar tanggung jawab kepada Rabb-nya, yakni daulah Islam, Wallahu a’lam bishawwab.

Oleh Annisa Al Munawwarah  
(Aktivis Dakwah Kampus dan Pendidik Generasi)

Posting Komentar

0 Komentar