Pertolongan Terbaik untuk Saudara Kita, Pengungsi Rohingya

 



114 pengungsi Rohingya kembali terdampar di Aceh. Tepatnya di Desa Alue Buya, Bireuen pada Minggu (6/3). Setelah sekian hari berada di tempat pengungsian, mereka diusir oleh penduduk setempat. Alasannya, mereka tidak bisa diatur dan senantiasa mencoba untuk melarikan diri dari pengungsian. 


Kepala Desa Alue Buya Pasie, Muslem, membenarkan warganya bertindak mengusir pengungsi Rohingya karena tidak mau diatur. Penyebabnya, kata dia, diduga ada provokator di dalam rombongan pengungsi tersebut. (www.cnnindonesia.com, 21/3/2022)


Muslem menambahkan bahwa warga awalnya memperlakukan para pengungsi dengan baik. Mereka memberi makan, tempat, dan bantuan. Tapi ternyata tetap tidak terjadi integrasi antara pengungsi dan warga setempat. Padahal kedua belah pihak sama-sama muslim. Mereka tidak seperti kaum Anshor dan Muhajirin yang melebur menjadi satu umat dalam ikatan akidah Islam.


Nasionalisme, Sekat Imajiner, dan Langkah Gamang Penguasa


Masalah pengungsi Rohingya bukanlah masalah kemarin sore. Ini merupakan masalah lama yang seakan tak berkesudahan. Muslim Rohingya kini hidup di kamp-kamp pengungsian dan sebagiannya menjadi “manusia perahu” pasca mendapatkan pembantaian di negerinya. 


Manusia perahu terkatung-katung di perairan berharap ada negara menampung serta memberinya kewarganegaraan. Tapi harapannya tidak menjadi kenyataan. Tidak pernah ada negara yang benar-benar resmi membuka wilayahnya untuk mereka.


Mereka yang hidup di kamp pengungsian pun tidak berarti hidup mereka sudah tenang. Tempat yang mereka tempati hanyalah tempat darurat sekadar untuk merebahkan diri. Selebihnya mereka harus berjibaku mempertahankan hidup demi menyongsong masa depan yang tidak pasti.


Di Indonesia sendiri, para pengungsi Rohingya mayoritas ditampung di kamp-kamp pengungsian yang ada di Sumatera Utara dan Aceh. Mereka sering melakukan upaya melarikan diri menuju Malaysia. Karena dijanjikan ada harapan hidup di sana. Baik akan dinikahkan dengan laki-laki Rohingya di Malaysia atau bertemu dengan saudaranya yang terlebih dulu bisa masuk ke Malaysia. 


Karena di Indonesia sendiri mereka tidak mendapatkan kepastian hidup. Apakah bisa mendapatkan suaka dan diberikan kewarganegaraan hingga bisa hidup normal, tidak sekedar berstatus sebagai pengungsi dalam pengurusan UNHCR yang setengah hati. Lalu, justru timbul masalah baru yaitu konflik antara pengungsi dan warga pribumi.


Tampak pemerintah negeri-negeri tetangga Rohingya gamang dalam menyelesaikan masalah Rohingya. Mereka sudah terjebak dalam semangat komunal kedaulatan dan narasi nonintervensi yang menghambat tampilnya sisi kemanusiaan, apalagi spirit keagamaan. Padahal dalam Islam, menolong saudara seakidah adalah tuntutan iman sekaligus wujud persatuan.


Fakta ini makin membuktikan bahwa narasi HAM adalah bullshit adanya. Pada saat yang sama juga membuktikan bahwa bercokolnya paham nasionalisme menjadi penghalang terbesar bagi umat Islam mengekspresikan ukhuwah sebagai salah satu kewajiban agama mereka. Bahkan kehadiran paham ini menjadi salah satu sebab langgengnya penderitaan umat yang hidup di bawah sistem kepemimpinan berparadigma sekuler.


Peleburan Indonesia-Rohingya adalah Niscaya


Pengungsi Rohingya adalah muslim. Sesama muslim adalah saudara. Allah Swt. dalam QS.Al-Hujurat: 10, berfirman :

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al Hujurat ayat 10)


Persaudaraan Islam pun tertuang dalam hadis Rasulullah saw., “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menyayangi adalah bagaikan satu jasad, jika salah satu anggotanya menderita sakit, maka seluruh jasad juga merasakan (penderitaannya) dengan tidak bisa tidur dan merasa panas.” (HR Bukhari dan Muslim).


Islam mengajarkan bahwa sesama muslim adalah saudara, apa pun latar belakang bangsanya. Ikatan mereka adalah akidah Islam. Hanya saja persaudaraan Islam ini tak akan pernah terwujud jika kaum muslim hidup dalam sekat-sekat imajiner yang diciptakan nasionalisme masih membatasi ruang berpikir umat. 


Persaudaraan sejati hanya akan ada jika umat mengemban seluruh pemikiran Islam secara kafah dan menerapkan sistem Islam dalam kehidupan. Seperti yang terjadi ketika Rasulullah saw mempersatukan kaum Anshor dan Muhajirin. Kaum Anshor begitu antusias menyambut kedatangan kaum Muhajirin. Mereka benar-benar memberikan pertolongan yang terbaik dan benar-benar menolong. Bahkan, mereka sampai menawarkan tempat tinggal, pekerjaan, bahkan istri-istri mereka untuk dinikahi oleh kaum Muhajirin. 


Sama halnya antara Rohingya dan Indonesia. Pengungsi Rohingya adalah muslim yang sedang meminta pertolongan. Sudah sepantasnya mereka mendapatkan pertolongan terbaik berupa ijin menetap dan pemberian kewarganegaraan seperti yang dilakukan Sultan Bayezid II kepada pengungsi Yahudi dahulu kala. 


Sultan Bayezid II mengirim angkatan laut Ottoman di bawah komando Kemal Reis ke Spanyol untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi yang terusir dari Spanyol dengan adanya Dekrit Alhambra pada 31 Juli 1492. Sultan mengirimkan pengumuman ke seluruh wilayah dalam otoritasnya untuk menyambut para pengungsi dan memberi izin untuk menetap di wilayah Ottoman dan menjadi warga negara. Sultan Bayezid mengancam hukuman mati kepada seluruh orang yang mengancam para Yahudi dengan keras atau menolak mereka dari negeri muslim.


Inilah potret pembelaan atas nama kemanusiaan yang terbaik. Jika nilai kemanusiaan saja dijunjung tinggi, nilai persaudaraan muslim tentu nyata adanya. Bantuan Khilafah Utsmaniyah pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman I kepada Kesultanan Aceh dalam menghadapi penjajahan Portugis adalah salah satu contoh. (www.muslimahnews.net) 


Pengungsi Rohingya berhak atas pembelaan dan perlindungan yang lebih baik. Indonesia seharusnya memenuhi kewajiban tersebut karena Indonesia memiliki kemampuan. Tuntutan akan perlindungan ini seharusnya menjadi poin penting dalam agenda politik umat untuk mewujudkan kepemimpinan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam sekaligus berani menggunakan kekuasaannya untuk mewujudkan persaudaraan berdasarkan akidah–ukhuwah islamiah secara nyata—demi memenuhi seruan Allah Taala.


Oleh Rini Sarah



Posting Komentar

0 Komentar