Jika di Muara Angke warga berdemo menuntut ketersediaan air bersih kepada Pemprov DKI Jakarta, lain halnya dengan warga di Marunda. Mereka menuntut supaya polusi debu batu bara bisa segera teratasi.
Dilansir dari laman detikNews (14/3/2022), Warga Marunda, Jakarta Utara, melakukan longmarch dari Balai Kota Jakarta ke Kantor Kemenhub untuk menuntut penyelesaian masalah polusi udara yang telah berlangsung lama di kawasan tersebut. Dilansir dari berbagai media lainnya disebutkan dampak dari polusi debu tersebut bukan hanya pada lingkungan, tetapi juga kesehatan warga. Banyak warga yang mengeluhkan meningkatnya ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) akibat polusi batu bara.
Pada 2019 desakan warga supaya aktivitas bongkar muat batu bara oleh PT. karya Citra Nusantara (KCN) dihentikan sebenarnya sudah pernah dilakukan pula. Aktivitas bongkar muat batu bara dari kapal tongkang ke pelabuhan telah berdampak penyebaran polusi yang berbahaya untuk lingkungan dan masyarakat sekitar.
Pelabuhan KCN selama ini menjadi tempat singgah ratusan ton batu bara, sebelum disalurkan ke industri yang membutuhkan, seperti pabrik semen, pembangkit listrik tenaga uap, dan trading. Dalam tiga bulan tidak kurang 907 ribu ton batu bara masuk ke Pelabuhan Marunda milik PT KCN.
Dari aktivitas bongkar muat inilah ada residu batu bara berupa debu hitam yang membahayakan kesehatan. Seperti pneumokoniosis, yakni penyakit yang timbul karena penumpukkan debu batu bara di paru. Penumpukan tersebut membuat jaringan paru mengeras dan kaku sehingga fungsinya menurun. Penyakit lainnya yang dikeluhkan masyarakat yakni ISPA (infeksi saluran pernafasan akut). Bahkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan seorang anak yang terpaksa harus ganti kornea mata dari pendonor. Sebab, matanya sempat bernanah dan terus mengeluarkan air. Ada pula keluarga yang mengalami penyakit kulit yang menimbulkan gatal di sekujur tubuh. (tirto.id, 16/03/2022)
KCN sendiri dianggap ilegal karena tidak memiliki AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Gubernur DKI Jakarta sebagai regulator telah menegaskan bahwa PT KCN telah melanggar Perda No.1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Zonasi. Namun mereka mengabaikan surat peringatan yang dikeluarkan oleh Pemprov tersebut. (BeritaSatu.com 31/08/2019)
Lagi-lagi masyarakat dirundung permasalahan yang pelik. Setelah mencekik masyarakat dengan meroketnya harga barang kebutuhan hidup. Kondisi pencemaran udara yang mengancam keselamatan jiwa pun harus dirasakan masyarakat.
Dalam kondisi zaman yang semakin canggih, banyak pabrik yang berdiri. Hal ini seakan menjadi konsekuensi bagi lingkungan dan masyarakat. Dimana pastinya akan ada polutan-polutan yang dihasilkan pabrik atau perusahaan tersebut. Karena bagaimana pun, berdirinya berbagai pabrik tersebut salah satunya pengangkut batu bara di kawasan pelabuhan marunda, Jakarta Utara, bagian dari proses pemenuhan barang yang dibutuhkan masyarakat pula.
Hanya saja, tentunya harus ada kesepakatan antara pihak perusahaan dan pemerintah yang berwenang menerbitkan izin berdirinya perusahaan tersebut. Salah satunya terkait dengan penanganan polutan atau dampak yang timbul dari aktivitas perusahaan.
Namun, di sistem kapitalisme yang bercokol di negeri ini, kesepakatan atau butir-butir kewajiban perusahaan terhadap dampak lingkungan dan warga setempat tampaknya tidak begitu diperhatikan. Watak asli dari kapitalisme yang mementingkan materi di atas segalanya terlihat jelas dari sederet kasus kerusakan alam yang terjadi di bumi pertiwi ini. Sebut saja perusahaan nakal yang mencemari sungai di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Disebutkan oleh Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Pematang Siantar, Jekson Gultom, dari 71 perusahaan hanya 36 di antaranya yang telah memiliki dokumen Amdal dan IPAL (Instalasi pengolahan air limbah). Selebihnya masih membandel dan membuang limbah ke sungai. (TribunNews.com, 7/9/2011)
Tentunya masih banyak pula kasus serupa di berbagai daerah. Lantas di mana peran pemerintah? Mengapa kondisi ini terus-menerus terjadi, sehingga semakin banyak kerusakan alam terjadi. Berdampak pula pada kesehatan masyarakat yang terganggu.
Di sinilah dapat kita lihat, dalam sistem hari ini, di mana tidak ada pengawasan negara secara menyeluruh terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut. Negara dalam hal ini hanya berperan sebagai regulator yang mengeluarkan izin berdirinya usaha. Ditambah ketegasan dalam sanksi pun tidak ada. Sehingga tidak ada efek jera bagi perusahaan nakal yang melakukan perusakan alam dan kesehatan masyarakat.
Lain halnya dengan sistem Islam. Paradigma negara dalam Islam salah satunya adalah untuk melindungi dan memelihara jiwa. Sehingga adanya perusahaan atau industri yang berdiri dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tanpa membahayakan keselamatan alam dan masyarakat itu sendiri. Karena yang utama adalah keselamatan jiwa. Bukan untuk melakukan produksi secara jor-joran, sebagaimana hari terjadi hari ini.
Dengan berpedoman pada paradigma ini, tidak berarti negara Islam yakni Khilafah tertinggal dari negara lain dalam bidang industri. Sebaliknya, di masa kejayaannya, Khilafah telah memperlihatkan pada dunia bahwa dengan paradigma inilah Khilafah mampu menjadi mercusuar dalam teknologi maupun industri. Disebutkan pada 700 hingga 1700 M, umat Islam telah mampu mengembangkan industri yang terbentang dari Cina hingga Spanyol. Bahkan hal ini mendahului era revolusi Industri di Inggris pada pertengahan abad ke-18.
Pada masa Khilafah Abbasiyah, industri manufaktur didorong dan didukung penuh oleh kekhilafahan sehingga berkembang pesat di Irak. Begitu pula industri kertas berkembang dengan baik di Mesir. Sementara di Basra, Irak, berkembang banyak industri pembuatan kaca dan sabun.
Sementara di Persia, terkenal dengan industri emas, sulam, dan karpet. Berbagai produk industri kelas atas seperti kain satin, brokat, sutra, dan karpet diperdagangkan di sana. Tak kalah terkenalnya wilayah Damaskus, Suriah, yang memproduksi pedang baja. Pada awal abad ke-19 Suriah dikenal pula dengan produksi kaca berwarna dan dihias bagian pinggirnya (republika.co.id, 15/07/2020).
Begitulah pesatnya peradaban Islam tanpa mengorbankan keselamatan jiwa manusia maupun alam. Benarlah bahwa hanya Islam yang mampu mengatur isi dunia ini sehingga membawa rahmat bagi semua alam. Bukan sebatas memberikan kepuasan bagi segelintir orang yang rakus akan harta dunia.
Wallahu'alam
Oleh: Anisa Rahmi Tania, S.Pd.
0 Komentar