Regional Equilibrium Terkait dengan Agenda Penegakkan Khilafah Islam

 


Regional equilibrium atau keseimbangan kawasan mulai dikenal sejak dianutnya ideologi Kapitalisme dan Sosialisme di negara-negara di dunia. Saat itu, dunia terpecah dalam sekat-sekat negara seiring dengan diagung-agungkannya pemahaman nasionalisme. Istilah regional equilibrium ini kemudian menjadi kian dianggap penting manakala kedua ideologi tersebut semakin menampakkan arogansi dan semangat untuk saling mengungguli.


Pada hakikatnya setiap ideologi memang selalu ingin unggul di atas ideologi yang lain. Karenanya, setiap negara yang menggenggam kuat sebuah ideologi, pasti akan berusaha untuk mempertahankan kedaulatan dan kepentingan negaranya. Maka tidak mengherankan jika pada akhirnya peta regional equilibrium menjadi hal yang sangat diperhitungkan dalam persaingan antar ideologi di dunia. Sedangkan pembuat dan pengatur peta ini tentu adalah negara-negara adi daya yang selama ini memegang kekuasaan atas percaturan perpolitikan dunia.



Anggapan Pentingnya Regional Equilibrium 


Operasi militer Rusia atas Ukarina saat ini adalah contoh ril dari penjagaan regional equilibrium. Rusia mengklaim ingin mengamankan wilayah Donbass, Ukraina Timur dalam serangannya ke Ukraina sejak 24 Februari 2022, CNBC Indonesia (28/2/2022). Tujuan utama Rusia tampaknya bukan ingin menginvasi Ukraina, melainkan memberi peringatan kepada pemerintah negara tersebut. Serangan militer ini digadang-gadang merupakan titik kulminasi pemerintahan Vladimir Putin atas sikap keras kepala yang diambil pemerintah Ukraina. 


Volodymyr Zelenskiy, Presiden Ukaina saat ini, berkeras untuk bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang selama ini berupaya meredam ambisi ekspansi Uni Soviet di Eropa Timur. Ukaina enggan terus menerus berada di bawah bayang-bayang Rusia. Namun, jika Ukarina bergabung dengan NATO, maka ini dianggap akan membahayakan posisi Rusia. Hal ini karena wilayah Ukarina berbatasan langsung dengan wilayah Rusia. Posisi Ukraina secara strategis adalah negara buffer bagi Rusia. 


Rusia adalah negara pengemban ideologi Sosialisme/Komunisme. Sedangkan NATO yang merupakan gabungan dari negara-negara Eropa, Amerika Serikat (AS), dan Kanada adalah pengemban ideologi Kapitalisme. Jadi bisa dibayangkan apa yang akan terjadi manakala dua kepentingan dari dua ideologi yang bermusuhan saling berhadap-hadapan secara langsung. Apa lagi, jika ketegangan kemudian meruncing dan meyeret masing-masing sekutu kedua negara tersebut dalam konflik yang meluas. 


Rencana Ukraina ingin bergabung dengan NATO, adalah fakta kerasnya keinginan Ukraina untuk berlepas dari bayang-bayang Rusia. Terlebih lagi, Rusia sebagai negara yang pernah menjadi negara adi daya menyaingi AS dianggap perlu diberi penyeimbang agar tidak bisa menampakkan arogansinya lagi. Hal ini tentu tidak terlepas dari ideologi Kapitalisme dan Sosialisme yang memiliki misi menguasai untuk menjajah.


Sedangkan bagi Rusia, rencana Ukraina bergabung dengan NATO dipandang sebagai ancaman bagi negaranya. Rusia menganggap perlu mengamankan wilayah perbatasannya dengan Ukraina dari konflik antar ideologi. Apalagi bagi Rusia, Ukraina dianggap merupakan bagian dari Rusia. Hal ini karena sejarah panjang kedekatan di masa Perang Dingin yang dilakoni Rusia bersama dengan Ukraina. Jadi jika Ukraina memutuskan meninggalkan Rusia dan bergabung dengan musuhnya, ini dianggap oleh Rusia sebagai sebuah penghianatan sekaligus ancaman.



Telaah Islam Terkait Regional Equilibruim


Berbeda dengan Kapitalisme dan Sosialisme, ideologi Islam tidak memandang regional equilibrium adalah sesuatu yang penting harus ditegakkan. Hal ini karena menurut Islam, tegaknya Negara Islam bukan dilandasi oleh visi, misi, dan tujuan untuk menjajah negara lain. Apalagi untuk melakukan imperialisme, baik dengan cara invasi ataupun penguasaan politik dan ekonomi suatu negara melalui para kompradornya. Hal itu tidak pernah menjadi tujuan Negara berlandaskan Islam (Khilafah Islam).


Adapun anggapan bahwa Negara Islam boleh melakukan aneksasi adalah anggapan yang salah. Aneksasi adalah penggabungan atau pengambilan dengan paksa tanah (wilayah) orang atau negara lain untuk disatukan dengan tanah (negara) sendiri, atau memasukkan suatu wilayah tertentu ke dalam unit politik yang sudah ada, seperti negara, negara bagian atau kota. Negara Islam memang bisa memasukkan suatu wilayah menjadi bagian dari Negara Islam. 


Namun, hal itu setelah terlebih dahulu dilakukan tahapan dakwah Islam kepada pemimpin dan masyarakat di wilayah tersebut. Kemudian pemimpin wilayah yang diajak bergabung tersebut bisa menerima ajakan untuk bergabung, atau bisa pula menolaknya. Tidak ada paksaan dalam hal ini, apalagi intervensi yang berujung pada invasi. Perang (jihad) hanya akan diberlakukan bagi negara-negara atau wilayah yang memusuhi Khilafah Islam atau menyerang secara fisik (dengan kekuatan militer). 


Negara Islam atau Khilafah Islam sesungguhnya adalah sistem pemerintahan Islam yang didirikan untuk satu tujuan, yaitu menegakkan hukum syariat Islam, bukan hukum buatan manusia. Penegakkan Khilafah bukan demi kekuasaan atau pemerintahan itu sendiri, melainkan untuk menerapkan syariat Islam yang memang wajib untuk diterapkan pada umat manusia. Jadi, kewajiban menegakkan Khilafah sebenarnya hanya untuk mengikut pada tujuan asal yang menjadi sebab didirikannya Khilafah, yaitu penegakkan syariat Islam.


Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad menuliskan tentang eratnya hubungan kekuasaan dengan risalah Islam. Imam Ghazali mengatakan, ”Ad-diinu ussun wa as-sulthaanu haris. Wa maa laa ussa lahu fa-mahdumun wa maa laa harisa lahu fa-dhaa’i.” Artinya, agama adalah azas sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak ada azasnya akan roboh dan apa saja yang tidak ada penjaganya akan hilang.


Jadi, selain jelas kewajibannya, tegaknya syariat Islam dapat mewujudkan tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk taat kepada Allah semata. Tegaknya syariat Islam juga akan menghasilkan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi umat manusia di seluruh dunia. Sebagaimana firman Allah SWT: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya,” (TQS al-A’raaf ayat 96).


Bisa ditarik kesimpulan di sini, bahwa tegaknya Khilafah Islam adalah demi terwujudnya kebaikan bagi umat manusia. Penerapan syariat Islam dalam Kekhilafahan Islam juga akan menyinari dengan rahmat dan keberkahan bagi seluruh alam, bukan hanya terbatas bagi manusia saja. Tegaknya Kekhilafahan Islam bukan untuk menakuti negara lain, melainkan akan menebar kebaikan yang hakiki. Sehingga negara-negara yang pemerintahnya memusuhi Islam dapat melihat kebenaran dan kebaikan Islam yang sesungguhnya. 


Alhasil, jika kebaikan akan menebar dengan tegaknya Khilafah Islam, akankah regional equilibrium diperlukan? Hal ini karena, pada dasarnya kebaikan dan kebenaran Islam yang terwujud dalam sistem Islam yang diterapkan dalam institusi negara tidak pernah menjadi ancaman bagi siapapun, bahkan bagi orang kafir sekalipun. Jadi, keseimbangan kawasan (regional equilibrium) dengan menghadirkan kekuatan negara lain sebagai tandingan terhadap Kekhilafahan Islam sama sekali tidak diperlukan keberadaanya. Regional equilibrium hanya diperlukan saat ini, di masa perseteruan ideologi Kapitalisme dan Sosialisme masih berlangsung dengan keras. []


Oleh Dewi Purnasari

Aktivis Dakwah Politik

Posting Komentar

0 Komentar