Oleh Prof. Suteki M.Hum
Dalam acara Talkshow Ekspo Rajab yang berlangsung dengan penuh semangat tadi pagi (Minggu, 27/02/2022) Pak Karebet menanyakan kepada prof Suteki. Bahwa salah satu bonggol yang disebut oleh Ust. Ismail adalah hilangnya penerapan Islam yang kaffah yang akhirnya membuat semua turunan yang membuat rusak tatanan kehidupan dan semacamnya, lalu bagaimana menurut Prof. Suteki sebagai ahli hukum dalam pandangan hukum konvensional dan juga dari sisi hukum syariat?
Prof. Suteki menjawab dengan lugas, menurutnya hukum itu seperti sebuah bangunan hukum yang terdiri dari 4 aspek. Yang pertama adalah aspek ideologi, yang kedua aspek peraturan hukum, yang ketiga struktur masyarakatnya, dan yang keempat adalah aspek yang menyangkut aspek fisik atau kelembagaan. Menurut Prof. Suteki mengapa aspek ideologi ditempatkan di aspek paling utama? Karena masalah ideologi adalah domain tertinggi dari semua aspek tadi. Karena dengan perubahan ideologi maka otomatis akan merubah semua aspek dibelakangnya.
Prof. Suteki melanjutkan sebuah perubahan ideologi dari Islam ke ideologi kapitalis atau sosialis tentunya akan merubah yang tadinya Islam oriented mengarah menjadi seculer oriented. Jadi mengarah kepada hukum-hukum atau peraturan yang sekuler, yang memisahkan antara kehidupan duniawi dengan kehidupan ukhrowi, itu betul-betul terpisah, bahkan memisahkan urusan pemerintahan dengan agama. Seringnya kita mendengar bahwa negara ini bukanlah negara agama, tapi bukankah negara kita sering disebut dengan religious nation state. Dimana jika kita berbicara tentang Pancasila, di sila pertama jelas sekali tertulis “Ketuhanan yang Maha Esa” yang artinya dalam bahasa hukum itu menjadi bintang pemandu. Sehingga Islam yang juga adalah sebuah ideologi masuk menjadi sebuah hukum lalu ketika hukum tadi sudah berubah menjadi sekuler, apalagi ditambah dengan demokrasi maka hukum itu tidak lain menjadi konsensus atau kesepakatan.
Apalagi jika kita mengenal numeric democracy, jadi demokrasi kita adalah angka-angka sehingga hukum yang dibikin yang tadinya syariah oriented hingga menjadi kesepakatan sesuai dengan kepentingan-kepentingan. Siapa yang kepentingannya besar apalagi didukung dengan sumber daya yang cukup kuat apalagi kuat maka hukum akan tunduk dibawah kekuasaannya, kalau sekarang yang kita kenal dengan oligarki, yang artinya penguasa dengan pengusaha itu sudah menyatu.
Lalu kemudian persoalan struktur sosial itu, dari yang awalnya ummatan wahidah menjadi nation state, seperti yang dipahami oleh prof. Suteki bahwa ummatan wahidah itu adalah umat yang satu, bagaikan satu tubuh. Tetapi jika dilihat sekarang semenjak menjadi nation state, jangankan antar negara satu dengan yang lainnya, kelompok yang ada di dalam Islam saja sering mengalami perselisihan, bercerai berai, dan saling menuduh satu sama lainnya yang semestinya itu tidak perlu terjadi.
Lebih lanjut prof. Suteki menjelaskan mengenai persoalan aspek ke empat yaitu aspek fisik atau kelembagaan hukum itu lebih simple jika berhukum kepada Islam sebagai ideologi. Sedangkan sekarang ini yang berlaku adalah hukum nasional itu rumitnya bukan main, ada pengadilan tingkat pertama, tingkat kedua, ada tingkat ketiga. Hingga satu kasus saja bisa lima atau sepuluh tahun bisa selesai apalagi jika msalahnya adalah masalah perdata. Jadi, kalau mengikuti ajaran Islam pengadilan itu hanya satu, sehingga membuat beliau berfikir bagaimana jika di Indonesia pun mempunyai hanya satu pengadilan saja dengan memiliki hakim-hakim yang hebat, hakim yang ahli surga. Dan Ust. Karebet pun bertanya apakah hal itu mungkin dilakukan, sulit tidak? Tentu saja bisa selama ada kemauan dari umat Islam untuk berubah. Selama umat masih terpecah belah, tidak memiliki visi yang sama bagaimana bisa membangkitkan peradaban Islam. Tetapi kita juga jangan sampai menghilangkan upaya-upaya dari kelompok-kelompok yang memiliki keteguhan, untuk bagaimana tetap konsisten atau istiqomah tetap berada di jalan kebenaran memperjuangkan kembali supaya peradaban Islam itu bangkit dan tegak kembali, Jawab Prof. Suteki penuh semangat lalu bertakbir. Allahu Akbar!
Reporter : Elif Shanum
0 Komentar