#Wacana- Peresmian tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) semakin memperjelas kerusakan sistem kapitalisme global saat ini karena pertimbangan kebijakan yang diambil berdasarkan kepentingan pemilik modal. Pembangunan berkelanjutan hanyalah dalih untuk melanjutkan penjajahan gaya baru oleh elit global yang rakus akan pengaruh global demi kelancaran pemasukan keuntungan secara ekonomi. Tujuan maupun target yang disusun dikemas sedemikian rupa sehingga masyarakat global hanya berfokus pada target yang telah disusun berdasarkan paradigma kapitalisme-sekuler.
Kerusakan SDGs tidak hanya terlihat dari standar kemaslahatannya yang cacat namun juga dari segi pelaksanaan untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut yang nyatanya masih jauh dari standar pembangunan adil. Sebagai salah satu bukti nyata adalah pembangunan ibu kota negara baru di Indonesia yang diprioritaskan dengan alasan pembangunan nasional, namun pada penerapannya masih banyak evaluasi baik dari segi pemanfaatan lahan maupun pengambilan kebijakan yang sangat jelas berasaskan keuntungan materi.
Bukti kecacatan standar kapitalisme dalam SDGs lainnya yakni perwujudan kesetaraan gender yang dianggap sebagai solusi atas ketidaksejahteraan perempuan. Padahal akar masalah ketidaksejahteraan bagi perempuan maupun masalah kekerasan yang dialami oleh perempuan bukan semata-mata hadir karena adanya perbedaan peran bagi laki-laki dan perempuan. Belum lagi tujuan-tujuan dalam SDGs yang saling bertolak belakang. Di antaranya poin SDGs ke-13 mengenai penanganan perubahan iklim yang tidak sejalan dengan tujuan SDGs poin ke-9 terkait industri, inovasi, dan infrastruktur. Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam SDGs pada akhirnya dipatahkan oleh tujuan SDGs lainnya.
Kegagalan SDGs
Kegagalan maupun kerusakan yang terlihat jelas pada perencanaan pembangunan global SDGs sangat wajar terjadi karena penggunaan standar kapitalisme. Tujuan-tujuan yang disusun dalam SDGs pada akhirnya digunakan untuk memperkuat pengaruh pemilik modal dalam mengatur eksistensinya secara global. Kecacatan perencanaan pembangunan global ini seharusnya semakin menyadarkan masyarakat bahwa orientasi pengambilan kebijakan dalam sistem kapitalisme bukan lagi digunakan untuk menyukseskan kemaslahatan masyarakat namun hanya menguntungkan para pemilik modal.
Kegagalan pembangunan SDGs hakikatnya bukti kerusakan serta kegagalan sistem ideologi kapitalisme yang diterapkan oleh pemangku kuasa global saat ini. Setiap aspek kehidupan dituntut agar mengikuti standar kapitalisme-sekuler yang pada dasarnya rusak dan merusak. Penyusunan SDGs juga membuat masyarakat lupa pada akar masalah ketimpangan di dunia saat ini. Namun sayangnya, solusi yang tidak mengakar ini justru terus digaungkan oleh global dengan menggenggam kekuatan pemuda saat ini.
Aktivis Mahasiswa Suarakan SDGs, untuk Siapa?
Kerusakan serta kecacatan dari SDGs sudah begitu jelas, baik berdasarkan penerapan maupun standar landasan dalam pengambilan kebijakan. Namun, rencana global yang belum menyentuh akar masalah ini nyatanya masih disuarakan oleh para pemuda terutama aktivis mahasiswa. Potensi pemuda yang begitu besar ditambah lagi adanya bonus demografi tentu semakin meningkatkan perhatian elit global akan potensi pemuda terutama aktivis mahasiswa.
Penerapan sistem kapitalisme secara global tentu turut memberikan pengaruh pada para pemuda maupun aktivis mahasiswa untuk menyetujui rencana global yang ditawarkan karena kacamata maupun standar kehidupan yang dipakai masih berlandaskan ideologi kapitalisme-sekuler. Pengaruh sistem ini pula yang membuat para pemuda maupun aktivis mahasiswa belum menyadari akar masalah yang sistematis sehingga solusi yang disuarakan pun tidak sistematis serta tidak menyentuh akar masalah.
Pergerakan aktivis saat ini masih menyuarakan kebijakan-kebijakan yang mendukung SDGs, di antaranya aksi tuntutan penerapan Permendikbud 30 tentang PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual). Peraturan ini dibangun atas dasar kesetaraan gender yang merupakan salah satu poin SDGs. Namun, perlu diperhatikan pula masalah kekerasan seksual nyatanya tidak hadir hanya karena adanya ketimpangan peran gender laki-laki dan perempuan. Para pemuda pun terlupa bahwa adanya pengaruh sistem kehidupan sekuler yang memicu terjadinya kejahatan seksual.
Ditambah lagi standar peraturan ini hanya berdasarkan persetujuan korban atau consent. Standar yang digunakan sangatlah bias serta tidak menyentuh akar masalah sama sekali. Aksi ini merupakan salah satu bentuk terjebaknya pemuda pada perjuangan pragmatis yang tidak mengulas lebih lanjut faktor penyebab diterapkannya peraturan yang tidak solutif tersebut.
Suarakan Solusi Hakiki
Sudah saatnya aktivis mahasiswa sadar akan akar masalah sesungguhnya serta menyuarakan solusi hakiki atas segala permasalahan umat saat ini, bukan solusi pragmatis yang dirancang oleh kapitalis global. Kerusakan demi kerusakan yang terjadi saat ini hakikatnya karena kerusakan sistem ideologi kapitalisme serta belum diterapkan sistem yang sesuai dengan fitrah manusia.
Adapun sistem Islam memiliki solusi atas berbagai persoalan umat yang solutif. Hal ini telah terbukti oleh sejarah penerapan sistem Islam dalam institusi secara paripurna serta sesuai dengan janji Allah SWT dan bisyarah Rasulullah SAW.[]
Oleh: Isra Novita, Mahasiswi Universitas Indonesia
0 Komentar