Tempe Tahu Lagu Lama Yang Terus Terulang




Tempe tahu siapa yang tak kenal dengan makanan yang familiar di tengah masyarakat Indonesia. Makanan yang terbuat dari kacang kedelai dan kaya akan protein ini menjadi salah satu menu pengganti yang murah meriah dibandingkan daging ataupun telur. Namun satu pekan kemarin tempe dan tahu menghilang dari pasaran. Kalaupun ada, harganya sudah bisa dipastikan naik dan kemasannya makin mengecil dari biasanya.


Penyebab naiknya harga tempe dan tahu ternyata karena harga kedelai yang melonjak tinggi, sehingga para penghasil tempe tahu tidak dapat berproduksi. Alhasil tempe tahu menghilang dan masyarakat dibuat bersedih, baik produsen maupun konsumen. Tak mungkin bagi produsen tetap memproduksi tempe tahu jika harga bahan baku utamanya melejit tak terjangkau. Hal inilah yang menyebabkan mereka mogok produsi bahkan melakukan demo pada pemerintah.


Persoalan harga kedelai yang melambung tinggi sudah sering terjadi bagai lagu lama yang terus diputar. Namun sepekan ini para produsen tempe tahu berproduksi kembali setelah mogok selama tiga hari, tentunya dengan memperkecil ukurannya seperti yang terjadi di Kota Bogor. (https://bogor.suara.com 24/02/2022)


Pemerintah diharapkan turun tangan menangani hal ini karena harga kedelai yang melambung tinggi terus berulang. Padahal Indonesia merupakan negara agraris yang berpotensi besar untuk swasembada pangan termasuk kedelai.


Namun sayang potensi agraris ini menjadi sia-sia karena negara abai dalam penanganannya. Penanganan yang sempurna tentu hanya bisa diwujudkan dalam sistem yang sempurna dan paripurna yang berasal dari Zat Yang Maha Sempurna, yakni sistem Islam.


Ketika harga barang naik, sistem Islam bukan menyelesaikannya dengan mematok harga karena hal ini akan menimbulkan inflasi. Harga memang bisa stabil pada waktu tertentu, namun dampaknya akan mengurangi daya beli mata uang. Islam mengharamkan negara mematok harga. Islam justru mengharuskan mengikuti mekanisme pasar yaitu penawaran dan permintaan, sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.


Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Anas ra. yang mengatakan: Harga pada masa Rasulullah Saw. pernah membumbung tinggi. Lalu mereka melapor, "Ya Rasulullah, seandainya saja harga ini engkau potok (tentu tidak membumbung tinggi seperti ini)". Beliau menjawab, "Sesungguhnya Allah-lah Maha Pencipta, Maha Penggenggam, Maha Melapangkan, Maha Pemberi Rezeki dan Maha Menentukan Harga. Sesungguhnya aku sangat ingin menghadap kehadirat Allah, sementara tidak ada seorang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah" (HR. Ahmad).


Imam Abu Dawud juga menuturkan hadits dari Abu Hurairah ra. yang mengatakan: Sesungguhnya pernah ada seseorang datang, lalu berkata, "Ya Rasulullah, patoklah harga ini". Beliau menjawab, "(Tidak) justru biarkan saja". Kemudian beliau didatangi oleh laki-laki lain, lalu berkata, "Ya Rasulullah, patoklah harga ini". Beliau menjawab, "(Tidak), tetapi Allah-lah yang berhak menurunkan dan menaikkan harga" (HR. Abu Dawud).


Dengan begitu, Rasulullah sebagai kepala negara tidak mematok harga, namun justru membiarkan mengikuti mekanisme pasar (penawaran dan permintaan). Tetapi hal ini bukan berarti negara tidak melakukan intervensi. Intervensi negara bukan dengan mematok harga namun dengan cara lain yang tidak merusak persaingan di pasar. Intervensi negara dilakukan dengan menambah pasokan barang, agar ketersediaan barang tersebut kembali normal. Cara ini dilakukan untuk mengembalikan pasar tetap dalam kondisi stabil.


Kondisi ini bisa juga terjadi ketika di suatu wilayah terjadi krisis karena faktor alam, misalnya terjadi kekeringan atau adanya wabah penyakit yang mengakibatkan produksi suatu barang berkurang. Hal ini pernah terjadi di masa kepemimpinan khalifah Umar bin al Khatthab, dimana negara menyuplai barang ke wilayah Syam karena adanya wabah penyakit, dan mendatangkan kebutuhan barang dari Irak.


Naiknya harga barang juga bisa terjadi karena berbagai tindak kecurangan. Misal terjadi penimbunan (ihtikar) barang oleh pedagang, maka negara akan menjatuhkan sanksi dalam bentuk ta'zir kepada pedagang dan mewajibkannya menjual barang tersebut ke pasar. Bisa juga terjadi karena adanya penipuan harga (ghabn fâhisy) terhadap pembeli atau penjual yang sama-sama tidak mengetahui harga pasar, maka pelaku dikenai ta'zir disertai dengan hak khiyar (pilihan) kepada korban. Korban bisa membatalkan transaksi jual-belinya, bisa juga tetap melanjutkan transaksi tersebut. 


Sistem Islam yakni khilafah mempunyai kebijakan yang khas untuk mengendalikan stabilitas harga dengan cara yang benar sesuai syariat. Adapun kebijakan tersebut terangkum dalam lima poin, yaitu: 


1. Menjaga supply and demand di pasar agar tetap seimbang. Bukan dengan mematok harga.


2. Jika supply barang dan jasa berkurang, yang mengakibatkan harga dan upah naik karena demand-nya besar, maka ketersediaan barang dan jasa tersebut bisa diseimbangkan kembali oleh negara dengan menyuplai barang dan jasa dari wilayah lain.


3. Jika berkurangnya supply barang karena penimbunan, maka negara menjatuhkan sanksi ta'zir, sekaligus pemilik wajib melepaskan barangnya ke pasar.


4. Jika kenaikan harga tersebut karena penipuan, maka negara menjatuhkan sanksi ta'zir, sekaligus hak khiyar, antara membatalkan atau melanjutkan akad.


5. Jika kenaikan harga terjadi karena faktor inflasi, maka negara berkewajiban untuk menjaga mata uangnya dengan standar emas dan perak. Termasuk tidak menambah jumlahnya, sehingga menyebabkan jatuhnya nilai nominal mata uang yang ada.


Demikianlah langkah-langkah yang akan dilakukan khilafah dalam mengendalikan harga barang dan jasa. Langkah yang sempurna dan paripurna sehingga tidak akan menyebabkan suatu masalah berlarut-larut dan terus terulang tanpa penyelesaian yang tuntas. Saatnya kita kembali kepada sistem yang sempurna ini dan mencampakkan sistem kapitalisme yang hanya menghasilkan kezaliman dan kesengsaraan bagi rakyat.


Wallahu a'lam. 


Oleh : Titin Kartini



Posting Komentar

0 Komentar