Tentang BisKITA, Pelayanan Transportasi Publik Sejatinya Tugas Siapa?



Layanan transportasi publik di Kota Bogor masih mempunyai permasalahan. Adalah Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) Bogor masih mempunyai pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Mulai dari pembayaran gaji karyawan dengan jumlah miliaran hingga menyusutnya aset Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) dari Rp 35 miliar pada 2007 menjadi Rp 600 juta saja dalam audit terakhir. Padahal, itu merupakan uang rakyat.

Menurut Sektretaris Komisi II DPRD Kota Bogor Atty Somadikarya, kejelasan terkait dana PMP yang sudah diberikan Pemkot Bogor kepada PDJT Kota Bogor perlu dilakukan uji tuntas aset untuk melihat kondisi PDJT dinyatakan sehat atau tidak.

”Pada 2015 itu sudah jelas amanat gubernur (Jawa Barat) bahwa PDJT perlu melakukan uji tuntas aset sebelum menggunakan dana PMP Rp 5,5 miliar. Nah, ini sudah dilakukan belum uji tuntasnya. Kalau sudah mana hasilnya,” ujar Atty. (www.kompas.id)

Di lain pihak, ada hal yang perlu diperhatikan juga. 49 bus BisKITA yang menjadi sarana transportasi publik di Kota Bogor saat ini dimiliki oleh Koperasi Duta Jasa Angkutan Mandiri (Kodjari). Menurut akun mendos dari Kodjari, Kodjari merupakan Badan Usaha yang mewadahi pelaku usaha angkutan kota (pemilik/pengemudi) di wilayah Kota/Kab Bogor dan sekitarnya. Jadi Kodjari merupakan pihak swasta.

Hal itu menjadi pertanyaan besar bagi Atty dan Komisi II DPRD Kota Bogor. ”Jika semua unit bus ini punya Kodjari, terus yang kita dapatkan apa. Aspal punya kita, koridor punya kita, trayek punya kita, kalau operatornya Kodjari, apa yang kita dapatkan. Jadi ini bahaya karena Kodjari yang sekarang menguasai aspal Kota Bogor,” tegas Atty.

Sementara pihak PDJT sendiri melalui pernyataan Direktur PDJT yang baru dilantik 2 Desember lalu mengakui tengah melakukan berbagai macam perbaikan dan penyesuaian  masalah satu-persatu di tubuh PDJT agar ke depan berdampak positif secara bisnis, pelayanan, dan ekosistem di dalam PDJT.

PDJT berharap adanya kepastian dasar hukum dengan diloloskannya raperda perubahan badan hukum PDJT menjadi perumda agar rencana bisnis yang sudah disusun bisa berjalan dengan baik. Salah satu program kerjanya adalah melakukan revenue stream di berbagai halte. Nantinya, iklan-iklan bisa dipasang di setiap halte di Kota Bogor sehingga bisa menambah pendapatan bagi PDJT Kota Bogor. Hanya saja, PDJT menemukan kesulitan karena halte-halte tersebut masih merupakan milik dari Dinas Perhubungan Kota Bogor.

Pelayanan Transportasi Publik Kapitalistik

Permasalahan transportasi publik di Kota Bogor atau lebih luasnya Indonesia bermula dari pengelolaan transportasi publik secara kapitalistik. Dalam paradigma sistem sekuler kapitalis, transportasi dianggap sebagai sebuah industri sarana pendulang laba. Bukan bentuk layanan (sejati) bagi masyarakat.

Paradigma ini mengakibatkan kepemilikan fasilitas umum seperti transportasi publik dikuasai korporasi, yang secara otomatis mempunyai fungsi bisnis agar dapat meraih keuntungan sebesar-besarnya, bukan fungsi pelayanan.

Paradigma kapitalis mengenai pelaksanaan pelayanan publik menerapkan prinsip bahwa negara hanya berfungsi sebagai regulator yang melayani para korporasi, bukan melayani rakyat. Jika negara terlibat pun hanya pada penyertaan modal saja. Lama-lama peran negara pun lepas. Seperti yang tersirat dalam pernyataan Direktur PDJT ketika memaparkan program kerja untuk bisa bergerak sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari Pemerintah Kota Bogor.

Adapun pelaksana di lapangan adalah operator yang diserahkan kepada korporasi bertujuan mencari keuntungan materi. Prinsip pelayanan transportasi publik dikelola badan usaha atau korporasi dalam bingkai komersial, tujuannya hanya mencari keuntungan materi semata. Jika dikelola oleh perusahaan milik pemda atau pemprov pun biasanya tidak sepenuhnya. Ada konsep KPS (Kemitraan Pemerintah dan Swasta). Perusahaan BUMD ini akan bekerja sama dengan pihak swasta. Dalam kasus ini dengan Kodjari.

Sehingga tidak heran jika tarif transportasi publik bisa jadi mahal tanpa memperhatikan aspek kenyamanan, keamanan dan keselamatan pengguna transportasi. Kalau murah atau gratis maka ada pihak yang harus dikorbankan untuk menekan biaya operasional. Dan yang rentan menjadi korban biasa karyawan. Mereka digaji murah atau bahkan tidak mendapatkan bayaran.

Transportasi Publik Hak Rakyat, Tanggung Jawab Penguasa
Transportasi publik merupakan urat nadi kehidupan dan kebutuhan dasar bagi rakyat. Jika dikomersialkan akan menimbulkan kesusahan bagi rakyat. Oleh karenanya, Islam melarang komersialisasi transportasi publik dan mengamanahkan pelayanannya kepada negara.

Negara dalam sistem Islam memiliki kewenangan penuh dan bertanggung jawab langsung memenuhi hajat publik, khususnya pemenuhan hajat transportasi publik yang aman, nyaman, murah, tepat waktu, serta memiliki fasilitas penunjang yang memadai.

Negara bukanlah regulator yang melayani korporasi, melainkan pihak yang mengurusi dan bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasul Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam : “Pemerintah adalah raa’in (pengurus) dan penanggung jawab urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Negara wajib menyediakan moda transportasi berikut infrastrukturnya. Dalam kitab Sistem Keuangan Negara Islam, Syekh Abdul Qadim Zallum menerangkan infrastruktur transportasi termasuk ke dalam infrastruktur milik negara atau marafiq.

Marafiq adalah bentuk jamak dari kata mirfaq, yaitu seluruh sarana yang dapat dimanfaatkan; meliputi sarana yang ada di pedesaan, propinsi maupun yang dibuat oleh negara selama sarana tersebut bermanfaat dan dapat membantu. Marafiq ‘ammah ialah seluruh sarana umum yang disediakan negara agar dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satunya adalah sarana transportasi umum, seperti kereta api yang berjalan bukan pada jalan umum. Jika kereta api berjalan di jalan umum berarti menjadi milik umum, mengikuti hukum jalan umum. Begitu pula pesawat terbang dan kapal laut. Sarana-sarana ini bisa dimiliki oleh individu. Seseorang boleh memilikinya.

Pada saat yang sama, negara juga harus memiliki sarana-sarana tersebut, baik pesawat terbang, kereta api, kapal laut, jika dilihat terdapat maslahat bagi kaum muslim, dan sangat mendesak untuk membantu mereka, serta memudahkan mereka untuk bepergian.

Sedangkan jalan-jalan umum dan sejenisnya seperti laut, sungai, danau, kanal atau terusan besar seperti Terusan Suez, lapangan umum dan masjid merupakan infrastruktur milik umum. Untuk penyediaan dan pengelolaannya harus dilakukan oleh negara.

Untuk pembiayaan penyediaan layanan transportasi ini bisa diambil dari Baitul Mal. Dalam sarana transportasi yang terkategori milik umum seperti jalan-jalan umum, maka negara mengambil dana dari pos penerimaan dana umum.

Bisa juga dari dana milik negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya. Walaupun ada pungutan, hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya dalam bentuk yang lain.

Sedangkan untuk sarana yang termasuk marafiq tadi, sarana/infrastruktur tersebut harus disediakan negara untuk melayani masyarakat dalam memudahkan kehidupan mereka.  Karena infrastruktur tersebut milik negara maka dimungkinkan negara mendapat atau memperoleh pendapatan dengan menentukan tarif tertentu atas pelayaananya termasuk juga mengambil keuntungan. Pendapatan dan keuntungannya pun menjadi milik negara dan menjadi salah satu  pemasukan Baitul Mal, yang ditaruh pada pos fai dan kharaj. Dana itu digunakan sesuai dengan peruntukkannya.

Agar negara memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan fungsi dan tanggung jawab pentingnya, maka negara wajib mengelola kekayaannya secara sahih sesuai syariat Islam. Selanjutnya negara melayani rakyat dengan strategi pengelolaan sarana publik yang mengacu pada tiga prinsip utama: a) Kesederhanaan aturan; b) Kecepatan dalam pelayanan; dan c) Individu pelaksana yang kapabel. Artinya pelayanan publik tidak ribet, tidak mahal, tapi nyaman, aman, dan manusiawi.

Tentu saja pelaksanaan pelayanan transportasi publik ini tidak bisa berdiri sendiri, namun dicangkokkan pada sistem hidup yang lain. Dalam penerapannya ia memerlukan habitat yang sesuai yaitu penerapan hukum Islam secara kafah dalam bingkai negara Islam (khilafah). Hanya dalam sistem khilafah, pelayanan terbaik dalam transportasi publik dan kebutuhan publik yang lainnya bisa diwujudkan secara nyata.


Penulis: Rini Sarah

Posting Komentar

0 Komentar