Timbuktu, Pusat Peradaban Islam di Benua Hitam

 



Siapa yang tidak pernah minimal mendengar Film epic ‘Black Panther’ beberapa tahun lalu yang termasuk jajaran film box office dan meraup keuntungan hingga 1.344 billion USD. Tokoh sentral dalam film yang berlatar belakang gurun sahara Afrika ini adalah T’challa yang bergelar Black Panther. Digambarkan dalam film tersebut bahwa T’challa merupakan raja kaya raya yang memipin sebuah negara maju, Wakanda.

Sesungguhnya ratusan tahun lalu pernah hidup dalam dunia nyata sosok T’challa, raja Afrika nan kaya raya. Ialah Mansamusa (1280-1337 M), penguasa Timbuktu, saat ini termasuk bagian negara Mali, Afrika Barat. Ia memerintah selama 25 tahun dan pada tahun 1337 ia wafat.

Bila Elon Musk merupakan manusia terkaya di dunia menurut Forbes di Desember 2021 lalu dengan kekayaan mencapai 277 USD. Maka kekayaan Mansamusa masih jauh lebih tinggi dibanding bos Tesla ini, yaitu sekitar 400 USD. Sejarawan ekonomi pun sepakat bahwa kekayaan Mansamusa memang tidak dapat diejawantahkan dengan angka (BBC.com 11/3/2019). Pun di Money.com Celebrity Net Worth, Mansamusa ditempatkan diurutan pertama mendahului Agustus Caesar.

Mansamusa dan Timbuktu

Timbuktu merupakan kota perdagangan trans-Sahara dengan komoditas emas, gading, budak dan garam. Letak geografisnya membuatnya sebagai tempat pertemuan alami bagi populasi Afrika, suku Barber yang nomaden dan orang Arab bagian utara. 

Timbuktu diberikan kelebihan oleh Allah swt dengan tanahnya yang mengandung emas sangat melimpah, hingga kini pun Afrika Barat dikenal sebagai penghasil emas utama di dunia. Emas merupakan komoditi utama negeri di benua hitam ini. 

Pada zamannya, Mansamusa berhaji dengan rakyatnya yang berjumlah 60.000 orang. Ia membawa pejabat, hakim, tentara, penunggang kuda, pedagang dan para budaknya. Tak lupa segerombolan sapi dan kambing untuk persediaan makanan.  

Rombongan itu layaknya sebuah kota yang bergerak melalui gurun. Kota yang penghuni dan budaknya mengenakan pakaian dengan brokat emas dangdut sutra Persia terbaik. Ratusan onta beruntun dengan mengangkat ratusan kilogram emas murni. Di sepanjang perjalanannya, ia selalu memberikan hadiah pada orang miskin dengan begitu banyak emas.

Diceritakan bahwa saat Mansamusa dan rombangannya singgah selama tiga bulan di Kairo, Mesir, justru membuat perekonomian di sana hancur. Harga emas Kairo anjlok selama sepuluh tahun akibat ia mendermakan emas dengan melimpah.

Pendidikan di Timbuktu

Bila ditanya, dimana pusat pendidikan dunia Islam di benua Afrika, pasti umumnya menjawab Universitas Al-Azhar, Mesir. Namun ratusan tahun lalu, Timbuktu menjadi tempat dimana ilmu pengetahuan dan kebudayaan berkembang sangat pesat. Universitas Sankore lah berpusatnya semua itu. 

Dengan kekuasannya, Mansamusa mendanai perkembangan dunia sastra, membangun banyak sekolah, perpustakaan dan masjid. Kemudian Timbuktu berubah menjadi pusat pendidikan dan banyak orang berdatangan dari belahan dunia untuk belajar di Universitas Sankore. Di universitas tersebut, Bahasa Arab menjadi Bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar, yang merupakan pengaruh dari Daulah Khilafah saat itu yang sangat kuat. 

Menghafal Alquran dan menguasai Bahasa Arab merupakan hal yang wajib dikuasai olehii para mahasiswa. Yang dipelajari para mahasiswa di sana pun bukan hanya tsaqofah Islam, namun juga ilmu umum seperti sejarah, geografi, astronomi, kedokteran, matematika, kimia, fisika, Bahasa, geografi dan ilmu lainnya.  

Universitas Sankore berperan penting terhadap perkembangan sosial politik kawasan, termasuk Ghana, Mali dan Shonghai. Tradisi intelektual sangat berakar kuat di sana, pada saat universitas ini masih eksis. Dikatakan bahwa pada abad 16, salah satu bisnis yang paling menguntungkan adalah penjualan buku. Hal ini menunjukkan besarnya apresiasi masyarakat akan ilmu.

Sekitar 70.000 manuskrip atau karya tulis yang diyakini berasal dari Universitas Sankore pun berbahasa Arab. Yayasan warisan Islam Al-Furqon, London menerbitkan daftar manuskrip ini yang dapat ditemukan di perpustakaan Ahmed Baba. 

Pada sekitar tahun 1450, penduduk Timbuktu mencapai 100.000 jiwa, sebuah angka yang besar dari kota di pedalaman Afrika yang jauh dari laut. Dari jumlah tersebut, seperempat diantaranya (25.000 jiwa) adalah orang terpelajar. Mayoritas dari mereka berpengatahuan luas dan berwawasan regional dan telah menempuh keilmuan di pusat-pusat kajian Islam di Makah ataupun Mesir. 

Islam dan Timbuktu

Sejak abad ke sembilan, Islam diperkirakan sudah meluas hingga Afrika Barat saat era Khilafahan Abbasiyah. Mansamusa pun merupakan penguasa muslim yang dengan tuntunan syariat, menjadikan rakyatnya sejahtera. Pada abad ke 15-16, Timbuktu merupakan pusat penyebaran Islam di Afrika. Ia juga berperan aktif dalam penyebaran Islam di Afrika dan Spanyol Barat.   

Khilafah Abbasiyah yang mengalami kemajuan dari aspek ilmu pengetahuan dan ketatanegaraan tentunya mempengaruhi daerah kekuasaan di bawahnya seperti halnya Timbuktu. Kejayaan Timbuktu memang tak lepas dari pengaruh kekuasaan Abbasiayah. Diketahui banyak ulama dari Timbuktu yang ikut menyebarkan Islam ke seluruh penjuru Afrika Barat, mengingat posisi nya memang sangat strategis. 

Kekayaan yang melimpah di suatu daerah bila dikelola dengan aturan syariat dan pengelolanya taat pada Allah swt, maka rahmat Allah pun akan datang membawa kemakmuran bukan hanya pada manusianya, namun juga semua makhluk Nya. 

Wallahu’alam


Oleh Ruruh Hapsari 

Posting Komentar

0 Komentar