Wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden bagai bola liar yang masih terus bergulir. Banyak pakar menilai bahwa gagasan tersebut tidak rasional dan akan menimbulkan polemik. Selain itu, usulan tersebut dianggap sumir dan tidak memiliki fondasi argumen yang kuat.
Gagasan yang pertama kali digulirkan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar sukses membuat heboh. Dia mengatakan bahwa setelah mendengar masukan dari para pengusaha, pemilik usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), hingga analis ekonomi semua meminta Pemilu 2024 ditunda (Kompas.com, 7/3/2022).
Akibat pernyataannya tersebut, timbul pro dan kontra terkait sikap partai di DPR. Dilansir dari laman tirto.id, 25/2/2022, Golongan Karya (Golkar), PKB, dan PAN berada dalam barisan yang pro pemilu ditunda. Golkar merespon akan serius mengkaji wacana tersebut. Wakil Ketua Partai Golkar, Melchias Markus Mekeng menyatakan bahwa penundaan pemilu tidak masalah selama sesuai aturan yang ada melalui mekanisme konstitusi.
Padahal, Menurut Pasal 7 UUD 1945 secara jelas menyebut bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih sekali lagi pada jabatan yang sama. Selain itu, dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 431 dan 432 dijelaskan bahwa pemilu bisa ditunda jika terdapat gangguan keamanan. Faktanya, saat ini Indonesia dalam keadaan cukup aman.
Sementara itu, Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan memandang bahwa kondisi pandemi dan pertumbuhan ekonomi yang membutuhkan perhatian menjadi alasan penundaan pemilu. Selain itu, situasi konflik global antara Rusia-Ukraina sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pemilu. Di sisi lain, dia menyarankan untuk lebih efisien dan fokus terhadap keperluan publik. Terakhir, dia mengingatkan pemerintah perlu mengedepankan kelanjutan program pembangunan nasional yang tertunda akibat Covid-19.
Namun, alasan tersebut justru menunjukkan inkonsistensi dalam perumusan kebijakan di struktur pemerintahan. Buktinya, kondisi pandemi tidak membuat pilkada pada tahun 2020 diundur. Malah, masukan dari pakar kesehatan maupun masyarakat umum akan kekhawatiran penyebaran virus tidak digubris.
Selain itu, perang antara Rusia-Ukraina juga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap suhu politik di Indonesia. Karena posisi Indonesia bukan bagian negara yang memiliki kuasa menentukan kebijakan global. Apalagi, alasan efisiensi anggaran yang tidak masuk akal. Sebab, program pembangunan ibu kota negara (IKN) yang membutuhkan dana fantastis justru menjadi proyek strategis pemerintah saat ini.
Menanggapi alasan kelanjutan proyek pemerintah yang belum selesai, pengamat politik Fisip Universitas Diponegoro dan Direktur Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto mengatakan bahwa isu penundaan pemilu merupakan metamorfosa isu presiden tiga periode. Dia menambahkan bahwa isu perpanjangan masa jabatan presiden tersebut secara konsisten telah disuarakan elite oligarki sejak berakhirnya Pemilu 2019 (kompas.com, 5/3/2022). Dari keterangan tersebut, jelas wacana penundaan pemilu memfasilitasi keinginan oligarki dalam melanggengkan kepentingannya.
Di lain pihak, PDIP merupakan kubu yang kontra. Menurut Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, PDIP menolak dengan alasan patuh terhadap konstitusi yang berlaku tirto.id, 25/2/2022. Tetapi, apakah alasan tersebut memang menunjukkan jati diri yang sesungguhnya?
Masih dikutip dari halaman tirto.id, 25/2/2022, analis politik dari Indostrategi, Arif Nurul Imam menilai bahwa penundaan pemilu merupakan orkestra politik dengan agenda menunda konstitusi. Agenda tersebut tidak lepas dari kepentingan parpol. Bisa jadi karena peta partai yang pro banyak dari partai yang tidak atau belum memiliki kader dengan elektabilitas tinggi di dalam bursa capres-cawapres. Oleh karena itu, Imam meminta Presiden Jokowi untuk tidak memenuhi keinginan mengubah waktu pemilu dan tetap patuh pada konstitusi demi kepentingan politik yang lebih besar.
Di tengah kondisi pandemi yang belum sepenuhnya usai, gagasan penundaan pemilu memantik kegaduhan. Laman voi.id, 27/2/2022, mewartakan bahwa Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, mengkritisi elit politik bahwa mereka tidak sepatutnya membuat usulan-usulan yang memancing kegaduhan.
Bagaimana tidak, di saat rakyat masih berjibaku melawan Covid-19, para elit justru menyuguhkan usulan kontroversi. Belum lagi ketahanan ekonomi masyarakat yang masih labil akibat hantaman Corona. Tentu, menambah masalah dan membuat kisruh.
Namun, tampaknya persolan pemilu di alam Demokrasi, sejak awal reformasi hingga kini seakan tidak berkesudahan. Miris, penderitaan rakyat tidak juga membuat polemik antar-elite yang berkuasa berakhir. Demokrasi yang dipuja-puja sebagai sistem pemerintahan terbaik, dalam praktiknya tidak jua membuat kesejahteraan rakyat terwujud. Adanya persoalan ini justru menunjukkan Demokrasi yang mengarah pada otoritarianisme.
Tidak heran, karena memang jargon Demokrasi adalah dari rakyat, untuk rakyat, maka rentan sekalinya terjadi penyelewengan kekuasaan. Sebab sejatinya rakyat adalah manusia penuh cela. Sehingga, saat rakyat naik menjadi penguasa, maka dia dengan mudah seenaknya mengubah aturan sesuai kepentingannya demi mempertahankan eksistensinya.
Maka untuk mencapainya, peraturan dalam demokrasi dibuat untuk memuluskan kepentingan para elit dan dengan mudah diubah-ubah asalkan ada kesepakatan bersama. Contoh nyata adalah wacana penundaan pemilu 2024 melanggar peraturan yang mereka buat sendiri. Hal ini juga mencederai hak-hak rakyat sebagai konstituen.
Parahnya, polemik terkait penundaan pemilu seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Menurut, Global Overview of Covid-19: Impact on Elections (Alspund, 2020), setidaknya ada 75 negara dan wilayah di seluruh dunia telah memutuskan untuk menunda pemilihan nasional dan subnasional karena Covid-19. Ini menunjukkan watak asli Demokrasi yang melahirkan penguasa inkonsisten dan otoriter. Fenomena tersebut sesungguhnya mempertaruhkan kualitas demokrasi itu sendiri.
Oleh sebab itu, omong kosong Demokrasi menjadi sistem terbaik untuk kesejahteraan. Nyatanya, proses pemilu yang membutuhkan modal besar secara otomatis membentuk lingkaran oligarki dalam tubuh pemerintahan. Selanjutnya, sistem rusak ini akhirnya melahirkan penguasa rakus dan tamak. Alih-alih menciptakan kesejahteraan untuk rakyat, mereka hanya memikirkan berbagai cara agar modal saat pemilu bisa kembali.
Kenyataan tersebut sangat jauh berbeda dengan sistem shahih, yakni sistem Islam. Sistem yang berasal dari Sang Pemilik Kehidupan ini menjadikan kedaulatan hukum berada di tangan 'syara, yaitu Al Quran dan as-Sunnah. Sehingga, baik rakyat maupun penguasa tidak bisa seenaknya mengutak-atik hukum.
Pelaksanaan pemilihan kepala negara (Khalifah) dalam aturan Islam sangat sederhana dan tidak membutuhkan modal untuk kampanye atau lobi sana-sini. Karena dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di yaumil hisab kelak. Sehingga, tidak akan ada manusia haus jabatan yang berebut kekuasaan. Oleh sebab itu, tidak akan ada kelompok oligarki sebagai second hand yang akan mendikte penguasa yang membuat kekuasaannya menjadi otoriter.
Dari penjabaran di atas, jelas bahwa selama sistemnya masih Demokrasi, maka setiap periodenya kejadian-kejadian di atas akan terus terjadi berulang. Demokrasi yang katanya dari rakyat, untuk rakyat hanya pepesan kosong. Maka, kiranya perlu kesadaran penguasa maupun rakyat untuk beralih ke sistem Islam agar praktik kepemimpinan otoriter tidak akan terjadi, sehingga kesejahteraan bukan lagi angan-angan, wallahualam bishawab.
Oleh : Anggun Permatasari
0 Komentar