UU IKN Ditekan, Protes Masif Rakyat Diabaikan






Proyek ibu kota negara (IKN) sebagai wajah baru pusat pemerintahan Indonesia rencananya akan berpindah ke lokasi titik nol, Kalimantan Timur yang nantinya disebut dengan Nusantara. Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) di IKN Nusantara menganut unsur-unsur yang mencakup identitas, keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan serta mewujudkan kota cerdas modern berstandar internasional. 

Visi IKN smart, green, beautiful, dan sustainable tersebut diterjemahkan melalui pengembangan kota yang berdampingan dengan alam melalui konsep forest city serta smart and intelligent city. Ibu kota negara akan dibangun untuk mencapai target Indonesia sebagai negara maju, sesuai visi Indonesia 2045. Dibangun dengan identitas nasional, IKN akan mengubah orientasi pembangunan menjadi Indonesia-sentris, serta mempercepat Transformasi Ekonomi Indonesia.

Tidak seperti Jakarta yang memiliki kepala daerah yang menjabat selama periode jabatan, nantinya IKN akan memiliki Kepala Otorita IKN Nusantara. Tugasnya kemudian akan dibantu oleh Wakil Kepala Otorita IKN Nusantara yang memegang jabatan selama 5 tahun, dan bisa diangkat kembali pada jabatan yang sama. Pejabat di IKN ini sendiri akan dipilih langsung oleh presiden setelah berkonsultasi dengan DPR secara langsung sehingga idealnya bisa didapatkan calon terbaik dari apa yang ada pada opsi yang sudah diberikan sebelumnya. 

Meski demikian, banyak pihak kemudian menyanggah berbagai aturan yang diajukan dalam RUU IKN yang dinilai bergeser dari nilai demokrasi yang selama ini dipegang. Pasalnya, nantinya urusan ibu kota negara baru akan ditangani oleh DPR-RI pusat, bukan DPRD setempat.

Sejak diserahkan pada September lalu, RUU IKN baru dibahas dalam Pansus pada Desember 2021. Artinya, RUU IKN menjadi salah satu aturan yang dibahas cukup singkat di DPR RI, yakni kurang dari 2 bulan. Seperti dunia terbalik, pembahasan RUU justru baru dilakukan setelah membangun ibu kota. Regulasi dan pembahasan RUU IKN yang dikebut seakan memasuki fase kejar tayang telah menuai banyak kritik. Mantan Ketua Umum Muhammadiyah dan MUI, Din Syamsuddin mengatakan bahwa tidak ada urgensi memindahkan ibu kota negara selama pemerintah masih memiliki utang luar negeri yang tinggi. Selain itu, pemindahkan ibu kota baru ke Kalimantan juga berpotensi merusak lingkungan hidup. 

Menurut Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, penyediaan anggaran pembangunan 256.142,74 hektare untuk menjadi kantor pemerintahan hingga jalan kawasan IKN yang membutuhkan dana sekitar 500 triliun berasal dari Kemenkeu yang lebih banyak dibebankan pada 53,3% APBN. Padahal Presiden Jokowi sudah berkomitmen pada rakyat tidak akan membebani dana APBN. Bahkan sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan pemenuhan sebagian dana untuk pemindahan ibu kota akan menggunakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2022 yang seharusnya digunakan untuk mengurusi rakyat terdampak Covid-19.

Faisal Basri, salah satu ekonom Indonesia, mengatakan bahwa pembangunan IKN ini ada proyek terselubung yang sengaja dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Seperti pabrik pabrik semen, hingga pengadaan air bersih yang sudah disetujui jauh sebelum UU dibahas. Selain itu pengelolaan lahan juga sudah ditangani orang penting Indonesia dan pemindahan IKN akan melibatkan para investor. Infrastruktur dasar akan dibangun menggunakan kas negara. Namun, porsi lebih besar akan diberikan kepada swasta. 

Sederet investor pun sudah menunjukkan ketertarikan kepada IKN. Baik dari Timur Tengah, Eropa, Amerika Serikat (AS) hingga Singapura. Ketika sebuah negara bergantung pada investasi dalam pembangunan infrastrukturnya, biasanya beriringan dengan pelepasan aset negara untuk menutupi defisit pembangunan. Jika sudah begini kebermanfaatan infrastruktur yang dibiayai dari investasi dan utang tidak akan terasa. Rakyat malah tidak dapat menikmatinya karena tidak gratis.

Memang lokasi ibu kota baru dianalogikan seperti dikepung oleh berbagai sumber “harta karun” berupa potensi sumber daya alam seperti minyak, gas bumi, batu bara, emas, dan perak sehingga menarik perhatian pihak internasional. Pemerintah menyampaikan pembangunan IKN berpeluang didanai oleh Lembaga Pengelola Investasi atau Sovereign Wealth Fund (SWF). Pemerintah berambisi bahwa pembangunan ini akan memberikan kemajuan dan kesejahteraan Indonesia dengan rancangan negara digital berbentuk metaverse. Hal ini tentu saja menjadi peluang bisnis bagi para kapitalis. Dari sinilah suntikan dana berasal.

Setidaknya ada tiga proses yang membuat IKN harus dibatalkan berdasarkan catatan Walhi. Pertama, RUU IKN terkesan tidak masuk akal berdasarkan perspektif syarat UU yang baik, belum lagi pembahasannya yang terburu-buru. Kedua, RUU IKN telah mengabaikan syarat formil. Ketiga, RUU IKN tidak melibatkan semua unsur masyarakat sehingga tidak mematuhi prinsi partisipasi publik bermakna.  

Hal ini justru berbeda dengan pandangan Islam terkait pembangunan. Dalam Islam, pembangunan memprioritaskan tiga hal utama, yaitu: Pertama, pembangunan berorientasi pada visi pelayanan umat, tidak terburu-buru, dan berfokus pada kebutuhan rakyat. Kedua, pembiayaan tidak menggunakan skema investasi asing atau utang luar negeri melainkan menggunakan dana baitu lmal. Ketiga, diperlukan perencanaan yang matang untuk memindahkan ibu kota. 

Selama masa peradaban Islam, setidaknya sudah terjadi empat kali perpindahan ibu kota negara Khilafah. Pertama dari Madinah ke Damaskus. Kedua, dari Damaskus ke Baghdad. Ketiga, pasca hancurnya Baghdad akibat serangan tentara Mongol, ibu kota Khilafah berpindah ke Kairo. Terakhir, dari Kairo ke Istanbul. Akan tetapi, semua pemindahan ini dilakukan dengan alasan politik, bukan kepentingan individu atau pihak tertentu.

Negara Islam juga menerapkan konsep kepemilikan yang khas, terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, negara. Pembagian ini adalah untuk kemaslahatan umat. Kepemilikan individu (milkiyah fardiyah) atau disebut private property adalah hak individu memanfaatkan kekayaannya sesuai syariat Islam seperti bekerja, waris, hibah, dan lain-lain. 

Kepemilikan umum (milkiyah ammah) atau public property adalah kepemilikan yang memiliki manfaat besar bagi masyarakat dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Kepemilikan umum tidak dapat dikuasai perseorangan apalagi swasta. Negara juga tidak boleh menguasainya, melainkan mengelolanya untuk kepentingan umat. Contohnya, sumber daya alam, seperti air dan barang tambang. 

Jenis kepemilikan ketiga adalah kepemilikan negara (milkiyah daulah) atau state property yang pada dasarnya adalah hak milik umum, tetapi hak pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab negara/pemerintah. Contohnya, ghanimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, usyur, dan pajak.

Negara Islam merencanakan segala aspek dalam proses pemindahan ibu kota, seperti pembangunan fasilitas serta kemudahan akses rakyat pada tempat ibadah, industri, taman, layanan kesehatan, pendidikan, sistem pengelolaan sampah, lahan pemukiman, hingga pemakaman yang merata. Selain itu, negara secara tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Itulah prinsip pemindahan dan pembangunan kota dalam sistem Khilafah. Bukan sekadar ambisi dan kepentingan oligarki, asing, apalagi aseng, Dalam Islam, semua aspek diperhatikan dan dipertimbangkan demi mencapai kemaslahatan umat. 

Setiap hal yang tidak berdasarkan ketaatan, pasti membawa kemudaratan. Keserakahan dan ketamakan atas penguasaan hajat dan kepentingan rakyat selalu berujung pada penderitaan rakyat berkepanjangan. Tidak ada jalan lain selain mencampakkan sistem kapitalisme ini dan menggantinya dengan sistem baru yang lebih berkah, manusiawi, dan berpihak pada kepentingan rakyat secara keseluruhan, yaitu sistem Islam kaffah. 

Sistem Islam bersandar pada aturan dan hukum Allah sebagai solusi atas problematik kehidupan manusia. Sistem ini benar-benar bebas dari kepentingan pribadi, kelompok, maupun keserakahan kekuasaan karena aturan Allah bersifat baku, tetap, dan adil untuk semuanya.[]

 Oleh : Sanya 



Posting Komentar

0 Komentar