Waspada Disintegrasi Di Balik Kasus Papua





Bumi Papua kembali membara, kasus penembakan dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata kembali terjadi di Distrik Boega. Kasus ini  menyita perhatian publik, pasalnya konflik di Bumi Papua hingga kini belum menunjukkan titik terang penyelesaiannya. Berbagai macam upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah pun, tak lantas konflik di Papua mereda.

Dilansir Kompas.id pada 05/03/2022, meskipun pemerintah dan aparat telah mengubah pendekatan operasi keamanan menjadi kesejahteraan. Namun,  sebenarnya persoalan Papua bukan hanya menyangkut masalah ekonomi, tetapi juga faktor historis seperti kekerasan dan hak asasi manusia yang hingga kini belum kunjung selesai.

Konflik di Bumi Papua, bagaikan gunung es yang telah berjalan selama bertahun-tahun, dan telah banyak memakan korban. Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPPB-OPM) Sebby Sambom menilai rencana aparat mengubah pola pendekatan keamanan di Papua menjadi lebih persuasif sebagai hal yang sia-sia. Menurutnya rencana tersebut tak akan menjawab akar permasalahan di Bumi Cenderawasih tersebut. Karena akar masalah Papua adalah pelanggaran terhadap hak politik penentuan nasib sendiri. Jadi apapun yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap Papua hanya sia-sia (CNN. 13/01/2022)

Berdasarkan riset lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ada empat akar masalah konflik di Papua meliputi, pertama dugaan kecurangan dalam proses integrasi Papua ke Indonesia melalui referendum penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969. Pasalnya, jajak pendapat tersebut dinilai tidak sesuai dengan isi perjanjian New York. Kedua, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat keamanan negara. Ketiga, marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua. Dan keempat, kegagalan pembangunan infrastruktur sosial di Papua seperti fasilitas kesehatan, pendidikan serta ekonomi rakyat, walaupun ada dana otonomi khusus (Otsus).

Dari fakta diatas, menunjukkan bahwa telah terjadi kesenjangan sosial di bumi Papua akibat abainya pemerintah dalam memperlakukan Papua, bak anak tiri. Kondisi ini memunculkan konflik, dan konflik ini sangat mudah untuk ditunggangi  kepentingan politik oleh sekelompok orang tertentu. Disintegrasi seakan menjadi solusi yang terus diopinikan di Papua untuk mengakhiri persoalan yang berkepanjangan. OPM dan KKB adalah kelompok yang senantiasa menyerukan disintegrasi bumi Papua. 

Tidak dipungkiri bahwa secara geografis wilayah Papua merupakan daerah yang memiliki potensi kekayaan alam, salah satunya adalah tambang emas yang kini dikuasai oleh PT Freeport milik Amerika Serikat (AS) Potensi inilah yang menyebabkan kelompok tertentu menginginkan lepasnya Papua dari negara kesatuan Indonesia. Kita tahu bahwa OPM dan KKB adalah kelompok asing yang dengan leluasa mengendalikan Papua, akibat abainya pemerintah.

Papua memang daerah yang kaya, namun lihatlah masyarakatnya adalah masyarakat yang jauh dari kehidupan yang layak. Kemiskinan, kebodohan, dan minimnya infrastruktur adalah potret bumi Papua, padahal emas bergelimang disekitar mereka. Tetapi tidak sedikit pun mereka merasakan hasil kekayaan bumi Cenderawasih tersebut. Bahkan masyarakat Papua sering kali mendapatkan diskriminasi dan kekerasan serta dipandang sebelah mata kala mereka mencoba mengenyam pendidikan di daerah lain.

Perlakuan negara dan masyarakat inilah yang semakin menguatkan tekad masyarakat Papua untuk diberi kebebasan menentukan nasib mereka sendiri. Hal ini tak lepas karena adanya kelompok tertentu yang terus menghembuskan opini bahwa ketika Papua merdeka/ lepas dari Indonesia, maka nasib mereka akan jauh lebih baik. Padahal sesungguhnya mereka negara asing (AS dan sekutunya) memanfaatkan konflik yang ada untuk memuluskan kepentingan politiknya.

Kita tentu masih ingat lepasnya Timor-Timor/Timor Leste dari Indonesia, apakah nasib rakyatnya menjadi makmur dan sejahtera? Tentu tidak, justru harapan mereka hanya mimpi yang tak kan pernah terwujud realisasinya. Karena ada pihak yang diuntungkan dengan lepasnya salah satu wilayah Indonesia, yaitu pihak asing. Nasib yang sama akan dialami oleh Papua ketika menginginkan lepas dari negeri ini. Kekayaan alamnya akan leluasa dikuasai oleh negara asing. Pasalnya, saat ini saja emas di Papua pengelolaannya sudah diserahkan pemerintah secara sukarela kepada AS.

Disintegrasi ini jelas sangat berbahaya, karena dengan sangat mudah intervensi asing dalam menguasai bumi Papua. Sehingga harus ada upaya sistematis untuk menghalangi adanya disintegrasi daerah dalam sebuah negara dan menghilangkan penyebab munculnya disintegrasi. Karena negera-negara asing sangat diuntungkan dengan adanya kemerdekaan semu yang diberikan kepada daerah yang tengah berkonflik. Hal ini terjadi tak lepas dari adanya penerapan sistem kapitalis sekuler yang menjadi biang masalah dan kerusakan yang dihadapi oleh seluruh negeri-negeri di dunia. 

Berbeda halnya dengan sistem Islam (khilafah) yang senantiasa mendorong umatnya untuk bersatu. Tidak boleh ada perpecahan diwilayah manapun, sehingga hal ini harus dihentikan dan ditolak dari segala bentuk sepratisme dan intervensi asing. Memisahkan Papua dari negeri muslim Indonesia secara syar’i hukumnya haram.

Masyarakat yang plural bukanlah halangan atau kendala untuk menyatukan mereka dibawah payung kepemimpinan Islam. Keberagaman suku, ras, agama adalah merupakan fitrah bagi negeri ini. Mereka bisa hidup berdampingan rukun, aman, tentram dan sejahtera dalam naungan khilafah. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya sejak ratusan tahun yang lalu. Ini menunjukkan bahwa Islam sebagai ideologi mampu menyelesaikan berbagai masalah dan konflik yang terjadi di tengah umat manusia.

Oleh karena itu, peran pemimpin (khalifah) sangat penting untuk mengatasi berbagai konflik dan permasalahan yang ada. Perlakuan yang adil mutlak dilakukan oleh penguasa. Baik keadilan dalam pembangunan infrastruktur, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, maupun segala aspek yang menyangkut hajat hidup orang banyak. 

Selama 1300 tahun Islam berjaya dalam naungan khilafah, kesejahteraan dan keadilan dapat teralisasi secara nyata. Para khalifah menjalankan tupoksinya untuk memenuhi kebutuhan dan melayani rakyatnya dengan sepenuh hati. Sebab mereka memahami kekuasaan yang berada dipundak mereka adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban dihari kemudian. 

Tidak ada perbedaan perlakuan antara warga negara muslim dan non muslim, miskin dan kaya. Semua mendapatkan hak yang sama sebagai rakyat yang harus mendapatkan pelayanan terbaik dari penguasanya. Dengan perlakuan dan mekanisme seperti ini, insya Allah tidak ada daerah/wilayah yang berniat untuk bertindak disintegrasi. Karena khalifah menutup rapat celah-celah yang mengantarkan pada tindakan disintegrasi. 

Untuk menyatukan negeri-negeri kaum muslim, maka Islam mewajibkan umatnya hidup dalam satu kepemimpinan yaitu dalam sistem khilafah Islamiyyah. Karena Islam mengharamkan negeri-negeri kaum muslim tercerai berai dibawah kepemimpinan yang lebih dari satu. Rasulullah saw bersabda,”Siapa saja yang datang kepada kalian, sementara urusan kalian terhimpunpada satu orang (seorang khalifah), lalu dia hendak memecah kesatuan kalian dan mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia” (HR Muslim)

Hal yang terpenting harus dilakukan oleh kaum muslim saat ini adalah menumbuhkan kesadaran kepada umat muslim diseluruh dunia untuk menghapus sekat-sekat nasionalisme yang telah mencerai-beraikan mereka. Dengan penyatuan negeri-negeri kaum muslim inilah yang akan menjadi kekuatan umat Islam. Dan berjuang menegakkan khilafah Islam sebagai junnah yang akan melindungi kaum muslim dari berbagai ancaman dan penjajahan dari negeri-negeri barat. Wallahualam

Oleh : Siti Rima Sarinah






 


Posting Komentar

0 Komentar