Munculnya wacana saweran dana proyek Ibu Kota Negara (IKN) cukup menghebohkan publik. Tim Komunikasi IKN Nusantara melalui Juru Bicara IKN Nusantara, Sidik Pranomo sebagaimana dilansir DetikNews.com (25/03) menjelaskan bahwa crowdfunding atau urun dana untuk pembangunan IKN sah dilakukan. Sebagaimana APBN juga menjadi sumber pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN. Termasuk juga dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
Crowdfunding sebagai pembiayaan non-APBN disebut sebagai alternatif sumber pembiayaan. Ini juga dipandang sebagai partisipasi aktif masyarakat dan mempunyai rasa memiliki IKN Nusantara tersebut. Digunakan pula istilah dari, oleh dan untuk masyarakat. Dengan kata lain, menurut pihak Otorita IKN, dana dari masyarakat nantinya juga untuk kepentingan masyarakat.
Pada laman Kemenkeu.go.id terdapat penjelasan terkait crowdfunding, yakni teknis pendanaan untuk proyek atau unit usaha yang melibatkan masyarakat secara luas. Konsep ini pertama kali dicetuskan di Amerika Serikat pada tahun 2003 dengan meluncurkan sebuah situs bernama Artistshare. Di sana, para musisi berusaha mencari dana dari para penggemarnya agar bisa memproduksi sebuah karya.
Hal tersebut lantas menginisiasi munculnya situs-situs crowdfunding lain. Contohnya adalah kickstarter yang berkecimpung di pendanaan industri kreatif pada tahun 2009. Ada juga Gofundme yang mengelola pendanaan berbagai acara dan bisnis pada tahun 2010.
Di dunia Internasional, crowdfunding sudah cukup terkenal dan diperkirakan berhasil mengumpulkan $ 16,2 miliar dollar di tahun 2014. Di Indonesia, crowdfunding masih belum terlalu populer. Namun, dianggap memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi instrumen pengumpulan dana investasi.
Wajar jika akhirnya crowdfunding dilirik oleh pemerintah sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan IKN. Sebab crowdfunding ini memiliki empat kelebihan sehingga dirasa akan sangat membantu terwujudnya pembangunan IKN. Kelebihan pertama, transparansi di mana masyarakat luas akan menilai apakah proyek yang diajukan pemerintah wajar dan realistis atau tidak.
Kedua, jumlah dan kapasitas penduduk Indonesia yang besar sehingga potensi dana investasi yang bisa digali juga besar. Ketiga, adanya keterlibatan masyarakat secara langsung dalam pembangunan dan mengetahui secara pasti akan dipakai untuk apa uang yang mereka setor ke negara. Keempat, aksesnya muda terlebih di dunia digital seperti saat ini.
Namun, pembiayaan crowdfunding ini masih bermasalah di sisi legalitas dan keamanan. Dengan kata lain, jika crowdfunding dilakukan oleh negara, kemungkinan besar dana yang dikumpulkan dari rakyat tidak aman. Rawan untuk disalahgunakan, termasuk rawan terjadi penyimpangan. Terlebih Indonesia sebagai negara dengan angka tindak korupsi yang tinggi, bukan tidak mungkin akan ada masalah dalam pengelolaan dana masyarakat tersebut.
Menjadi sebuah wacana yang tidak logis, hal di atas lantas dikritik banyak pihak. Salah satunya datang dari Pengamat Ekonomi IndiGo Network, Ajib Hamdani yang menilai bahwa crowdfunding bukanlah solusi yang tepat. Menurutnya, skema pembangunan IKN membutuhkan dana yang signifikan sekitar Rp 466 Triliun.
Jika dipaksakan untuk mengandalkan crowdfunding resikonya adalah masalah sustainability. Jika dalam perjalanan pembangunan dana yang terkumpul tidak sesuai dengan kebutuhan, akan mengakibatkan proyek pembangunan IKN akan menjadi tanggung sebab harus menunggu sampai dana urunan terkumpul sesuai kebutuhan (Tirto.id, 25/03/2022).
Skema pembiayaan melalui anchor investor termasuk menjadi salah satu sumber pembiayaan yang sedang diupayakan oleh pemerintah. Namun, hingga detik ini, belum ada satupun investor yang secara resmi terlibat dalam skema pembiayaan melalui investasi.
Terlebih pasca hengkangnya salah satu investor strategis yaitu sebuah perusahaan asal Jepang, SoftBank Group yang menyatakan batal untuk terlibat dalam pembangunan IKN. Padahal pada laman Bisnis.com (31/3) disebutkan, SoftBank sempat menjanjikan investasi sebesar US$30-40 miliar atau sekitar Rp430-575 triliun.
Muncul pula isu bahwa beberapa negara asing akan terlibat dalam investasi pembangunan IKN, di antaranya pemerintah Arab Saudi, Luhut juga mengatakan ada negara-negara asing lainnya yang siap mendukung pembangunan IKN, di antaranya China dan Abu Dhabi. Namun keterlibatan para investor asing tersebut masih dalam prediksi semata, bisa jadi tapi bisa juga hanya akan berakhir pada wacana semata.
Mengingat proyek IKN lebih banyak terkait dengan pembangunan gedung pemerintahan yang memiliki potensi return kecil dan lambat, wajar jika akhirnya minat investor swasta dan asing minim untuk terlibat dalam pembangunan IKN. Investree.id (02/08/2021) melansir bahwa tujuan para pelaku investor dalam kegiatan investasinya di sejumlah bidang adalah untuk mendapatkan finansial. Selain itu, juga ada keinginan agar investor berstatus sebagai pemilik dari bidang yang ia berinvestasi di dalamnya. Bisa dibayangkan, jika pembangunan IKN didanai oleh investor asing, bukan tidak mungkin intervensi dari negara asing akan terjadi terlebih IKN tersebut nantinya merupakan pusat roda pemerintahan.
Di balik ketidakpastian skema pembiayaan pembangunan IKN tersebut, pemerintah masih juga tetap kukuh untuk melanjutkan keputusan pemindahan Ibu Kota, terlebih setelah RUU IKN resmi disahkan oleh DPR RI menjadi UU pada Selasa (18/1/2022).
Dengan begitu, otomatis rencana pembangunan terus akan dilaksanakan. Hal tersebut berarti membuat pemerintah tetap berada di opsi awal dalam hal pembiayaan, yaitu dengan menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Padahal, kondisi APBN hingga saat ini masih terseok-seok terlebih setelah pandemi melanda, recovery ekonomi tentu membutuhkan waktu yang panjang. Sehingga sangat mustahil APBN akan mampu untuk menanggung pembiayaan pembangunan IKN tersebut. Kalaupun dipaksakan, dampaknya kemungkinan dua, persentase pajak rakyat dinaikkan agar pendapatan APBN bertambah atau dilakukan pemotongan anggaran di sektor-sektor yang dibiayai oleh APBN.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani bahkan mencanangkan penggunaan anggaran Program Pemulihan Ekonomi (PEN) sebagai salah satu sumber anggaran pembangunan IKN. Dana PEN sebesar Rp178,3 triliun dari jumlah keseluruhan PEN Tahun 2022 yang mencapai Rp455,62 triliun sebagaimana mandat PP No 23 Tahun 2020 hanya boleh dialokasikan untuk rangkaian kegiatan pemulihan perekonomian nasional.
Seperti pemberian bantuan sosial juga bantuan modal untuk pelaku UMKM guna normalisasi kegiatan ekonomi masyarakat. Jika anggaran PEN digunakan untuk pembangunan IKN berarti pemerintah telah melanggar UU No.2 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Corona dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional.
Dari sisi pembiayaan yang tidak memadai tersebut, tampak realita yang menunjukkan sulitnya pemerintah merealisasikan keputusan sepihaknya untuk memindahkan Ibu Kota Negara. Karena sikap agresifnya pemerintah, ujung-ujungnya rakyat juga yang kini diminta untuk mendanai pembangunan IKN itu melalui mekanisme crowdfunding.
Padahal, mayoritas rakyat menolak rencana pemindahan Ibu Kota tersebut. Dikutip dari Kompas.com (7/2), sebanyak 45 tokoh masyarakat bahkan menggalang petisi menolak pemindahan dan pembangunan IKN. Para inisiator menilai rencana pemindahan ibu kota di tengah situasi pandemi sangat tidak tepat. Seharusnya, pemerintah memfokuskan perhatiannya untuk menyelesaikan berbagai kesulitan yang melanda masyarakat selama pandemi. Bukan fokus pada rencana yang tidak memiliki urgensitas sedikitpun bagi kesejahteraan rakyat.
Namun, aspirasi rakyat seolah tidak digubris oleh pemerintah. Maka, sungguh aneh jika mayoritas rakyat tidak ingin pindah ibu kota. Tapi tetap diminta untuk berkontribusi untuk mendanai pembangunan ibu kota tersebut.
Pemaksaan kehendak yang dilakukan oleh pemerintah melalui penyelenggaraan program yang lahir dari ketidakmatangan dalam perencanaan dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Galuh Syahbana M. Si pada situs Lipi.go.id disebutkan hanya akan memberi beban warisan. Tidak hanya menjadi beban warisan bagi bangsa dan generasi, tidak menutup kemungkinan kondisi IKN baru akan mengalami nasib yang sama dengan ibu kota sebelumnya.
Jika menilik pada sistem Islam yakni Khilafah, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Khalifah berdiri di atas paradigma riayah as-suunil ummah (mengurusi segala urusan rakyat). Karenanya, mustahil Khalifah akan menetapkan kebijakan gegabah dan tanpa pertimbangan matang yang hanya akan menciptakan kesengsaraan bagi rakyat dan negara.
Berbeda dengan pemerintahan dalam sistem demokrasi. Karena berdiri di atas paradigma kepentingan dan manfaat/keuntungan materi, tidak jarang penguasanya tega untuk mengeluarkan kebijakan sepihak, selama baik dan menguntungkan penguasa atau pihak-pihak yang berlindung di belakang penguasa yakni kaum kapital. Rakyat dipaksa untuk dijalankan sekalipun kepentingan rakyat yang dikorbankan.
Oleh Suriani, S.Pd.I (Pemerhati Kebijakan Publik)
Olehnya itu, sistem demokrasi yang hanya melahirkan penguasa yang abai terhadap kepentingan rakyat dalam setiap kebijakannya wajib untuk ditinggalkan. Pastinya juga akan berakhir kepada sistem Khilafah yang akan melahirkan penguasa-penguasa yang memimpin rakyat berdasarkan hukum-hukum Allah yang agung, wallahualam bishawab.
0 Komentar