Kebencian masih saja menyelimuti kelompok Hindutva di India. Mereka kembali berulah dengan melakukan serangkaian tindakan provokatif selama perayaan Rama Navami. Suara keras dan lirik-lirik lagu DJ yang menghasut diputar di halaman masjid-masjid di India. Bahkan saat muslim India tengah melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan. Peristiwa tersebut berlangsung di beberapa distrik di India seperti Belagavi, Bengaluru, Kolar dan distrik lainnya (hoops.id, 14/4/2022).
Menurut pejabat setempat, meski seringkali dilakukan upaya pencegahan. Anggota organisasi Hindutva seringkali secara sengaja muncul di depan masjid. Misalnya, ketika waktu berbuka puasa atau saat ada perkumpulan umat dalam jumlah besar.
Beberapa video yang beredar juga menunjukkan kelompok ekstremis Hindu melakukan pidato provokatif di depan masjid. Contohnya di masjid di Mulbagal di Kolar, Masjid E Qadri Chaman di Kalaburagi dan Masjid Osmania di Raichur.
Miris, tindakan rasisme masih saja dirasakan Muslim minoritas India. Hal ini dipicu oleh sikap dominan paham Hindutva di dalam Partai Bharatiya Janata (BJP) yang sangat membenci Islam. Sejak BJP terpilih kembali masuk ke parlemen pada 2019, ketegangan antara umat Hindu dan Muslim meningkat.
Sikap rasis juga jelas terlihat dari sikap Perdana Menteri Narendra Modi yang juga menganut paham Hindutva. Belum lama ini, BJP yang menguasai pemerintah di Karnataka, mendukung larangan diskriminatif terhadap pelarangan jilbab di kampus-kampus di negara bagian Karnataka, India selatan. Kezaliman sangat tampak karena selama puluhan tahun BJP juga mengampanyekan penerapan Uniform Civil Code (UCC).
Belum lagi, Undang-undang kewarganegaraan yang disahkan pada 2019 yang disebut Citizenship Amendment Act (CAA). CAA mempercepat kewarganegaraan imigran Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, dan Kristen dari Afganistan, Pakistan, dan Bangladesh yang tiba di India sebelum 2015. Namun, prosedur tersebut mengecualikan umat Islam untuk mendapatkan hak kewarganegaraannya dengan cepat. Kebijakan ini telah memicu kemarahan dan kerusuhan yang menelan korban jiwa dari kalangan umat Muslim.
Parahnya, pemerintah yang berkuasa saat ini ingin Hindutva menjadi ideologi negara. Keyakinan BJP sejak 1989 adalah "Hindutva", yakni sebuah ideologi politik yang mempromosikan "nilai-nilai" agama Hindu sebagai landasan masyarakat dan budaya India. Perbedaan antara Hindu sebagai agama dan Hindutva sebagai ideologi politik telah menjadi isu dan perdebatan sengit sejak lama.
Menurut laman berita suara.com, 22/2/2022, Isu Hindutva yang selama ini terus-menerus diserukan BJP secara agresif telah memberinya kesuksesan elektoral di masa lalu. Hal tersebut membuat sekitar 180 juta umat Muslim di India mengalami diskriminasi di berbagai bidang termasuk pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan perumahan. Mereka menghadapi hambatan dalam meraih kesuksesan, kekuasaan politik juga kekayaan.
Sungguh memprihatinkan, India merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia setelah AS dengan penduduk 1,39 miliar. Namun yang perlu dikritisi adalah mengapa rasisme justru tumbuh subur di negara demokrasi yang sangat mengagungkan kebebasan?
Hal tersebut tidak lain karena paham sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Sejatinya, tindakan rasisme memperlihatkan wajah asli demokrasi yang memiliki standar ganda. Di alam demokrasi, paham apapun akan diberi ruang untuk berkembang. Tapi tidak untuk Islam. Kebebasan semu demokrasi telah mengizinkan ideologi predator seperti Hindutva eksis berkuasa. Keberadaannya menjadikan negara bisa diperintah untuk kepentingan golongannya, bahkan dengan cara-cara tidak manusiawi.
Selain itu, kekhawatiran akan kebangkitan Islam membuat mereka sangat lantang menyuarakan permusuhan terhadap Muslim. Laman republika.co.id, 4/11/2020 menulis bahwa Pew Research Center memperkirakan, jumlah penganut Islam di India pada 2050 hingga 2070 akan menjadi yang paling besar di dunia. Apalagi, menurut Prof M Abdul Karim mengatakan bahwa jejak-jejak islamisasi itu masih terlihat jelas dan masih terasa baik berupa bangunan fisik maupun khazanah keilmuan. Keagungan warisan pemerintahan adidaya Khilafah Islam di India sangat ditakuti ekstremis Hindu.
Demokrasi dijadikan alat oleh Hindu Radikal untuk mengusir umat Islam dari tanah India. Jadi selama sistem demokrasi masih bercokol di India, kaum Muslim akan terus mendapat intimidasi dan dizalimi, bahkan di bulan penuh kemuliaan ini. Padahal, dulu sekitar tahun 711 M, saat semenanjung India berada di bawah naungan Kekhilafahan Islam, kebijakan perlindungan dari Khalifah al-Walid bin Abdul Malik untuk menyelamatkan kaum Muslim tertindas sungguh mengagumkan.
Sayangnya, ketiadaan Khilafah Islam hari ini dan tersekat-sekatnya kaum Muslim oleh batas teritori negara dan nasionalisme membuat hati nurani mereka terbelenggu. Lisan mereka kelu untuk menyuarakan pembelaan terhadap saudara Muslim mereka di India. Sehingga, penindasan demi penindasan terus dilakukan musuh Islam.
Padahal, sejarah mencatat bagaimana kaum Muslimah dibela kehormatannya oleh Khalifah. Pada bulan April sekitar tahun 833 M, seorang gubernur Romawi di Kota Ammuriah (bagian dari wilayah Turki) pernah menodai kehormatan seorang Muslimah. Saat mendengar kejadian tersebut Khalifah Mu’tashim Billah yang saat itu berada di Baghdad, segera mengirimkan pasukan untuk menyerang Kota Ammuriah.
Hanya untuk membela seorang Muslimah, sebanyak 30.000 prajurit Romawi terbunuh dan 30.000 lainnya ditawan. Pembelaan kepada Muslimah tersebut sekaligus ditujukan oleh Sangat Khalifah untuk membebaskan kota Ammuriah dari penjajahan Romawi. Seperti itulah fungsi Khilafah sebagai perisai, kehormatan kaum Muslim/Muslimah.
Fakta membuktikan bahwa selama berabad-abad Khilafah telah menciptakan suasana kerukunan umat beragama. Khilafah tetap membolehkan umat agama lain beribadah dan hidup sesuai dengan keyakinan agama mereka tanpa adanya penindasan. Oleh karenanya, hanya dengan kembali pada aturan Islam yang shahih, kehormatan kaum Muslim akan terjaga tanpa mengambil hak penganut agama lain, wallahualam bishawab.
0 Komentar