Di bulan April 2022 ini, pemerintah memberi kado bagi rakyat Indonesia yang tengah berada dalam bulan suci Ramadhan. Kado itu berupa kenaikan pajak PPN menjadi 11%. Tidak hanya satu, tapi ada lagi pajak lain yang muncul yaitu pajak karbon. (www.cnbcindonesia.com)
Kedua aturan perpajakan baru ini tertuang dalam Undang Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang ditetapkan 29 Oktober 2021 lalu. Dalam beleid itu, disebutkan bahwa pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Adapun tarif pajak karbon yang ditetapkan pemerintah yakni sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen. Sebagai tahap awal, pajak karbon dikenakan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara.
Lahirnya pajak karbon menambah deretan kebijakan fiskal yang digunakan sebagai instrumen pengendali perubahan iklim. Inikah kebijakan fiskal yang ideal?
Ekonomi Biaya Tinggi
Penerapan pajak adalah salah satu faktor timbulnya ekonomi biaya tinggi. Ekonomi biaya tinggi merupakan salah satu faktor yang diyakini menghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Karena ekonomi biaya tinggi ini pula negara kita kalah jika harus berkompetisi dalam hal investasi dengan negara-negara tetangga.
Ekonomi biaya tinggi adalah proses ekonomi di suatu daerah atau negara yang memerlukan atau mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dari seharusnya akibat adanya pemberlakuan tarif yang lebih tinggi ataupun pungutan-pungutan liar yang seharusnya tidak ada serta sebagai akibat 'budaya korupsi'.
Biaya ini akan dikompensasikan kepada harga jual barang yang terlibat dalam proses ekonomi tersebut, baik produk yang akan diekspor maupun untuk produk-produk yang berbahan mentah impor maupun lokal. Akibatnya harga produk menjadi kurang kompetitif di pasaran lokal yang sudah dibanjiri produk impor apalagi jika harus bersaing di pasar internasional. Dapatlah disadari bahwa ekonomi biaya tinggi menyebabkan suatu daerah tidak mampu bersaing dengan daerah lain dalam pembangunan ekonominya.(http://www.freelists.org)
Hal ini diakui oleh para pelaku industri yang usahanya akan terdampak oleh kebijakan ini. Ian Syarif, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyampaikan, industri tekstil jelas terdampak oleh aturan pajak karbon. Apalagi, industri tekstil merupakan pemakai batu bara. Tanpa pajak karbon pun industri tekstil sudah tertekan oleh tren kenaikan harga komoditas tersebut. Efeknya, harga jual produk hilir seperti garmen ikut mengalami kenaikan. API membuat perkiraan efek pengenaan pajak karbon terhadap biaya produksi industri TPT dari hulu hingga hilir.
Apabila pajak karbon direalisasikan, maka biaya produksi industri serat dapat naik 2%, kemudian industri pemintalan naik 1%, industri rajut dan tenun naik 1%, industri pencelupan dan finishing naik 5%, dan industri garmen naik 0,25%. Secara akumulasi, kenaikan biaya produksi pada industri TPT akibat pajak karbon mencapai 9,25%.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiono menyebut, beban pengeluaran industri plastik akan meningkat apabila pajak karbon diterapkan. Tapi, belum semua negara menerapkan pajak karbon terhadap industrinya. Hal ini yang dikhawatirkan Inaplas akan memicu persaingan yang kurang sehat di industri plastik apabila pemerintah abai terhadap aspek pengawasan. Bukan mustahil Indonesia akan kebanjiran produk impor plastik dan turunannya yang berasal dari negara yang belum menerapkan pajak karbon. Di sisi lain, belum tentu produsen plastik lokal dapat bersaing lantaran harus berurusan dengan beban pengeluaran yang tinggi. “Indonesia jadi pasar bagi produk-produk plastik. Impor plastik yang masuk itu bisa mencapai 1 juta ton per tahun. Kalau tidak diawasi dengan baik bisa bahaya,” ungkap dia, kemarin.
Kekhawatiran yang serupa juga dirasakan oleh Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia Eddy Suyanto. Menurutnya, penerapan pajak karbon di tahun depan akan berdampak terhadap kenaikan biaya produksi yang pada akhirnya dapat mengurangi daya saing industri keramik. Padahal, industri keramik masih berupaya untuk pulih di tengah pandemi Covid-19. Ancaman berupa maraknya produk keramik impor masih terlihat. Pasalnya, di periode Januari—Agustus 2021, impor produk keramik tumbuh hampir 50% (yoy). Mayoritas keramik impor tersebut datang dari China dan India. “Baik China dan India merupakan eksportir keramik terbesar ke pasar Indonesia yang mana mereka belum menerapkan pajak karbon untuk industrinya,” tandas dia. (Dikutip dari www.kontan.co.id)
Kalau dampak untuk masyarakat sudah jelas, beban hidupnya akan semakin berat. Karena dihajar oleh kenaikan harga berbagai kebutuhan. Apalagi nanti semua yang menghasilkan karbon termasuk dunia transportasi juga akan dikenai pajak karbon.
Baitul Mal Kebijakan Fiskal Ideal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dirancang dan dilaksanakan pemerintah untuk mengelola serta mengarahkan kondisi perekonomian lewat pengendalian pengeluaran dan penerimaan negara.
Kebijakan fiskal digunakan untuk memaksimalkan pendapatan negara untuk disalurkan ke program-program yang bertujuan mendongkrak perekonomian secara nasional, serta digunakan juga sebagai perangkat untuk mencapai keseimbangan ekonomi. (www.online-pajak.com)
Pajak merupakan bagian yang tak terpisahkan pada kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi kapitalis. Pasalnya, pajak merupakan kontributor terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah membiayai hampir seluruh programnya dengan penerimaan dari sektor pajak. Selain itu, pajak dianggap sebagai instrumen fiskal yang sangat efektif dalam mengarahkan perekonomian.
Contoh peran pajak dalam kebijakan fiskal adalah pada 2009 silam. Saat itu, dalam merespon kondisi ekonomi global yang kurang kondusif, pemerintah mengambil keputusan memberlakukan insentif pajak, misalnya penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh), pajak yang ditanggung pemerintah serta meningkatkan besaran penghasilan tidak kena pajak.
Lewat kebijakan pajak tadi menjadikan daya beli masyarakat tetap stabil dan membuat konsumsi masyarakat tetap tumbuh. Ketika konsumsi di masyarakat tetap tumbuh maka kegiatan ekonomi tidak berjalan stagnan. Dilihat dari fakta di atas, justru kondisi ekonomi menjadi stabil bahkan tumbuh ketika pajak diturunkan atau ditanggung pemerintah. Jadi?
Kita butuh kebijakan fiskal baru. Yaitu penyusunan APBN yang tidak bergantung pos penerimaannya pada pajak. Konsep APBN itu ada dalam sistem ekonomi Islam yang dikenal dengan Baitul Mal.
Baitul Mal pernah diterapkan sejak jaman Rasulullah saw menjadi kepala negara Islam di Madinah hingga Kekhilafahan terakhir di Turki Utsmani. Sumber-sumber utama penerimaan negara untuk Kas Baitul Mal seluruhnya telah digariskan oleh syariah Islam. Sumber pendapatan APBN dalam Islam antara lain adalah harta anfal, ghanimah, fa’i, khumus, kharaj, dan jizyah. Sumber lainnya adalah harta milik umum, harta milik negara, ‘usyur dan harta sedekah/zakat. Jika dirinci dan dihitung ini akan menghasilkan pendapatan yang besar.
Masing-masing sumber pendapatan tersebut juga telah ditetapkan pos-pos pengeluarannya. Harta zakat, contohnya, hanya diperuntukkan untuk delapan golongan. Tidak boleh digunakan untuk pos-pos lain. Zakat tidak boleh untuk pembayaran gaji pegawai atau pembangunan infrastruktur.
Pajak diberlakukan jika ada defisit anggaran. Menurut Abdul Qadim Zallum, jika terjadi kekurangan pendapatan dari sumber pendapatan yang ditetapkan dalam Islam untuk membiayai pengeluaran maka Khalifah dapat menerapkan pajak. Syaratnya, terdapat kebutuhan untuk menutupi berbagai kebutuhan dan kemaslahatan kaum Muslim. Kewajiban tersebut hanya dibebankan kepada mereka yang kaya, yakni mereka yang memiliki kelebihan atas kebutuhan pokok dan sekundernya.
Belanja yang hendak dibiayai tersebut merupakan kewajiban Baitul Mal, yang wajib dipenuhi ada atau tidak ada kas di Baitul Mal. Kewajiban tersebut yaitu: pembiayaan jihad, pembiayaan industri militer dan penunjangnya; pemberian bantuan kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin dan ibnu sabil; pembiayaan gaji orang yang diupah oleh negara, seperti tentara, pegawai, hakim dan guru; pembiayaan untuk kemaslahatan yang sangat dibutuhkan dan akan mengakibatkan bahaya bagi umat jika diabaikan; pembiayaan untuk bencana, seperti gempa bumi, longsor, dan banjir.
Jadi pajak bukanlah sumber penerimaan Baitul Mal yang permanen. Pemungutannya bersifat kondisional. Kondisi yang dibolehkan syariat untuk menerapkannya. Selain itu pajak juga tidak diterapkan pada barang hingga tidak akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi yang mengerek harga barang menjadi selangit.
Untuk pungutan zakat, usyr, dan khoroj pun senantiasa diperhatikan aspek produktivitas dan waktu, yaitu akan dipungut dalam waktu 1 tahun (haul) hingga tidak memangkas pendapatan rakyat. Lalu, ada batas minimal yang disebut dengan nisab, untuk memastikan bahwa harta atau aset yang dipungut oleh negara itu tidak memangkas kebutuhan sehari-hari warga tersebut.
Inilah kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi Islam. Jika diterapkan insya Allah akan memberikan keberkahan dan kesejahteraan. Jadi tunggu apa lagi? Mari kita perjuangkan untuk diterapkan kembali dengan tegaknya negara Islam, Khilafah. Allahu Akbar!
Oleh Rini Sarah,
0 Komentar