Kerjasama Bogor-Tokyo, Antara Bisnis dan Pelayanan Publik

 



Bogor dan Tokyo sedang menjajaki sebuah kerjasama dalam bidang kesehatan. Diplomat Muda Bidang Ekonomi KBRI Tokyo, Pandu Utama Manggala menyampaikan perkembangan dari kunjungan delegasi bisnis Jepang di Kota Bogor beberapa waktu lalu.

Diantaranya membahas kerja sama di bidang kesehatan dalam bentuk MoU antara delegasi bisnis Jepang, Rise Holding J.Shangri-La Medical dengan mitra lokal Indonesia yaitu Pelangi Mitra Selaras, konsultan kesehatan yang menjalin kerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

"Saya update bahwa pertemuan di Kota Bogor produktif sekali, MoU yang ada didukung Prof. Abdul Kadir, Dirjen Kementerian Kesehatan. Rencananya kita sedang menjajaki perkembangan mini health tourism di Bogor Raya Resort yang konsepnya one stop untuk sektor kesehatan. Jadi di sana ada rumah sakit dengan teknologi tinggi dari Jepang," ungkap Pandu dalam keterangan tertulis pada Selasa (5/4/2022) siang. (Dikutip dari www.inilahkoran.com) 

Pandu melanjutkan, salah satu teknologi yang dimaksud adalah imunoterapi atau stemcell untuk pengobatan kanker, selain itu akan ada juga pembangunan wellness yaitu semacam klinik kecantikan dan kesehatan.


Investasi Blusukan Hingga ke Daerah Tingkat II

Dalam rencana pembangunan mini Health Tourism ini, Bogor akan menggandeng Tokyo sebagai investor proyek tersebut. “Jadi, yang kami bawa adalah delegasi khusus dari Jepang untuk membawa tidak hanya investasi, tetapi juga teknologi dari Jepang," terang Pandu. (www.jpnn.com) 

Tak tanggung-tanggung Tokyo mengutus pihak yang akan membangun RS ini secara langsung. Adapun perwakilan dari delegasi Jepang yang hadir secara langsung, Prof. Hiroki Ohge dari Hiroshima University, CEO RISE Holding, Tomoki Nagano dan Prof. Kazuhiro Takagi, Dato Richard dari Kyosei, Ai Mizoguchi dan Yuji Naito dari Instinct Brothers Holding (ISB) dan Thor Chin Keong dari JSMG and Ambicion. Ini menandakan bahwa Jepang sangat antusias untuk berinvestasi di Kota Bogor.

Investasi di Indonesia memang sangat terbuka. Bahkan, cenderung membabi buta. Hingga bisa langsung blusukan ke Daerah Tingkat II karena ada OTDA (Otonomi Daerah). Tak perlu lagi jalur panjang seperti antrian minyak goreng untuk melakukannya. Sungguh investasi asing begitu sangat mudah di negeri yang sedang dihebohkan dengan perpanjangan kekuasaan Presiden-nya ini.

Tentu saja masuknya investasi asing ke dalam negeri pasti akan berdampak. Selayaknya karakter swasta yang bersifat profit oriented, pasti akan mencari celah bagaimana memaksimalkan keuntungan yang didapat dari investasi tersebut. Walhasil, pelayanan kesehatan akan menjadi mahal. Lalu, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmatinya.

Tidak hanya itu, dampak strategis investasi asing terhadap politik negara pun pasti ada. Mulai dari ketidakmandirian negara dalam penyelenggaraan negara karena investasi biasanya masuk dengan segudang persyaratan, privatisasi sarana publik yang harusnya dikuasai dan dikelola negara, lepas tangannya negara dalam pengurusan umat, hingga yang paling tragis tergesernya kesempatan kerja anak negeri karena didatangkannya tenaga kerja asing. 

Inilah ciri investasi kapitalistik. Pihak swasta bahkan asing diperbolehkan menguasai apa pun, termasuk hal-hal yang terkait kemaslahatan umat pun dibisniskan. Tak ada orientasi pelayanan dan pengurusan oleh negara. Justru negara hanya memposisikan diri sebagai regulator saja. Akibatnya pihak swasta bisa menguasai sektor-sektor publik untuk dikapitalisasi.


Pelayanan Kesehatan Terbaik dan Pembiayaannya

Kesehatan merupakan kebutuhan asasi masyarakat. Dalam Islam, penyelenggaraan kesehatan diamanahkan kepada negara dalam pengelolaannya. Negara harus bertanggung jawab penuh dan tidak menyerahkan begitu saja pada pihak swasta apalagi asing untuk menguasai penyelenggaraannya. 

Islam memandang pemenuhan kesehatan warga negaranya sebagai sebuah jaminan. Khilafah akan mengadakan layanan kesehatan, sarana dan prasarana pendukung dengan visi melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh tanpa diskriminasi. Baik kaya maupun miskin, masyarakat kota maupun desa, warga muslim maupun nonmuslim (kafir dzimmi). Semua mendapat layanan dengan kualitas yang sama dan gratis.

Rasulullah Saw. dan para Khalifah telah melaksanakan sendiri layanan kesehatan. Nabi Saw. pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi Saw. mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis, dokter tersebut beliau jadikan sebagai dokter umum bagi masyarakat. (HR. Muslim).

Anas ra. menuturkan bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah Saw. selaku kepala negara lalu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah memanggil dokter untuk mengobati Aslam secara gratis. 

Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan wajib dilakukan negara dan bukan pihak lain. Negara harus mandiri dan tidak bersandar maupun bekerjasama dengan pihak lain (swasta ataupun asing).

Negara harus mengalokasikan anggaran untuk terselenggaranya pelayanan kesehatan ini. Mulai dari penyediaan fasilitas kesehatan, mensupport pola hidup sehat, hingga pembangunan pusat-pusat pengobatan. Tentu saja pembangunan ini tidak bergantung kepada pajak, hutang ataupun investasi asing. Tetapi dianggarkan dari Baitul Mal (APBN negara Islam) yang salah satu pemasukan terbesarnya berasal dari pengelolaan kekayaan alam yang merupakan harta milik umat. 

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan ini pernah dipraktikkan ketika Islam diterapkan secara kafah dalam kekhilafahan. Pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar-Razi, Ibn al-Jazzar dan al-Masihi membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang. Kondisi pada saat itu, di perkotaan padat penduduk, sampah menyebabkan kota menjadi kumuh. Ketika negara membangun sistem pengelolaan sampah, kawasan perkotaan pun menjadi bersih. Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat, selain kesadaran hidup sehat pada setiap warganya.

Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan.  Meski demikian, negara membangun rumah sakit di hampir semua kota di wilayah Daulah Khilafah.  Ini adalah rumah-rumah sakit dalam pengertian modern.  Rumah sakit ini dibuat untuk mempercepat penyembuhan pasien di bawah pengawasan staf yang terlatih serta untuk mencegah penularan kepada masyarakat.

Pada zaman pertengahan, hampir semua kota besar wilayah khilafah memiliki rumah sakit.  Di Kairo, rumah sakit Qalaqun dapat menampung hingga 8000 pasien.  Rumah sakit ini juga sudah digunakan untuk pendidikan universitas serta untuk riset.  Rumah Sakit ini juga bukan hanya untuk yang sakit fisik, namun juga sakit jiwa.  Di Eropa, rumah sakit semacam ini baru didirikan oleh veteran Perang Salib yang menyaksikan kehebatan sistem kesehatan di Timur Tengah. Sebelumnya pasien jiwa hanya diisolir dan paling jauh dicoba diterapi dengan ruqyah.

Semua rumah sakit di Dunia Islam dilengkapi dengan tes-tes kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obat, kebersihan dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu.

Rumah-rumah sakit ini bahkan menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di Daulah Khilafah bebas biaya.  Namun, pada hari keempat, bila terbukti mereka tidak sakit, mereka akan disuruh pergi, karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari.

Banyak individu yang ingin berkontribusi dalam amal ini.  Negara memfasilitasi dengan membentuk lembaga wakaf (charitable trust) yang menjadikan makin banyak madrasah dan fasilitas kesehatan bebas biaya.  Model ini pada saat itu adalah yang pertama di dunia.

Inilah Islam ketika diterapkan secara sempurna dalam sistem khilafah. Ternyata Islam telah lebih dulu menjadi tempat “healt tourism” berdasarkan bukti sejarah di atas. Bahkan rumah sakit di wilayah kekhilafahan Islam menjadi tempat favorit para pelancong. Mereka senang dan puas dengan fasilitas dan pelayanan yang baik, apalagi tak sedikit pun uang keluar dari kantong untuk membayarnya. Tidakkah kita rindu hal itu hadir kembali? 


Penulis: Rini Sarah

Posting Komentar

0 Komentar