Diberitakan di laman Cnnindonesia.com, 03/04/2022, partai politik (parpol) menjadi lembaga yang paling tidak dipercaya oleh publik berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia. Banyaknya elite parpol dan DPR yang tersangkut kasus korupsi menjadi salah satu penyebab tingkat kepercayaan rendah. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin M. mengatakan Parpol tingkat trust-nya paling rendah. Tentu saja itu membuat memori publik menjadi kurang positif terhadap parpol," jelasnya.
Parpol adalah kendaraan bagi para calon anggota legislatif (caleg) untuk mendapatkan kursi legislatif, baik di DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Ibarat seorang Ibu, parpol melahirkan dan mengantarkan mereka menjadi wakil dari 270 juta lebih rakyat Indonesia. Maka, ketika anak yang dilahirkannya, yaitu para anggota legislatif tadi mendapat sorotan publik, maka parpol sebagai ibu yang melahirkannya pun otomatis ikut mendapat sorotan.
Kasus korupsi yang melibatkan politisi dan atau sekaligus anggota legislatif seolah tak pernah usai. Bahkan diantaranya menduduki jabatan strategis. Sebut saja SN, yang ketika ditangkap menjabat sebagai ketua DPR sekaligus ketua umum partai Golkar. Kemudian MR yang merupakan anggota komisi III sekaligus ketua umum PPP dan TK yang ketika ditangkap menjabat sebagai wakil ketua DPR.
Belum lekang dari ingatan, di tengah hantaman pandemi, Menteri Sosial yang merupakan politisi PDIP tersandung kasus korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19. Bahkan seorang tersangka korupsi HM yang juga politisi dari PDIP hingga hari ini belum juga terendus keberadaannya. Sumber lain menyebutkan, ada banyak nama politisi yang menjabat sebagai staf menteri, bupati, walikota, hingga gubernur ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Mengutip dari suara.com, 04/12/2020, hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga Transparency International Indonesia menunjukkan, DPR menduduki peringkat pertama sebagai institusi terkorup. Peneliti Kebijakan Publik Jerry Massie menyampaikan, ini tamparan keras bagi para ketua partai yang dinilai gagal total merekrut kader, terutama dari sisi mental dan akhlak.
Masih dari suara.com, laporan KPK hingga Juni 2020 menyebutkan sebanyak 184 anggota DPRD dari 22 daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Juga rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) hingga Oktober 2020 menunjukkan 586 anggota DPR dan DPRD menjadi tersangka korupsi.
Mengapa korupsi di tubuh partai politik ibarat lingkaran setan yang tidak ada putusnya? Partai politik adalah elemen krusial dalam sistem pemerintahan demokrasi. Siapapun yang ingin bertarung dalam pesta demokrasi, dalam hal ini kursi legislatif (DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota) harus diusung oleh partai politik peserta pemilu.
Sementara itu sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilu demokrasi adalah kontestasi politik berbiaya tinggi. Butuh modal besar untuk mengajukan diri sebagai caleg. Mengutip dari laman Kompas.com, 01/08/2018 mereka yang bertarung di pileg 2014 mengaku telah menghabiskan biaya mulai dari 90 juta rupiah hingga 5 milyar rupiah. Senada dengan yang disampaikan anggota DPR periode 2019-2024 dari PDIP Dapil Jawa Tengah X, Hendrawan Supratikno, rata-rata anggota DPR membutuhkan sekitar Rp 5 miliar untuk berkampanye di Pileg. (detik.com, 03/10/2019).
Besarnya modal ini pula yang kemudian dinilai menjadi faktor utama rentannya terjadi korupsi sebagai upaya balik modal. Atau jika modal tersebut didapatkan dari pihak lain, dalam hal ini pengusaha atau para kapitalis, maka kaidah “no free launch” pun berlaku. Ada transaksi-transaksi politik yang harus dipenuhi ketika berhasil duduk di kursi, sebagai konsekuensi atau balas budi atas jasa para kapitalis yang telah membiayai pencalonannya.
Melihat kondisi ini, pertanyaan selanjutnya adalah benarkah mereka murni mewakili suara dan kepentingan rakyat? Sementara aktifitasnya tidak jauh dari membesarkan nama partai dan atau menjamu para pemodal dengan proyek-proyek strategis? Wajar ketika rakyat mulai jengah dan hilang kepercayaan. Teriakannya tak didengar, penolakan rakyat terhadap beberapa RUU, seperti MK, KPK, Minerba, Omnibuslaw karena dinilai lebih berpihak kepada para korporat, tetap disahkan menjadi UU.
Ditambah lagi rakyat disuguhi bagaimana gambaran gaya hidup para wakilnya. Besaran gaji, tunjangan dan segala fasilitas yang didapatkan mulai dari jaminan pensiun, rumah, mobil, baju dinas hingga urusan gorden yang nilainya tidaklah kecil bagi rakyat kecil yang diwakilinya, yang untuk makan sehari-hari saja masih sulit.
Namun, ternyata memang seperti itulah konsekuensi dari sistem demokrasi. Hal ini disampaikan Muhammad Choirul Anam dalam bukunya, “Cinta Indonesia Rindu Khilafah”, bahwa dalam demokrasi, politik dilakukan hanya untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, pun ditempuh dengan segala cara. Dalam demokrasi kekuasaan adalah segala-galanya, karena dengan kekuasaan, diperoleh kenikmatan dunia, harta, fasilitas dan penghormatan. Singkatnya, dengan kekuasaan, semua nafsu terpuaskan.
Jadi, masih relevankah slogan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat? Karena faktanya adalah dari korporat, oleh korporat dan untuk korporat. Klaim bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan pun dibantah dengan data dan fakta yang menunjukkan sebaliknya, dimana butuh biaya mahal untuk menjalankan pemerintahan dengan sistem ini. “Demokrasi bukan untuk kesejahteraan, tetapi kesejahteraan untuk demokrasi”, Muhammad Choirul Anam.
Maka, selama masih menggunakan sistem demokrasi, selama itu pula lingkaran setan korupsi akan terus terjadi, kongkalikong atau transaksi politik akan terus dibuat, sementara rakyat tetap pada nasibnya, menjadi obyek demokrasi. Suaranya begitu diperhitungan ketika pemilihan, namun setelah itu dilupakan. Jika ingin keluar dari lingkaran setan korupsi baik oleh tokoh parpol maupun semua pemangku jabatan, maka tidak cukup parpolnya yang di benahi, tidak cukup individunya yang dikoreksi, tapi hanya dengan cara melepaskan demokrasi.
Kemudian menggantinya dengan sistem Islam, karena di dalam Islam, politik adalah aktifitas mulia yang tidak hanya berkutat pada kursi dan kekuasaan. Politik di dalam Islam adalah aktifitas mengurusi seluruh urusan umat menggunakan hukum Allah. Memastikan hajat hidup rakyat terpenuhi tanpa terkecuali, dengan dorongan iman bukan kepentingan. Maka, sistem manakah yang lebih baik?
Penulis: Anita Rachman
0 Komentar