Memahami Kelangkaan Minyak Goreng: Sistem Ekonomi Kapitalis vs Sistem Ekonomi Islam



Menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 115/MPP/Kep/2/1998 27 Februari 1998, minyak goreng termasuk ke dalam sembilan jenis bahan pokok kebutuhan masyarakat. Jenis minyak goreng yang banyak digunakan di Indonesia adalah Minyak Goreng Sawit. Ini dikarenakan daerah di Indonesia banyak menghasilkan sawit sehingga ideal dalam hal ketersediaan dan harga. Namun sejak November 2021, harga minyak goreng di Indonesia mulai naik. Harga minyak goreng kemasan premium naik dalam kisaran Rp24.000/liter.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Menurut Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, kenaikan harga disebabkan harga internasional yang naik tajam. Faktor lainnya karena turunnya panen sawit pada semester kedua sehingga suplai CPO (Crude Palm Oil/Minyak Sawit Mentah) menjadi terbatas dan mengganggu rantai distribusi industri minyak goreng. Selain itu ada kenaikan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel karena penerapan kebijakan B30.

Dalam ilmu ekonomi, jika penawaran berkurang (suplai CPO berkurang) sementara permintaan (terhadap CPO) tetap atau cenderung naik maka harga pasti akan naik. Di tengah situasi seperti ini (harga CPO yang merangkak naik), Menperindag menetapkan kebijakan HET (Harga Eceran tertinggi); minyak curah 11.500/liter, kemasan sederhana 12.000-an/liter, kemasan premium 14.000/liter. Kebijakan HET ini membuat minyak goreng tiba-tiba hilang dari pasaran. Rakyat harus mengantre berjam-jam hanya utk mendapatkan 1 liter minyak goreng. Kemudian munculah “pasar gelap” minyak goreng.

Fenomena hilangnya minyak goreng dari pasaran setelah ditetapkan HET adalah hal yang aneh. Karena sebenarnya produksi CPO di Indonesia sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Menurut data GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) produksi CPO Indonesia 2021 sebesar 46,88 juta ton. Sedangkan dari data Gapki (dikutip dari databoks.katadata.co.id) konsumsi minyak sawit dalam negeri mencapai 18,42 juta ton sepanjang 2021. Artinya untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri hanya sepertiga dari produksi CPO. Karena itu diduga kuat telah terjadi kartel dalam tata niaga minyak goreng di Indonesia.

Kartel adalah dua atau lebih pelaku usaha yang berkoordinasi melalui suatu perjanjian untuk menutupi persaingan di antara mereka di pasar yang bersangkutan. Tujuan pelaku usaha melakukan kartel adalah untuk meningkatkan jumlah keuntungannya. Pelaku usaha yang seharusnya bersaing secara bebas di pasar justru melakukan persengkongkolan untuk mengatur atau mengendalikan harga, jumlah produksi dan pembagian untuk suatu barang.  Masyarakat akhirnya tidak punya pilihan lain karena membutuhkan produk tersebut walaupun harganya mahal atau kualitasnya berkurang.

Ada empat perusahaan besar yang diduga menguasai produksi hingga pemasaran minyak goreng di Indonesia. Keempat perusahaan tersebut yakni, Sinar Mas Group (Filma), Salim Group (Bimoli), Musim Mas Group (Sanco), Group Wilmar (Fortune dan Sania).7 KPPU mencatat keempat perusahan tersebut menguasai 40% pasar di Indonesia. Perusahaan tersebut juga memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, dan hingga produk turunan CPO (minyak goreng).

Di tengah kelangkaan minyak goreng beberapa waktu lalu, para politisi kemudian berlomba-lomba membagikan minyak kepada rakyat. Partai politik PDI-P dan PSI membuat program “minyak murah”. Bahkan Partai Demokrat juga turut membagikan minyak goreng gratis. Pada 16 Maret 2022 Menperindag mencabut kebijakan penetapan HET Minyak Goreng Kemasan.1 Stok minyak goreng kembali melimpah namun harganya naik. Untuk merespon lonjakan harga, pada awal April, Presiden Jokowi mengumumkan akan membagikan BLT minyak goreng kepada 20,5 juta keluarga dan 2,5 juta pedagang kaki lima yang berjualan gorengan.

Mengapa Harga Minyak Goreng Naik?

Faktor yang menyebabkan harga minyak naik: Pertama, turunnya pasokan karena pandemi (TKI dipulangkan, gangguan logistik berkurangnya jumlah kontainer, turunnya panen sawit dan lain-lain) (penawaran berkurang). Kedua, permintaan naik. Permintaan ekspor minyak goreng sawit sebagai substitusi karena terganggu konflik Rusia-Ukraina (Ukraina penghasil minyak biji bunga matahari), Kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel (permintaan naik)

Menurut ilmu ekonomi, keseimbangan harga pasar suatu barang ditentukan oleh penawaran dan permintaan terhadap barang tersebut. Jika penawaran/supply berkurang sedangkan permintaan/demand tetap bahkan cenderung bertambah, maka harga pasti naik. Demikian juga sebaliknya. Karena itu ketika permintaan CPO berkurang karena jumlah produksi yang berkurang, sedangkan permintaan tetap bahkan cenderung bertambah, maka kenaikan harga minyak goreng adalah suatu keniscayaan.

Maka dari itu tidak ada yang salah dengan naiknya harga menurut ilmu ekonomi. Karena ilmu ekonomi adalah ilmu yang membahas tentang harta kekayaan dan aktivitas manusia yang berkaitan dengan produksi/pengadaan dan pertambahan produksi/penambahan jumlah barang dan jasa.

Tentu saja berbeda halnya dengan sistem ekonomi. Sistem ekonomi adalah sistem aturan hukum yang mengatur aktivitas manusia yang berhubungan dengan distribusi pertukaran dan konsumsi barang dan jasa. Berbeda dengan ilmu yang bersifat sains, sistem ekonomi bersifat spesifik. Sistem ekonomi terpengaruh dengan pandangan hidup tertentu dan dibangun dari akidah tertentu.

Inilah kesalahan pertama dari para ekonom kapitalis. Mereka mencampuradukkan antara ilmu dan sistem ekonomi. Padahal keduanya berbeda. Problem ekonomi yang terjadi di masyarakat sebenarnya muncul dari persoalan bagaimana manusia memperoleh alat-alat pemuas kebutuhan dan kegunaannya (dalam hal ini adalah minyak goreng). Persoalan manusia bukan muncul dari bagaimana cara manusia memproduksi alat-alat pemuas kebutuhan yang dapat memberikan kegunaan.

Sistem ekonomi Kapitalisme vs Sistem Ekonomi Islam

Untuk menganalisis mengapa terjadi kelangkaan barang dan naiknya harga minyak goreng sawit di Indonesia berikut adalah perbandingan sistem ekonomi Kapitalisme dengan sistem ekonomi Islam.

Pertama, Dari segi asasnya. Sistem ekonomi kapitalisme dipengaruhi oleh konsep Ekonomi Pasar Bebas. Setiap penjual dan pembeli bebas menentukan pasarnya sendiri. Negara tidak boleh ikut campur dalam hal ini. Namun setelah ada krisis moneter, intervensi negara diperbolehkan. Negara hanya sebagai regulator/pembuat kebijakan. Sistem ekonomi kapitalis dipengaruhi oleh konsep tentang kelangkaan barang. Teori ini mengatakan bahwa kebutuhan manusia akan selalu meningkat sedangkan alat pemuas kebutuhannya terbatas (teori kelangkaan barang). Setiap individu memiliki hak untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya.

Dari sini tampak kesalahan pandangan tersebut. Para ekonom kapitalis menganggap bahwa jumlah barang dan jasa tidak akan memenuhi seluruh kebutuhan (needs) manusia. Mereka mencampuradukan antara keinginan (wants) dengan kebutuhan (needs). Semua keinginan harus dipenuhi. Padahal kebutuhan yang harus dipenuhi secara pasti hanyalah kebutuhan primer (basic needs) manusia. Dalam kasus ini, minyak goreng sawit adalah kebutuhan primer (makanan) bagi orang Indonesia.

Sedangkan dalam Islam, asas sistem ekonominya bahwa semua yang ada di bumi diciptakan oleh Allah SWT. Semua kekayaan alam itu bisa digunakan oleh manusia untuk kehidupannya. Manusia diberikan kewenangan untuk memiliki sesuatu melalui kepemilikan yang diatur oleh hukum syara. Tujuannya juga jelas mencari kekayaan bukanlah menjadi alat pemuas kebutuhan namun menjalankan perekonomian sesuai perintah dan larangan Allah. Hukum syara telah menjamin tercapainya pemenuhan kebutuhan primer untuk manusia. Dan negara adalah sebagai pengayom rakyat. Dalilnya, “Imam itu adalah laksana pengembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakan)” (HR. Imam Bukhari dan Imam Ahmad). Jika memang terjadi kelangkaan barang, maka khalifah harus berusaha mencukupi pengadaan barang dengan menyuplai makanan dari daerah lain. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab.

Kedua, dalam sistem ekonomi kapitalisme, tidak dibedakan antara produksi, konsumsi, dan distribusi. Akibatnya pandangan para ekonom lebih banyak didasarkan pada produksi kekayaan daripada distribusi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan pandangan terhadap distribusi menjadi pandangan nomor dua. Sistem ekonomi kapitalis berpandangan, yang diperlukan hanyalah meningkatkan kekayaan negara secara total dan memperoleh tingkat produksi setinggi-tingginya.

Selain itu pandangan kaum kapitalis, bukan dibentuk dalam rangka mencukupi kebutuhan masing-masing orang per orang tetapi secara umum (GDP dan lain-lain). Ketika kelangkaan yang menjadi masalah, solusinya adalah dengan memproduksi alat pemuas kebutuhan (barang dan jasa) sebanyak-banyaknya. Tidak peduli apakah produksi barang dan jasa itu sampai atau tidak kepada masing-masing rakyat.

Pada kasus minyak goreng, akan ditemukan keanehan. Jumlah produksi CPO 2021 sebesar 46,88 juta ton, sedangkan jumlah konsumsi minyak sawit dalam negeri 2021 hanya mencapai 18,42 juta ton. Ini berarti jumlah produksi sawit sangat mencukupi konsumsi minyak sawit dalam negeri. Namun faktanya rakyat kesusahan mendapatkan minyak goreng. Maka dari itu diduga kuat ada kartel dalam tata niaga minyak goreng di Indonesia.

KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) tengah mengumpulkan bukti terkait dugaan kartel atau pelanggaran lain pada kasus penimbunan minyak goreng. Dilaporkan oleh bisnis.com, Satgas Pangan Sumatera Utara, menemukan sekitar 1100ton minyak goreng kemasan di salah satu gudang di Deli Serdang. Kartel termasuk ke dalam tindak pidana dalam UU Indonesia. Tertuang dalam pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran barang dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat mengakibatkan terjadinya monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Dalam sistem ekonomi Islam, penimbunan adalah cara terlarang dalam mengembangkan kepemilikan harta. Diriwayatkan dalam Al-Qasim menuturkan hadits dari Abi Umamah ra. Yang mengatakan, “Rasulullah SAW telah melarang penimbunan makanan. (-al-Hakim dalam al-Mustadrak dan Ibn Abi Syaibah). Negara akan memberikan sanksi dan hukuman yang tegas kepada para penimbun barang.

Selain itu dalam sistem ekonomi kapitalis, negara boleh mengintervensi ketika ada krisis. Maka tidak heran jika ada kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6/2022 tentang HET minyak goreng sawit. Kebijakan pemerintah (menperindag) dengan menetapkan HET adalah kesalahan fatal. Justru dengan kebijakan tersebut menyebabkan minyak goreng hilang dari pasaran.

Dalam sistem ekonomi Islam, pematokan harga merupakan sebuah bentuk kezaliman. Pematokan harga faktanya memang membahayakan, bahkan membahayakan umat. Pematokan harga dapat membuka pasar secara sembunyi-sembunyi, orang akan melakukan jual beli di pasar gelap. Hal ini akan membuat kegiatan jual beli menjadi susah diawasi oleh negara. Akibatnya harga akan merangkak naik, dan barang-barang hanya bisa dijangkau oleh orang mampu. Pematokan harga bisa mempengaruhi konsumsi barang yang selanjutnya terhadap produksi dan bisa jadi akan menimbulkan krisis ekonomi. Jika penguasa yang melakukan pematokan harga, maka ia dianggap berdosa dan telah melakukan keharaman. Rakyat berhak mengadukan kepada Mahkamah Mazhalim.

Islam secara mutlak telah mengharamkan pematokan harga. Dalilnya, "Dari Yahya Bin Umar dari Anas bin Malik, "Sesungguhnya banyak manusia datang kepada Rasulullah dan berkata,  “Tentukanlah harga bagi kami, harga-harga kami.” Rasulullah SAW bersabda,  “Wahai manusia! Sesungguhnya naiknya (mahalnya) harga-harga kalian dan murahnya itu berada di tangan Allah Subhanahu Wata’ala, dan saya berharap kepada Allah ketika bertemu Allah (nanti), dan tidaklah salah satu orang terhadapku, (aku memiliki) kezaliman dalam harta dan tidak pula dalam darah.”

Ketiga, dalam sistem kapitalisme, terdapat ide dasar tentang kebebasan individu. Dari sanalah diadopsi ide kebebasan kepemilikan pribadi. Individu bebas memiliki apa yang diinginkan dan dengan cara apapun yang diinginkan. Karena kesakralannya, mereka berpandangan bahwa harus dibuka pintu bagi individu untuk memiliki dan mengembangkan kekayaan dengan membatasi intervensi negara. Bahkan perlu ditetapkan dalam undang-undangnya untuk mengakui kepemilikan individu. Negara juga harus bertanggung jawab untuk melindunginya. Namun realita yang terjadi adalah kepemilikan individu itu berkembang menjadi kepemilikan terbatas/kelompok tertentu. Selanjutnya yang terjadi adalah konsentrasi kekayaan di tangan para pemilik modal/kapitalis mendominasi perekonomian negeri.

Dalam kasus minyak goreng ini, menurut Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Rizal E. Halim, 98 % penggunaan tanah untuk perkebunan sawit adalah milik negara melalui mekanisme HGU. Berikut jumlah luas kebun sawit yang dimiliki oleh keempat perusahaan tersebut dan jumlah labanya tahun 2021.

Menurut Ketua KPPU ada hubungan antara kelangkaan dan mahalnya minyak goreng dengan penguasaan lahan perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit bisa saja hanya dimiliki beberapa perusahaan. Dengan begitu, telah terjadi akumulasi penguasaan modal karena sebenarnya perkebunan itu hanya dimiliki oleh segelintir perusahaan. Akibatnya akan mudah bagi perusahaan untuk melakukan kartel (kesepakatan menaikkan harga).

Berbeda dengan sistem ekonomi Islam, hukum syara telah mengatur tiga jenis kepemilikan yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Individu berhak memiliki sesuatu (diatur dalam hukum syara mana yang boleh dimiliki oleh individu). Selanjutnya ada kepemilikan umum yang pengaturannya diserahkan kepada Khalifah. Yang terakhir adalah kepemilikan negara yang khalifah berhak mengaturnya sesuai tabanni yang diambil.[]


Penulis: Wendy Lastwati, Aktivis Muslimah


Posting Komentar

0 Komentar