Ramai di media sosial korban begal yang dijadikan tersangka karena membunuh pelaku begal. Amaq Sinta pemuda Lombok 34 tahun membunuh 2 dari 4 begal yang menyerangnya dengan senjata tajam, Minggu, 10 April 2022 pukul 24.00 WITA, saat hendak mengantarkan makanan untuk Ibunya. Publikpun bereaksi keras terhadap keputusan ini.
Netizen ramai memberikan komentarnya. "Wkwk bukan masalah main hakim sndiri, tp bentuk nyelamatin diri, masa kita mau diem aja dibunuh begal,". tulis seorang warganet di Instagram. "Jadi gaess, klo kita ktm begal kita nurut aja, biarin dah kita di matiin, daripada kita di penjara... #negri lawak," kata warganet yang lain. "Membela diri = main hakim sediri *ehgimana," ungkap wargnet. Kompas.com, 14/04/2022
Setelah menjadi sorotan publik, tak selang berapa lama kasusnya dihentikan dan Amaq Sinta dibebaskan. Entah jika kasus ini tidak viral apakah akan sama ceritanya. Ternyata kasus korban begal yang ditetapkan menjadi tersangka karena melakukan perlawanan demi membela diri hingga menewaskan pelaku begal bukan sekali ini terjadi.
Jejak digital dari berbagai sumber merekam beberapa kasus serupa. Diantaranya, DI (21) dijadikan tersangka setelah menewaskan 1 dari 4 pelaku yang akan merampoknya saat melintas di jalan Sei Beras Sekata Medan pada Selasa dinihari, 21 Desember 2021. DI tidak ditahan karena dianggap kooperatif.
Remaja di Malang ZA, 19 tahun dijadikan tersangka karena membunuh orang yang akan merampas motor dan ponselnya serta berusaha memperkosa teman perempuan yang tengah bersamanya. Kasus ini terjadi bulan September 2019. Masih di tahun yang sama, bulan November, di Probolinggo, Nanang Budianto (21) diancam hukuman mati atau seumur hidup setelah membunuh tetangganya karena hendak memperkosa istrinya untuk yang ketiga kalinya.
Mohamad Irfan Bahri sempat di jadikan tersangka setelah melumpuhkan begal yang meyerangnya di Flyover Summarecon Bekasi tahun 2018. Namun Polres Metro Bekasi Kota mengklarifikasi dan mengkoreksinya, bahkan memberikan penghargaan kepada Irfan. Insiden begal 'klitih' juga dialami pengemudi truk di Jogja akhir Tahun 2018. Korban kemudian dijadikan tersangka karena menabrak pembegalnya hingga tewas.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah mengalami insiden penyerangan yang mengancam harta benda dan nyawa, ketika membela diri malah dijadikan tersangka. Dua hal yang perlu dikritisi dari beberapa kejadian ini adalah, jaminan rasa aman dan rasa keadilan. Dimana keduanya merupakan hak dasar setiap manusia dimanapun berada dan menjadi tanggungjawab pihak yang berwenang dalam hal ini aparat kepolisian bersama negara.
Semua menginginkan rasa aman. Namun faktanya, masyarakat masih saja disuguhi berita pencurian, perampokan dan jenis kejahatan lainnya yang membuat rasa tidak tenang. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah kejadian kejahatan pada 2018 sebanyak 294.281 kejadian. Tahun 2019 sebanyak 269.324 kejadian dan pada tahun 2020 sebanyak 247.218 kejadian. Ini adalah kasus yang dilaporkan, sementara itu disebutkan pula selama periode 2019-2020, persentase penduduk Indonesia yang mengalami kejadian kejahatan kemudian melaporkannya ke polisi tidak lebih dari 25 persen.
Semua menginginkan rasa keadilan. Namun faktanya, penegakkan hukum hari ini tidak benar-benar semua sama di mata hukum. Tidak jarang terjadi inkonsistensi, atau standar ganda dalam menghukumi sebuah kasus. Sebagaimana yang terjadi pada fenomena korban begal yang dijadikan tersangka. Karena ada juga kisah anggota polisi yang berhasil menembak begal kemudian mendapatkan penghargaan. Disisi lain korban begal yang mempertahankan harta, benda dan nyawanya sendiri justru dijadikan tersangka.
Reaksi kekecewaan publik terhadap proses penegakkan hukum di negeri ini juga terbaca salah satunya ketika tagar “percuma lapor polisi” beberapa kali trending di media sosial twitter. Tagar ini muncul berawal ketika ada seorang ibu di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang melaporkan mantan suaminya karena diduga telah memperkorsa 3 anak kandungnya, awal Oktober 2019 lalu. Bukannya ditindaklanjut, kasus malah dihentikan, hingga akhirnya viral. Atau yang terbaru bulan Januari 2022, kasus pengemudi online di Cileungsi Bogor yang melapor kehilangan motor ditolak bahkan sempat dipukul oleh oknum polisi karena protes laporannya diabaikan.
Meskipun sebagian kasus akhirnya diklarifikasi, dikoreksi dan diselesaikan dengan damai, namun sangat disayangkan hal ini harus terjadi bahkan berulang. Wajar ketika akhirnya dijadikan candaan ditengah publik dengan sindiran ‘diproses setelah viral’, atau ‘diproses kalau bayar’.
Mengapa hal ini terjadi di negeri yang mengklaim sebagai negara hukum. Hukum berfungsi melindungi kepentingan manusia, mengatur kehidupannya agar berjalan sebagaimana mestinya. Syaikh Taqiyudin Annabhani dalam kitabnya menyampaikan, pemahaman manusia dalam mengatur kehidupan berpeluang terjadi perbedaan satu dengan yang lain. Apabila manusia dibiarkan membuat aturan sendiri, memungkinkan terjadi perselisihan, pertentangan yang justru menjerumuskan ke dalam kesengsaraan.
Dari penjelasan di atas jelas, kerusakan dan kesengsaraan yang terjadi bukan semata kesalahan oknum saja, atau salah satu lembaga saja. Kesalahannya terletak pada sumber hukumnya, yang berasal dari akal manusia. Manusia adalah makhuk yang lemah dan terbatas, selalu punya kecenderungan sehingga mustahil bisa adil dalam segala hal. Siapakah yang kemudian pasti adil dalam segala hal? Tidak lain adalah yang menciptakan manusia, yaitu Allah SWT. Sebagaimana seorang perakit komputer adalah yang paling tahu komputer rakitannya, maka Allah SWT pula yang Maha Mengetahui hamba-Nya. Adakah yang lebih tahu dari Allah tentang manusia dan kehidupan ini?
Maka, aturan atau hukum yang pasti benar dan pasti adil harus datang dari Sang Maha Pengatur, Allah SWT, Al Khaliq, Al Mudabbir. Bagaimana Allah mengatur sanksi untuk para pelaku kriminalitas? Dengan gamblang Allah SWT berfirman, “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsia pa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS Al Maidah 45).
Sayangnya hukum Islam dalam ini qisash justru di stigma negatif, dicitrakan sebagai tindakan yang sadis dan tidak berperikemanusiaan. Lantas apakah yang dilakukan pelaku kejahatan yang menghilangkan nyawa orang lain tersebut tidak sadis dan manusiawi sehingga bisa diterima?
Justru dengan syariat inilah nyawa manusia terjaga dengan sempurna. Sebagaimana fungsi sanksi di dalam Islam adalah sebagai sebagai jawabir dan jawazir. Jawabir adalah penebus/kafarat, agar diakhirat tidak dihukum lagi. Jawazir adalah pencegah atau efek jera, yang akan membuat siapapun tidak berani melakukan kejahatan ketika melihat sanksi yang sangat berat. Sejarah membuktikan, selama 1300 tahun hukum islam diterapkan, hanya terjadi 200 kasus tindak kejahatan. Bandingkan sejak tahun 1924 hukum islam dihancurkan hingga hari ini, yang belum genap 100 tahun, berapa jumlah kasus terjadi setiap hari, bahkan setiap detik?
Mampukah hukum buatan manusia menuntaskan segala bentuk kasus kejahatan hingga akarnya? Mewujudkan rasa aman dan juga keadilan yang sebenarnya? Allah berfriman dalam Al Quran Surat Al-Maidah: 50 “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”.
Penulis : Anita Rachman
0 Komentar