Pada rentang akhir 2021 hingga saat ini, Indonesia dihajar dengan kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng. Suatu keadaan yang menyesakkan dada, hingga menimbulkan korban jiwa. Hal ini pula yang diliput oleh media internasional, The Economist dengan pernyataannya yang dikutip oleh berbagai media nasional:
"Di Kalimantan Timur, daerah yang memproduksi hampir 2/5 (kebutuhan) minyak sawit Indonesia, setidaknya 2 orang ibu rumah tangga meninggal dunia karena mengantre (minyak goreng)" tulis The Economist (suara.com, 4/4/2022).
Bak mati di lumbung padi, warga +62 tidak mampu menikmati kekayaan minyak sawit yang ada di negerinya sendiri. Bagaimana tidak, sebab status sebagai negara produsen terbesar di dunia minyak kelapa sawit bukanlah milik seluruh bangsa, melainkan diwakili oleh beberapa perusahaan tertentu saja.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mampu memproduksi kelapa sawit sebesar 46,22 juta ton pada 2021. Kelapa sawit itu terbanyak diproduksi dari lahan yang tersebar di Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, serta Bengkulu (databoks.katadata.co.id, 4/4/2022).
Luas perkebunan sawit pada 2021 juga mencapai 15,1 juta hektare (jangka estimasi) (ekbis.sindonews.com, 31/3/2022).
Namun demikian, kepemilikan kebun kelapa sawit dan hasilnya bukanlah milik rakyat, atau milik negara yang diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di baliknya banyak perusahaan swasta bermain yang meraup keuntungan hingga masuk ke kantong pribadi.
Sederet perusahaan swasta tengah menguasai perkebunan sawit di Indonesia. Setidaknya ada 12 perusahaan sawit terbesar di Indonesia yang eksis hingga hari ini. Perusahaan-perusahaan itu adalah Astra Agro Industri yang memiliki lahan seluas 286.877 hektare, Bakrie Sumatera Plantations dengan luas kebun sawit lebih dari 6.200 hektare, dan Austindo Nusantara Jaya yang memiliki lahan seluas 153.000 hektare.
Ada juga Eagle High Plantations yang memiliki luas lahan tanam sawit sebanyak 116.000 Hektare, PP London Sumatra Indonesia memiliki lahan khusus sawit seluas 95.637 Hektare, Sawit Sumbermas Sarana yang mengelola lahan sawit seluas 93.660 hektar dan plasma seluas 22.862. Selain itu, ada juga Dharma Satya Nusantara, Sampoerna Agro, Salim Ivomas Pratama, Sinar Mas Agro Resource and Technology, dan perusahaan lainnya yang memegang peranan besar dalam perdagangan sawit di tingkat nasional dan Internasional.
Di tengah sulitnya rakyat mencari minyak goreng, para crazy rich pemilik perusahaan minyak goreng di atas justru semakin banyak mendapatkan keuntungan. Portal berita cnbc indonesia 13 Maret 2022 merilis setidaknya ada empat pengusaha Indonesia yang makin crazy rich dari usaha minyak goreng. Keempat pemilik perusahaan itu adalah keluarga Wijaya (pemilik Sinar Mas Group dengan merk dagang Filma), Anthoni Salim (pemilik Grup Salim dengan merek dagang Bimoli), Bachtiar Karim (pemilik grup Musim Mas, salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia yang memiliki merek dagang Sanco), serta Martua Sitorus (pemilik grup wilmar yang memproduksi minyak bermerek Fortune dan Sania).
Selain perusahaan besar lokal, ada juga perusahaan asing yang menggurita di dunia perkebunan kelapa sawit. Investor asing datang dari Malaysia menguasai 3 juta hektare lahan kepala sawit Indonesia. Selain di bidang perkebunan, Malaysia juga berinvestasi pada subsektor tanaman pangan dan peternakan. Total investasi Malaysia di Indonesia mencapai 15,8 persen. Jauh lebih besar lagi, Singapura menanamkan modalnya dalam ketiga sektor tersebut hingga 53,7 persen (cnnindonesia.com, 1/5/2021).
Mengguritanya perusahaan asing dan lokal dalam urusan kebutuhan pokok publik berupa minyak goreng ini sudah sampai pada taraf monopoli. Sebab, pemerintah sudah tidak lagi mampu mengaturnya, hingga harga minyak goreng terus bertahan pada posisi menguras dompet rakyat.
Sementara pemerintah hanya melakukan langkah serampangan yang tidak signifikan menurunkan harga minyak goreng. Pasalnya, beberapa langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah seperti menetapkan harga eceran tertinggi (HET), justru mengakibatkan kelangkaan minyak goreng di berbagai wilayah akibat kompaknya para pengusaha menahan peredaran minyak goreng. Sementara setelah HET dicabut, pasokan minyak goreng membludak dengan harga yang fantastis.
Memang benar, pemerintah tengah mencairkan dana berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) khusus untuk membeli minyak goreng. Namun, BLT yang dikeluarkan untuk 20,5 juta keluarga penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga harapan (PKH) itu hanya sebesar Rp.100.000 per bulan selama tiga bulan. Cukupkah BLT itu memenuhi kebutuhan mereka?
Sebanyak 2,5 juta pedagang kaki lima penjual gorengan juga akan diberikan BLT dengan jumlah yang sama. Berapa sebenarnya kebutuhan sehari-harinya?
Pemerintah juga berjanji akan menindak para mafia minyak goreng. Namun, derasnya arus dari atas, beranikah mereka melanjutkan penindakan itu? Maka, meski BLT sudah dikucurkan, janji-janji diluncurkan, tetap tak sulit untuk menemukan antrean warga demi mendapatkan minyak goreng tersebut.
Banyaknya perkebunan sawit di Indonesia bukanlah milik negara. Sebab perkebunan itu dibangun pengusaha lokal dan asing di atas lahan milik negara dengan skema pemberian Hak Guna Usaha (HGU) yang bernafaskan liberalisme.
Sejak orde baru hingga kini, para korporat dimanjakan usahanya dengan skema pemberian HGU. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria, Iwan Nurdin. Ia menyatakan bahwa pemerintah seharusnya memprioritaskan pemberian hak lahan pada masyarakat yang belum memiliki lahan, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan kepemilikan lahan di Indonesia.
Dalam distribusi minyak goreng pun, pemerintah diwakili oleh Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi telah mengaku tidak mampu mengontrol para mafia minyak goreng di pasar sebab sifat mereka yang rakus dan jahat. Jadilah pemerintah seperti macan ompong di hadapan para kapitalis yang lebih mampu mendikte pasar.
Dalam paparan di atas, jelaslah bahwa rakyat tidak memiliki bagian sama sekali dalam percaturan pembagian lahan atas perkebunan sawit, lebih-lebih atas hasil bumi yang dihasilkan. Meski Indonesia terkenal dengan zamrud khatulistiwa karena hijaunya kepulauan dari Sabang sampai Merauke, nyatanya bukanlah milik warganya.
Semua kehijauan perkebunan sawit adalah milik pengusaha, yang memandang rakyat dengan pandangan rakus, hanya sebagai objek untuk mendapatkan keuntungan. Sementara rakyat tak sungguh-sungguh dipedulikan oleh pemerintahan yang bernapaskan kapitalisme-liberal. Sistem pemerintahan seperti inilah yang harus segera dicampakkan!
Wallahualam bishawab.
(Aktivis Dakwah Kampus dan Pendidik Generasi)
0 Komentar