Moderasi Agama Berbalut Toleransi



Keuskupan Bogor menggelar kegiatan safari toleransi ke Vihara Dhanagun, Kota Bogor. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan toleransi antar umat beragama. Menurut Uskup Bogor Mgr Paskalis Bruno safari toleransi akan membangun, memperkuat dan memperteguh semangat toleransi antar keuskupan Bogor dan bersama umat dan pimpinan Vihara Dhanagun, sesama manusia meski berbeda agama atau pun suku tetapi tetap saudara. (Beritasatu.com 25/3/2022)

Sekilas ini merupakan hal yang baik dan patut diacungi jempol, namun bagi umat muslim tentunya tidak demikian adanya. Safari toleransi atau doa lintas agama merupakan salah satu cara moderasi beragama. Kita dituntut untuk berbaur bahkan mengikuti ritual atau acara keagamaan orang lain atas nama toleransi. Bahkan umat Islam yang tidak mau melakukannya bisa dianggap intoleran.

Masih kita ingat saat perayaan natal dan tahun baru kemarin, beredar video yang viral dimana paduan suara di sebuah gereja justru diiringi oleh tim hadroh yang memainkan rebana. Ada juga yang diiringi dengan shalawat. Sebaliknya, pada saat idul fitri, dengan alasan masih pandemi, masjid Istiqlal Jakarta tidak menyelenggarakan sholat idul fitri, namun justru menggelar paduan suara di dalam masjid Istiqlal. Saat idul fitri 1442 H Jakarta Youth Choir menyanyikan lagu Asmaul Husna dan lagu Lebaran karya Ismail Marzuki. Walaupun hal ini menuai kritik namun beberapa warga justru bangga dengan sebutan Jakarta Kota Kolaborasi. (Tempo.co, 18/05/2021)

Gambaran fakta-fakta di atas dijadikan momen oleh para penggiat moderasi beragama sebagai contoh ideal toleransi antar umat beragama. Lantas bagaimanakah pandangan Islam terkait toleransi beragama?

Umat muslim dari zaman Rasulullah Saw. hingga para sahabat yang menjadi Khulafaur Rasyidin dan para penerusnya telah mengajarkan dan mencontohkan arti toleransi yang sesungguhnya. Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan, baik antar individu maupun kelompok. Konsep toleransi dalam Islam merupakan konsep yang baku yaitu tidak adanya paksaan bagi nonmuslim untuk memeluk Islam sebagaimana Allah Swt. jelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 256 yang artinya, "Tidak ada paksaan dalam memeluk agama (Islam)".

Begitupun ketika umat nonmuslim melaksanakan ibadah mereka, umat muslim tidak diperbolehkan mengganggu mereka. Allah Swt. menegaskan dan menjelaskan dalam firmanNya surat Al-Kafirun ayat 1-6, "Katakanlah, "Hai orang-orang yang kafir". Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadikannya menyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku".

Jelasnya perintah dari Allah Swt. seharusnya cukup menjadi patokan umat muslim bahwasannya Islam mengajarkan toleransi yang hakiki. Namun pada kenyataannya lewat para penguasa ataupun para ulama su' (ulama yang buruk atau jahat), ajaran Islam ditafsirkan sesuai arahan kafir Barat untuk mengobok-obok ajaran Islam sesuai kehendak mereka. Karena sejatinya, mereka takut umat muslim akan bangkit dan menerapkan syariatNya. Kebangkitan Islam akan membuka pintu kehancuran bagi peradaban Barat.

Disinilah urgensi para pengemban dakwah hadir di tengah-tengah umat untuk terus memberikan penjelasan bahaya moderasi beragama bagi kaum muslimin. Islam tidak menutup kerjasama dengan umat lain di luar perkara akidah. Kita diperbolehkan bekerjasama atau bermuamalah dengan umat nonmuslim asalkan tidak bertentangan dengan hukum syara.

Toleransi semu terus digaungkan dengan caption yang manis agar umat muslim terperdaya mengikuti arus mereka memoderasi agama Islam. Pluralitas itu memang ada, yakni bahwa kita hidup berdampingan dengan keyakinan akidah yang berbeda, itu adalah realitas. Namun pluralisme yang memandang semua agama sama, ini adalah hal yang berbeda. Kita wajib menolaknya karena bertentangan dengan keyakinan umat apalagi diperkuat dengan firman Allah Swt. dalam QS. Ali Imran ayat 19 yang artinya, "Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitunganNya."

Menjaga keyakinan dan akidah memang membutuhkan sistem yang akan menjaganya dengan benar, serta menjaminnya terbebas dari hal-hal yang akan merusaknya. Namun ini tak akan didapatkan dalam sistem yang saat ini dianut negeri muslim terbesar di dunia ini. Yang ada justru sebaliknya, penguasa menjadi salah satu regulator dalam penyebaran moderasi beragama berbalut toleransi.

Hanya sistem Islam dalam bingkai daulah khilafah, akidah umat akan murni terjaga. Pemimpin dan negara menjaga dan menjaminnya terbebas dari segala bentuk pengrusakan akidah umat. Untuk itulah para pengemban dakwah harus terus berupaya mengerahkan segenap pikiran dan tenaga untuk menjaga dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang yang haq itu haq, dan yang batil itu batil. Karena batasan dalam Islam, putih adalah putih, hitam adalah hitam, tak bisa diaduk menjadi abu-abu. Semua harus jelas dan rinci ketika menyangkut akidah, agar senantiasa murni tanpa terwarnai atau ternodai, hingga Allah Swt. rida dengan langkah kita. Wallahu a'lam.


Penulis : Titin Kartini

Posting Komentar

0 Komentar