Momen libur Nataru (Natal-Tahun Baru) tahun lalu publik gaduh karena pemerintah membatalkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3. Meskipun ada penjelasan hanya istilahnya saja yang berubah, karena tetap ada protokol kesehatan dan segenap syarat perjalanan yang harus dipenuhi. Namun tetap saja yang terbaca di tengah publik ada diskriminasi, khususnya untuk umat Islam dan atau pada hari besar Islam. Bahkan kemudian muncul sindiran “Jangan-jangan nanti PPKMnya pas lebaran idul fitri”.
Kekhawatiran tersebut memang tidak terbukti, pandemi sudah membaik, tidak ada pemberlakuan PPKM dan mudik diperbolehkan. Namun ternyata umat muslim belum bisa bernafas lega, karena masih ada syarat vaksin booster yang harus dipenuhi untuk bisa bertemu sanak saudara di kampung halaman. Ramai masyarakat merespon kebijakan ini. Sebagian membandingkan dengan penyelenggaran Pertamina Grand Prix of Indonesia atau MotoGP Mandalika 2022 yang tidak menyertakan syarat yang sama. Sementara di ajang MotoGP juga terjadi pergerakan dan kerumunan massa dari dalam dan luar negeri.
Jumlah kerumunan di Mandalika dengan arus mudik yang tak sebanding menjadi salah satu asalan pemerintah tidak memberlakukan peraturan yang sama. Meskipun beberapa fakta menunjukkan ada inkonsistensi, dimana kerumunan dengan jumlah masa sebanding tetap berbeda perlakuannya. Bergantung kepada siapa yang ada di balik pergerakan dan atau kerumunan tersebut. Jika yang bersangkutan adalah pendukung penguasa atau bahkan penguasa itu sendiri, tidak ada perlakukan yang ketat sebagaimana ketika pergerakan dan atau kerumunan itu melibatkan tokoh atau kelompok yang berseberangan dengan penguasa atau berhubungan dengan Islam dan aktifitas kaum muslimin.
Pemerintah juga mengklaim tujuan syarat vaksinasi booster bagi pemudik adalah untuk meningkatkan capaian vaksinasi Covid-19 di daerah. Tetapi mengapa hanya saat mudik lebaran yang notabene adalah simbol Islam? Apalagi ini bukan kebijakan pertama yang dirasakan diskriminatif terhadap Islam dan simbol-simbolnya. Padahal negeri ini adalah negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Hal ini terjadi karena sistem yang sedang berlaku hari ini bukan sistem Islam, tapi sistem sekulerisme, dimana agama dipisahkan dari kehidupan. Tidak mau hidupnya diatur oleh agama, kecuali hanya dalam hal ibadah ritual. Ketika umat muslim terlihat mulai bersatu dan bangkit keislamannya, mulai memahami Islam secara menyeluruh, tentu pihak-pihak yang tidak suka akan berupaya membendung kebangkitan tersebut.
Selain kesan diskriminatif, getolnya pemerintah menggalakkan vaksinasi juga mengundang keraguan benarkah semata demi kesehatan masyarakat. Hingga beredar meme dan video parodi berisi sindiran, bahwa tujuan vaksin bukan lagi untuk kesehatan, namun demi bisa masuk mall, mendapat bantuan sosial, hingga keperluan publik lainnya. Terbaca ada aroma bisnis di tengah pandemi sehingga semakin mempengaruhi kepercayaan masyarakat.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi kepada Kompas.com tahun lalu menyampaikan, ketidakpercayaan masyarakat pada vaksin disebabkan komunikasi pemerintah yang buruk bahkan berantakan sejak awal pandemi. Para pejabat publik sering mengeluarkan pernyataan yang berbeda-beda. Buruknya komunikasi publik ini kemudian berujung pada kemunculan hoak dan informasi yang simpang siur di tengah masyarakat.
Hal senada di sampaikan oleh Kepala Ombudsman Sulteng, Sofyan Farid Lembah, ketika menanggapi isu vaksin akan menjadi syarat administrasi yang sempat menyeruak tahun lalu. Seharusnya peran pemerintah adalah melakukan sosialasi terus menerus kepada masyarakat, bukan dengan memberlakukan banyak syarat. Sofyan menyampaikan bahwa membangun kepercayaan masyarakat adalah dengan memberikan pelayanan maksimal dan antisipasi semakin melemahkan ketahanan pangan masyarakat. (Ombudsman.go.id, 03/08/2021).
Sistem yang memandang segala sesuatu dari kaca mata bisnis adalah sifat kapitalis yang lagi-lagi lahir dari sekulerisme. Tidak ada peran agama dalam mengatur sistem ekonomi, tapi segala sesuatunya dihitung dengan skema untung rugi. Di dalam sistem kapitalisme ini pula memungkinkan adanya kendali pemilik modal yang membayangi setiap kebijakan, termasuk dalam rangka penanganan pandemi. Ketika penguasa dan atau pengusaha bernaung di bawah payung kapitalisme, maka orientasinya tidak lain adalah kepentingan dan atau keuntungan untuk mereka, bukan yang lain dalam hal ini rakyat.
Lain halnya ketika sistem pemerintahan di atur dengan syariat Islam. Di dalam Islam, peran penguasa murni mengurusi urusan rakyat, mencukupi hajat hidupnya tanpa terkecuali, tanpa banyak syarat dan ketentuan yang merepotkan apalagi memberatkan. Tidak ada motif mencari keuntungan atau mengamankan kepentingan, karena sadar betul besarnya pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah SWT.
Dorongan iman yang lurus dan murni dari sosok penguasa serta didukung sistem Islam yang sempurna dan paripurna, mampu mewujudkan tercukupinya hajat hidup rakyat, tidak hanya dari segi kesehatan, tapi menyentuh seluruh aspek kehidupan. Ketika masyarakat membutuhkan vaksin, negara akan menyediakannya dengan mempertimbangan segala aspek, termasuk kehalalannya. Pemimpin yang amanah akan berbuah kepercayaan masyarakat, sehingga apapun arahan yang diberikan akan diikuti dengan sukarela bahkan penuh antusias karena yakin kepada sosok pemimpinnya. Sebagaimana seorang istri yakin suaminya akan megurusinya dan memberikan yang terbaik untuk keluarga dan anak-anaknya.
Kapitalisme sekulerisme jelas bukanlah habitatnya kaum muslim. Selamanya akan ada diskriminasi, selamanya umat muslim tak berdaya di bawah kendali para kaum kapital. Sudah saatnya campakkan semua yang bukan datang dari Islam, dan kembali menjadikan Islam kaffah sebagai satu-satunya sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan.
Oleh Anita Rachman
0 Komentar