Masuk tahun 2022 sejumlah barang pokok merangkak naik. Berbulan minyak goreng menjadi barang incaran masyarakat, tatkala sulit didapat di seluruh pelosok nusantara. Belum bebas rakyat merasakan harga barang murah, justru di 1 April pemerintah telah mengetok palu bahwa PPN akan naik menjadi 11% yang sebelumnya 10%.
Wakil Menteri Keuangan, Suahazil Nazara membenarkan adanya kenaikan tersebut yang akan diberlakukan April tahun ini dan ia memastikan bahwa tidak semua barang dan jasa akan dinaikan pajaknya. Menurut Suahazil, barang dan jasa yang dikecualikan kenaiakannya adalah barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan beberapa jenis pelayanan lainnya (CNBC 21/3/2022).
Herannya, di saat rakyat merasakan kenaikan harga kebutuhan harian termasuk minyak gorang hingga menelan jiwa, Suahazil masih berkomentar bahwa kenaikan PPN ini tidak bermaksud untuk memberatkan rakyat. “Undang-Undang pajak adalah yang kita desain lebih transparan, adil dan memberikan kepastian bagi seluruh wajib pajak”, ujarnya.
Walaupun tidak semua barang dikenakan kenaikan pajak namun sudah barang tentu efek kenaikannya berimbas pada barang non bahan pokok seperti pakaian, sepatu, pulsa telepon, internet, rumah hingga kendaraan. Naiknya PPN ini sesuai dengan amanat undang-undang No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) (Kompas.com 27/3/2022).
Begitu juga Menteri Keuangan yang tentunya pernyatannya tidak jauh berbeda dengan wakilnya. “(Kenaikan tarif PPN tidak ditunda) karena (pemerintah) menggunakannya untuk kembali pada rakyat. Fondasinya harus disiapkan dulu (melalui penguatan rezim pajak)”, ujar Sri Mulyani (Liputan6.com 22/3/2022).
Perbandingan Pajak dengan Luar Negeri
Sri menyatakan bahwa rata-rata saat ini tarif PPN secara global adalah 15%, sementara Indonesia 10%. Hingga ia katakan masih ada ruang untuk meningkatkan tarif tersebut. “Kami lihat PPN space masih ada, kami naikkan hanya 1%. Kami paham bahwa fokus sekarang ini adalah pemulihan ekonomi, namun fondasi ajak yang kuat harus dibangun” ujarnya.
Namun dilansir dari CNBC Indonesia.com dinyatakan bahwa banyak negara yang justru memutuskan untuk memangkas tarif pajaknya. Seperti Vietnam yang menjadi 8% dari sebelumnya 10%, yang ternyata keputusan tersebut diambil dalam rangka membantu sektor bisnis yang terdampak pandemi (25/3/2022).
Seperti halnya Vietnam, sejumlah negara Eropa juga melakukan hal yang sama. Seperti Portugal yang memangkas PPN BBM sebesar 13%. Belgia yang akan memangkas PPN gas dan listrik menjadi 6% dari Maret-Juli 2022. Siprus memangkas PPN listrik untuk rumah tangga menjadi 9% dari 19%, sedangkan bensin menjadi 5% dan masih banyak negara lain di dunia yang menurunkan kebijakan tarif PPN mereka.
Pengamat pajak, Darussalam seperti dilansir oleh CNBC Indonesia.com mengatakan bahwa kebijakan penurunan pajak negara-negara tersebut dipengaruhi atas dasar kebutuhan untuk mendorong pemulihan ekonomi akibat pandemi. Namun menurutnya hal tersebut hanya bersifat sementara atau dikatakan sebagai relaksasi. Sebab tidak sedikit negara yang bersangkutan membutuhkan dana untuk menambal defisit anggaran mereka (25/3/2022).
Sedangkan menurut Faisal Basri, ekonom Indef di chanel Youtube CNN Indonesia mengatakan bahwa di tengah gonjang-ganjing kenaikan pajak kepada rakyat, ternyata fasilitas yang diberikan pada perusahaan besar jauh lebih banyak. “Misalnya penurunan pajak perusahaan dari 25% menjadi 22% yang tadinya direncanakan turun menjadi 20%, namun dibatalkan. Sementara untuk rakyat, pajak justru dinaikan”, ujarnya.
Pajak, Pendapatan Negara Kapitalis
Dilansir dari web Direktorat Jenderal Pajak, pajak.go.id dikatakan bahwa pajak mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan bernegara khususnya dalam pelaksanaan pembangunan. Memang benar bahwa dengan menaikkan pajak, maka pendapatan negara untuk mengadakan pembangunan akan lebih banyak.
Seperti yang telah dicurigai oleh ekonom Bhima Yudistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios). Bima menduga bahwa kenaikan pajak yang dilakukan oleh pemerintah salah satunya adalah untuk menambal ongkos proyek pembangunan IKN yang memakan APBN cukup besar (Liputan6.com 29/3/2022).
Saat ini pemerintah sedang terus membangun negeri dan yang sangat terlihat adalah pembangunan Ibukota Negara. Tentunya pembangunan ini membutuhkan dana yang sangat mahal setelah tiga investornya hengkang.
Namun, dengan naiknya sektor pajak tentunya sangat berkorelasi dengan daya beli masyarakat. Daya beli berkurang karena barang-barang terkena pajak lebih mahal. Padahal dengan demikian akan sangat berpengaruh pada ekonomi secara keseluruhan karena barang ada tapi tidak terbeli oleh rakyat. Kondisi tersebut justru akan berdampak pada kenaikan pengangguran.
Kebijakan fiskal sistem ekonomi kapitalis ditentukan dengan cara menaikkan ataupun menurunkan instrumen pajak. Menaikkan pajak dilakukan pemerintah saat terjadi inflasi, namun hal ini bukan tanpa akibat. Kenaikan pajak pasti akan berakibat dengan melambatnya ekonomi. Karena masyarakat tidak bisa memenuhi kebutuhan keseharian dan barang-barang yang telah diproduksi oleh industri menjadi tidak terbeli.
Ekonomi yang lambat, kemudian diperkuat dengan cara menurunkan pajak. Pajak yang turun ini mengaibatkan terjadi inflasi dan begitu seterusnya. Sebenarnya apapun kebijakan yang diambil pada sistem ekonomi kapitalis merupakan lingkaran setan yang tidak ada jalan keluarnya.
Hal ini diakibatkan dari kebijakan yang diambil selalu didasari oleh akal. Padahal akal mempunyai keterbatasan. Berbeda dengan kapitalis, sistem ekonomi Islam didasari oleh syariah. Bahwa Al Kholiq lah yang paling mengetahui tentang segala hal termasuk bagaimana mengatur manusia dari sisi ekonomi. Sehingga bila ingin terbebas dari segala bentuk ketertindasan, maka kembalilah kepada sistem Islam yang dahulu pernah diterapkan.
Wallahu’alam
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar