Sebuah kondisi yang kontras di tengah kemajuan pembangunan wilayahnya dan ditandai keberhasilan pemerintah kota Tangerang Selatan meraih nilai IPM (Indeks Pembangunan Manusia) tertinggi pada tahun 2021 lalu dengan nilai 81,60 mengalahkan seluruh wilayah di Provinsi Banten. Namun di sisi lain terungkap fakta terkait fasilitas sistem sanitasi warga Tangerang Selatan yang masih belum layak dan memadai. Terdapat 1700 kepala keluarga di wilayah Tangerang Selatan yang belum memiliki sistem sanitasi yang layak dan memadai diantaranya, sebanyak 118 kepala keluarga di kecamatan Ciputat masih memiliki sanitasi pembuangan air yang tidak layak bahkan mereka masih berperilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS), kondisi ini tidak hanya terjadi di kecamatan Ciputat saja tetapi juga terjadi di kecamatan Setu, kecamatan Serpong dan terdapat di 86 titik di wilayah Jombang (Tangselpos.id, 09/03/2022). Diamini juga dengan kenyataan bahwa masih ada warga yang menggunakan jamban helikopter yang berada di empang dan masih terdapat warga yang belum memiliki tangki septic tank di rumahnya masing-masing (Kompas.com, 16/03/2022)
Isu ini tentunya menjadi salah satu isu strategis bagi pemerintah kota Tangerang Selatan karena hal ini menjadi bertolak belakang dengan pencapaian nilai IPM yang telah diraih pemerintah kota Tangerang Selatan, padahal, salah satu kriteria nilai IPM yang baik dinilai dari bagaimana kondisi sistem sanitasi komunal masyarakat setempat, selain itu hal ini menjadi batu sandungan bagi pemerintah kota Tangerang Selatan untuk meraih predikat sebagai kota sehat. Terlebih lagi pemerintah kota Tangerang Selatan sedang giat-giatnya juga mewujudkan kota Tangerang Selatan “Smart City”. Apa jadinya jika kota sekelas Smart City beberapa warga di wilayahnya masih ada yang tidak mempunyai septic tank, menggunakan jamban helikopter dan tidak memiliki sistem sanitasi yang memadai juga layak?
Kondisi sistem sanitasi warga yang tidak memadai dan layak tentunya juga akan memengaruhi kondisi kesehatan warga sekitar dan sekaligus memengaruhi perilaku pola hidup sehat warganya.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah kota Tangerang Selatan melakukan berbagai upaya dalam rangka mewujudkan sistem sanitasi komunal warga yang lebih baik, beberapa diantaranya dengan membuat septic tank di setiap rumah warga yang belum memilikinya sekaligus membuat jamban di masing-masing rumah warga serta bekerjasama dengan puskesmas setempat untuk melakukan sosialisasi pola hidup sehat.
Hanya saja, upaya pembuatan septic tank ini menurut walikota Tangerang Selatan, Benyamine Davnie terhambat pada anggaran APBD pemerintah kota Tangerang Selatan yang terbatas sehingga pembangunan septik tank belum dapat dilakukan secara maksimal dan memenuhi kebutuhan warga. Untuk tahun 2022 pemerintah kota Tangerang Selatan hanya mampu merealisasikan pembuatan 20 unit septic tank dan hanya mampu membangun fasilitas sistem sanitasi komunal yang layak untuk 124 Kepala Keluarga di 100-150 lokasi saja.
Tentunya jumlah ini masih jauh dari memenuhi kebutuhan warga, didorong oleh kondisi tersebut pemerintah kota Tangerang Selatan berinisiatif meminta bantuan pihak ketiga yaitu dana CSR dari pihak swasta dan Baznas untuk membantu membuat septic tank dan sistem sanitasi komunal dengan tujuan agar dapat segera memenuhi kebutuhan warga yang nantinya akan mempercepat terwujudnya kota sehat Tangerang Selatan dan selaras dengan keberhasilan IPM di wilayah Tangerang Selatan juga mendukung upaya kota Tangerang Selatan menjadi ‘Smart City”.
Permohonan bantuan yang diinisiasi oleh pemerintah ini sekilas tampak tidak ada masalah atau baik-baik saja, tetapi apakah benar demikian? Merupakan sebuah realita yang menarik jika pembuatan fasilitas sistem sanitasi komunal warga yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah setempat sebagai bentuk pelayanan kepengurusan warganya, tanggung jawabnya harus dialihkan sebagian kepada pihak swasta yang notabene tidak punya kewajiban apapun terhadap kepengurusan sistem sanitasi warga.
Oleh karenanya, terkesan janggal jika pemerintah setempat harus memohon bantuan kepada pihak ketiga dalam hal ini pihak swasta untuk mengalokasikan sebagian dana CSRnya membangun fasilitas sistem sanitasi warga.
Sebenarnya sangat riskan jika pihak swasta ikut mengulurkan tangan untuk pembuatan sistem santasi ini, seperti sudah kita ketahui secara umum jika pada era sistem kapitalisme saat ini, segala sesuatunya hanya disandarkan pada nilai materi dan pada pendekatan untung rugi, “no free lunch” begitu istilah masyhurnya, apa timbal balik yang dapat diberikan oleh pemerintah setempat jika pihak swasta mengulurkan bantuannya.
Maka, bukan tidak mungkin hal ini terjadi juga dalam hal pemberian bantuan ini, bisa saja terdapat timbal balik yang diinginkan oleh pihak swasta dari pemerintah setempat seperti misalnya kemudahan-kemudahan yang akan didapatkan pihak swasta terkait perijinan pembangunan dari pemerintah setempat. Wilayah Tangerang Selatan sendiri hampir separuh dari wilayahnya merupakan daerah pemukiman elit, kawasan perekenomian, perdagangan, pergudangan dan pusat hiburan yang pembangunannya banyak melibatkan investasi dari pihak swasta.
Sebegitu tidak mampunyakah pemerintah setempat untuk memenuhi kebutuhan warga akan fasilitas sistem sanitasi ini sehingga harus memohon uluran tangan dari pihak swasta?
Untuk menilai ketidakmampuan pemerintah, hal pertama yang dapat kita lakukan adalah dengan melihat struktur dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) pemerintah kota Tangerang Selatan itu sendiri, berdasarkan Peraturan Daerah No.9 Tahun 2021 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kota Tangerang Selatan, sisi belanja daerah tercatat sebesar Rp.3.494.546.475.509 (tiga triliun empat ratus sembilan puluh empat miliar lima ratus empat puluh enam juta empat ratus tujuh puluh lima ribu lima ratus sembilan rupiah), anggaran belanja daerah menurut klasifikasi belanja modal sendiri tercatat sebesar Rp.903.386.799.215 (Sembilan ratus tiga miliar tiga ratus delapan puluh enam tujuh ratus sembilan puluh Sembilan dua ratus lima belas rupiah)
Meski data tersebut belum menunjukkan data yang lebih terperinci, namun jika kita mengambil asumsi secara umum seharusnya dengan nilai anggaran belanja tersebut pemerintah kota Tangerang Selatan mampu memenuhi kebutuhan 1700 kepala keluarga terkait sistem sanitasi dalam hal ini membuat septic tank bagi warga di wilayahnya, sehingga membebaskan warga dari sikap BABS (Buang Air Besar Sembarangan) sekaligus mendukung pola hidup sehat di lingkungan warga sekitar sehingga tercapainya kualitas kesehatan warga yang baik.
Tidak perlu memohon uluran tangan pihak swasta melalui program CSR mereka untuk merealisasikan sistem sanitasi komunal tersebut, kalaupun terdapat keterlibatan pihak swasta, keterlibatan tersebut tidak lebih hanya sebagai pihak yang melaksanakan pembangunan sistem sanitasi bukan pihak yang membiayai pembagunan sistem sanitasi. Anggaran pembiayaan pembangunan sistem sanitasi mutlak sepenuhnya bersumber dari pemerintah setempat yakni pemerintah kota Tangerang Selatan. Hal ini seperti yang telah dilakukan juga oleh Disrumkin (Dinas Perumahan dan Permukiman pemerintah kota Depok yang telah merampungkan pembuatan septik tank untuk 1.045 Kepala Keluarga dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp.10.000.000.000.000 (berita.depok.go.id/211021).
Pembangunan Sistem Sanitasi dalam Negara Khilafah
Fakta ini sungguh sangat jauh berbeda kondisinya ketika sistem pemerintahan Islam (negara Khilafah) diterapkan. Islam selain sebagai sebuah agama juga sebagai sebuah sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk di dalamnya pengaturan sistem sanitasi, bahkan sistem sanitasi merupakan salah satu sistem yang terpenting sebab sistem sanitasi sangat erat dengan masalah kesehatan warga atau umat. Oleh karenanya pada pemerintahan negara Khilafah, realisasi pengaturan sistem sanitasi menjadi satu bagian dengan realisasi pengaturan sistem kesehatan umat.
Pengaturan sistem kesehatan atau kebijakan kesehatan pada pemerintahan negara Khilafah realisasinya menggunakan landasan beberapa prinsip, pertama : pola baku sikap dan perilaku sehat. Kedua : Lingkungan sehat dan kondusif. Ketiga : pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau. Keempat : Kontrol efektif patologi sosial. Pembangunan kesehatan tersebut meliputi keseimbangan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Promotif dilakukan untuk mendorong sikap dan perilaku sehat warga. Preventif diprioritaskan pada perilaku distorsif dan munculnya gangguan kesehatan. Kuratif merupakan upaya menanggulangi kondisi patologis akibat penyimpangan perilaku dan munculnya gangguan kesehatan, sedangkan rehabilitatif untuk mengembalikan kembali kondisi normal kembali baik itu secara personal maupun lingkungan.
Pembinaan pola baku sikap dan perilaku sehat baik secara fisik, mental maupun sosial, pada dasarnya merupakan bagian dari pembinaan kepribadian Islam itu sendiri, keimanan yang kuat dan ketakwaan menjadi dua hal yang mendasar. Dr. Ahmed Shawky al-Fangary mengatakan bahwa syariah sangat peduli pada kebersihan dan sanitasi seperti yang dibahas dalam hukum-hukum thaharah. Begitu juga syariah memperhatikan pola hidup sehat.
Jadi menumbuhkan pola sikap dan pola hidup sehat tidak lain landasannya adalah dengan membina kepribadian Islam dan ketakwaan masyarakat. Dan yang demikian adalah dengan membina kepribadian Islam dan ketakwaan masyarakat. Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab individu atau bidang kesehatan saja tetapi menjadi tanggung jawab negara.
Selain itu, kebijakan kesehatan negara Khilafah juga diarahkan bagi terciptanya lingkungan yang sehat dan kondusif. Tata kota dan perencanaan ruang akan dilaksanakan dengan senantiasa memperhatikan kesehatan, sanitasi, drainase, keasrian, dan sebagainya. Hal itu sudah diisyaratkan dalam berbagai hadis, seperti:
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ, نَظِيفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ, كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ, جَوَادٌ يُحِبُّ الْجُودَ, فَنَظِّفُوا بُيُوْتَكُمْ وَ أَفْنِيَتَكُمْ وَلاَ تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُودِ
Sesungguhnya Allah Mahaindah dan mencintai keindahan, Mahabersih dan mencintai kebersihan, Mahamulia dan mencintai kemuliaan. Karena itu, bersihkanlah rumah dan halaman kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi (HR at-Tirmidzi dan Abu Ya’la).
اتَّقُوا الْمَلاَعِنَ الثَّلاَثَةَ الْبَرَازَ فِي الْمَوَارِدِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَالظِّلِّ
Jauhilah tiga hal yang dilaknat, yaitu buang air dan kotoran di sumber/saluran air, di pinggir atau tengah jalan dan di tempat berteduh (HR Abu Dawud).
Rasul saw. juga bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian buang air di air yang tergenang.” (HR Ashhab Sab’ah).
Jabir berkata, “Rasulullah melarang buang air di air yang mengalir.” (HR Thabarani di al-Awsath).
Di samping itu juga terdapat larangan membangun rumah yang menghalangi lubang masuk udara rumah tetangga, larangan membuang sesuatu yang berbahaya ke jalan sekaligus perintah menghilangkannya meski hanya berupa duri.
Beberapa hadis ini dan yang lain jelas mengisyaratkan disyariatkannya pengelolaan sampah dan limbah yang baik, tata kelola drainasi dan sanitasi lingkungan yang memenuhi standar kesehatan, dan pengelolaan tata kota yang higienis, nyaman sekaligus asri. Tentu saja itu hanya bisa direalisasikan melalui negara, bukan hanya melibatkan departemen tertentu atau bahkan meminta bantuan pihak ketiga dalam hal ini pihak swasta.
Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Khalifah pada sistem pemerintahan Islam terdahulu. Tata kota, sistem drainase dan sanitasi kota kaum Muslim dulu seperti Baghdad, Samara, Kordoba, Izmir dan sebagainya telah memenuhi kriteria itu dan menjadi model bagi tata kota seperti London, kota-kota di Perancis dan kota-kota lain di Eropa.
Pelayanan sistem sanitasi berkualitas hanya bisa direalisasikan jika didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai serta sumber daya manusia yang profesional dan kompeten. Penyediaan semua itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara (Khilafah) karena negara (Khilafah) berkewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan dasar berupa sistem sanitasi komunal yang layak. Karenanya, Khilafah wajib membangun sarana dan prasarana untuk mendukung terwujudnya sistem sanitasi komunal yang layak termasuk di dalamnya membangun septic tank, jamban, sistem drainase dan lain sebagainya. Pembiayaan untuk semua itu diambil dari kas Baitul Mal, baik dari pos harta milik negara ataupun harta milik umum.
Semuanya harus dikelola sesuai dengan aturan syariah, juga harus memperhatikan faktor ihsan dalam pelayanan, yaitu wajib memenuhi 3 (tiga) prinsip baku yang berlaku umum untuk setiap pelayanan masyarakat dalam sistem Islam: Pertama, sederhana dalam peraturan (tidak berbelit-belit). Kedua, cepat dalam pelayanan. Ketiga, profesional dalam pelayanan, yakni dikerjakan oleh orang yang kompeten dan amanah.
Semua pengelolaan dan pengurusan yang dilakukan oleh negara (khilafah) ini semata-mata bertujuan hanya untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat atau umat yang berujung untuk mendukung sepenuhnya seluruh aktivitas masyarakat dalam rangka bagian dari ketaatan kepada Allah SWT bukan karena terdapat nilai materi dan keuntungan yang akan didapatkan oleh negara.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [SHF]
Oleh : Sari Hermalina Fitri ( Pemerhati Sosial dan Politik)
0 Komentar