Permusuhan terhadap Eks HTI dan Eks F*PI Bagian Agenda Barat?



Tampaknya bibit-bibit permusuhan di antara kaum muslimin terus ditabuh. Terbukti menjelang Ramadhan bukannya suasana tenang dan syahdu. Namun kegaduhan kembali muncul.

Menteri agama yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, saat membuka Konferensi Besar (Konbes) XXV GP Ansor di Kalimantan Selatan meminta GP Ansor menghadapi tantangan kebhinekaan. Salah satunya aktivitas aktivis eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan eks Fro*nt Pembe*la Islam (F*PI) (detik.com, 30/3/2022).

Seolah pelaku kriminal yang harus dibasmi, eks pelaku dua gerakan ini diburu sebegitu rupa. Selain itu, gerakannya dikriminalisasi semakin massif oleh Pemerintah atas nama perang melawan radikalisme dan kebhinekaan. Beberapa waktu yang lalu pada pertengahan 2017 HTI dibubarkan, hanya karena majelis hakim menilai HTI terbukti telah menyebarkan paham Kekhilafahan di Indonesia.

Disusul pada 30 Desember 2020 Fro*nt Pembe*la Islam (F*PI) dianggap tidak sejalan dengan Pancasila karena mencantumkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang menyebutkan, visi dan misi F*PI adalah penerapan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) di bawah naungan Khilafah Islamiyyah (kepemimpinan Islam) (IDN Times.com, 25/9/2019).

Padahal, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII membahas makna jihad dan Khilafah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ijtima ulama yang digelar Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut merekomendasikan agar masyarakat dan pemerintah tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan Khilafah (Republika.co.id, 11/11/2021). Bahkan sebelumnya, Ijtimak Ulama IV menyebut seluruh ulama menyepakati penegakan Khilafah adalah kewajiban agama Islam.

Di mana semua ulama ahlussunah waljamaah telah sepakat penerapan syariat dan penegakan Khilafah serta amar ma'ruf nahi munkar adalah kewajiban dalam ajaran Islam. Hal itu diungkap Penanggung Jawab Ijtimak Ulama IV Yusuf Muhammad Martak di Hotel Lorin Sentul, Bogor (CNNIndonesia.com, 5/8/2019).

Jadi, Khilafah adalah ajaran Islam sebagaimana syariat Islam yang lainnya dalam kitab-kitab klasik banyak ulama' yang juga menjelaskan terkait hal ini. Seperti disebutkan dalam buku yang berjudul "Panduan Lurus Memahami Khilafah Islamiyah Menurut Kitab Kuning" karya KH Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy. Di sana dijelaskan bahwa aktivitas menegakkan Khilafah Islamiyah merupakan kewajiban paling penting dari sekian banyak kewajiban penting lainnya di dalam agama Islam. Sebab, para shahabat lebih menyibukkan diri mereka pada kewajiban agung ini dibandingkan kewajiban mengubur jenazah Nabi SAW.

Maka seorang mukmin harus 'lebih menyibukkan dan memfokuskan dirinya" pada kewajiban ini, dan menjadikannya persoalan utama. Pasalnya, Khilafah Islamiyah adalah satu-satunya thariqah syar'iyyah (metode syar'i) untuk menerapkan Islam secara sempurna sekaligus melanggengkan kepemimpinan kaum Muslim di seluruh dunia.
Jadi, Khilafah Islamiyyah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana ajaran-ajaran Islam yang lainnya.

Maka, tatkala Pemerintah saat ini melarang dua gerakan eks HTI dan eks F*PI dan personilnya ini hanya karena keduanya menyuarakan Khilafah. Maka, dalam hal ini pemerintah termasuk menyelisihi bagian ajaran agama Islam.

Hanya saja, tidak mengherankan kiranya hal ini terjadi dalam sistem hidup saat ini. Di mana umat Islam tidak hidup dalam habitat yang seharusnya. Dalam hidup yang sekuleristik kali ini, jelas bahwa memandang agama hanya urusan privat masing-masing individu masyarakat dan agama tidak boleh dibawa dalam urusan-urusan publik. Jadi, Islam hanya di masjid-masjid dan musala saja. Itupun hanya membahas urusan ibadah ritual dan tidak boleh membahas masalah kehidupan dengan kacamata Islam, apalagi politik.

Maka sedapat mungkin Islam dijauhkan dalam bidang politik. Sekularisme-demokrasi yang dibawa oleh barat sejatinya berupaya untuk membendung kekuatan Islam politik di negeri ini. Maka wajar sekali ada upaya sekuat tenaga dari pihak-pihak yang berkuasa untuk menghantam siapapun juga yang berupaya membangkitkan kekuatan Islam politik ini, itu pula lah yang menjiwai dilibasnya dua gerakan diatas.

Ketakutan barat akan kebangkitan Islam dituangkan dalam banyak tulisan di antaranya Edward Gibbon. Dalam buku terkenalnya, The Decline and Fall of The Roman Empire (New York: The Modern Library, 1974, III:56) membuat mitos populer tentang ancaman Islam, bahwa Nabi Muhammad, dengan masing-masing tangannya memegang Alquran dan pedang, mendirikan kekuasaannya di atas reruntuhan Kristen dan Roma.

Buku John L Esposito, The Islamic Threat, Myth or Reality (New York: Oxford University Press, 1993), menggambarkan fenomena ketakutan itu di kalangan masyarakat Barat dan peranan para penguasa (politik, media massa) dalam menyebarkan ketakutan itu.
Dalam sejarahnya yang panjang, mitos tentang ancaman Islam di kalangan masyarakat Kristen juga sudah digambarkan dengan baik oleh Norman Daniel dalam buku klasiknya, Islam and The West: The Making of an Image (Oxford: Oneworld Publications, 1997).

Huntington juga menyimpulkan: "Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done that at least twice (Islam adalah satu-satunya peradaban yang telah membuat kelangsungan hidup Barat diragukan, dan telah melakukan itu setidaknya dua kali)" (Republika.co.id, 10/6/2020).

Jadi wajar kiranya, segala upaya dilakukan untuk menghalau kebangkitan Islam ini, setelah menjalankan politik belah bambu ala Rand Corp. Di mana muslim radikal dan fundamental diinjak dan dihabisi. Sementara muslim liberal dan moderat yang dirangkul dan diberi ruang yang lebih luas jangkauannya, kini rekomendasi Tony Blair setelah 20 tahun terakhir katanya: "Radikalisme dan politisasi Islam hanya dapat dikalahkan oleh umat Islam sendiri, yakni umat Islam yang masih mau menjunjung dan mengikuti nilai-nilai barat yakni HAM, demokrasi, kebebasan dan sebagainya".

Jadi, tidak mengherankan pula akhirnya jargon anti-Pancasila, anti-Kebhinekaan dan intoleran terus akan menjadi opini yang disuarakan barat dan pendukungnya untuk memojokkan ajaran Islam yang mulia, hanya karena ketakutan barat akan kebangkitan  Islam kembali sebagai kekuatan politik yang perkasa di seluruh dunia, setelah AS dengan sekularisme-demokrasi nya ambruk nanti, Wallahu a'lam bi asshawwab.


Penulis: Hanin Syahidah

Posting Komentar

0 Komentar