Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19/Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letnan Jenderal TNI Suharyanto mengungkapkan sejumlah penyesuaian pengaturan perjalanan dalam negeri jelang Ramadan dan Lebaran tahun ini. Hal itu diungkapkan Suharyanto dalam keterangan pers, Kamis (31/3/2022).
Pernyataan tersebut terkait dengan keputusan pemerintah atas pemberian vaksinasi dosis lanjutan atau booster yang menjadi salah satu syarat mudik lebaran 2022. Prasyarat itu kemudian menuai polemik. Sejumlah protes dari publik berdatangan. Masyarakat membandingkan dengan syarat penonton gelaran Pertamina Grand Prix of Indonesia atau MotoGP Mandalika 2022 yang tidak perlu booster.
Duduk persoalannya di sini memang bukan terletak pada vaksin atau boosternya. Karena memang, vaksin ini terbukti menjadi salah satu solusi dalam mengurangi angka pandemi. Permasalahan yang terjadi ada pada penerapan aturan yang kadang kehilangan "sense of justice". Selalu tidak fair dan menimbulkan keresahan di tengah-tengah publik.
Misalnya saja, dikemukakannya alasan bahwa mudik memiliki mobilitas yang lebih besar dibandingkan dengan gelaran MotoGP Mandalika. Namun bukan berarti, dalam kerumunan di ajang balap tersebut tidak memunculkan resiko yang juga tinggi. Bukankah persyaratan booster juga seharusnya diberlakukan dalam ajang balap itu?
Entah pemerintah sepertinya sudah tak peduli ketika menetapkan sebuah kebijakan yang melahirkan polemik dan kontroversi. Seolah sikap dan respon dari umat Islam hanya dianggap angin lalu dan tidak lagi dipertimbangkan sebagai instrumen yang penting bagi keberlangsungan stabilitas sosial dan politik bangsa ini.
Kebijakan diskriminatif terhadap Islam pun tiada hentinya diberlakukan oleh pemerintah. Tidak berlebihan jika menyebutnya diskriminatif, karena kebijakan tersebut tidak diberlakukan pada perkumpulan dan perayaan agama lain. Seperti halnya pada perayaan Natal dan tahun baru, juga saat perayaan Imlek.
Jika menyangkut kepentingan ekonomi atau kepentingan kaum sekuler, tampak pemerintah sepertinya selalu bersusah-payah mengambil hati. Pemerintah akan senantiasa memudahkan penyelenggaraan acara-acara yang diadakan oleh mereka. Namun sebaliknya, jika menyangkut kepentingan umat Islam yang mayoritas, mengapa diskriminasi ini terus saja terjadi?
Contohnya pada fenomena diskriminatif lainnya baru-baru ini, yakni pembatalan Muslim Life Fair, sebuah acara Festival besar yang digagas oleh komunitas Lima Events dan Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI). Agenda besar yang dihadiri oleh hampir 8000 orang ini, berisikan rangkaian acara seperti pameran berbagai produk pakaian muslim, makanan, obat Tibbun Nabawi dan lainnya serta kajian besar yang menghadirkan beberapa ustaz kondang tanah air.
Kekecewaan menyelimuti pengunjung Muslim Life Fair, bahkan dari kalangan umat Islam pada umumnya kala itu. Karena ironisnya, di tempat lain, tepatnya di Taman Bhagawan, Bali, festival besar Joyland yang berupa konser musik bisa berlangsung selama tiga hari lamanya, yakni pada 25–27 Maret.
Bukankah ini sudah menunjukkan bukti dari inkonsistensi kebijakan oleh pemerintah yang sangat jelas. Begitu juga upaya diskriminasi yang begitu terang-terangan dipertontonkan ke khalayak. Pemerintah yang selalu berkoar-koar terkait statement keadilan sosial, bukankah semestinya dapat menjadi contoh dalam memberlakukan kebijakan secara adil?
Oleh karena itu, semestinya rakyat patut jeli. Syarat vaksin booster ini nyatanya bias dan dapat dimanipulasi tergantung pada kepentingan rezim. Pemberlakuan kebijakan secara sepihak, inkonsistensi kebijakan dan diskriminasi terhadap Islam hanya akan ada dalam habitat ideologi kapitalisme sekularisme yang senantiasa memusuhi ideologi Islam serta menghalangi kebangkitannya. Tak akan pernah umat Islam menemukan jalan kemudahan dalam menjalankan agamanya di sistem saat ini. Wallahualam.
Penulis: Novita Sari Gunawan
0 Komentar