Pornografi Menghantui Generasi, Bukti Lemahnya Penjagaan Negara




Viral tiga remaja melakukan pencurian di rumah milik Muslihin, warga Kampung Samelang, Desa Mekarmukti, Kecamatan Waluran, Sukabumi beberapa waktu lalu. Tiga bocah tersebut mencuri uang tunai senilai hampir Rp 7 juta, emas, dan dua gawai dengan total kerugian mencapai Rp 40 juta. Ketiganya mengaku bahwa hasil penjualan emas dipakai untuk bersenang-senang saja. Sebanyak Rp8 juta dari sebagian hasil penjualan emas curian, mereka gunakan untuk open BO. Sebuah istilah di bisnis prostitusi yang artinya menyewa jasa PSK (lumajang.jatimnetwork.com, 3/3/2022).


Sungguh miris, anak di bawah umur sudah bisa melakukan open BO. Hal ini tentu tak lepas dari peran media sosial dan internet. Konten tayangan dewasa di media sosial memang semakin merajalela. Terkait kemudahan akses pornografi ini tak lagi menjadi satu hal yang baru. Pesatnya perkembangan teknologi semakin memudahkan masyarakat mengakses konten tersebut, tak terkecuali anak-anak. Dampaknya anak menjadi kecanduan pornografi. Kriminalitas akibat kecanduan pornografi pun telah banyak menelan korban, parahnya tindakan kriminal ini dilakukan oleh anak-anak di bawah umur.


Pada tahun 2018, ECPAT pernah melakukan survei bahwa angka konsumsi konten pornografi masyarakat Indonesia memiliki angka mengkhawatirkan. Dari hasil survei situs penyedia video dewasa asal Amerika, Indonesia menempati ranking dua terbanyak pengakses video porno. Dari data tersebut diketahui bahwa mayoritas pengakses konten dewasa di Indonesia adalah generasi muda yakni sekitar 74 persen (www.jawapos.com, 6/2/2018). 


Sementara data Biro Pusat Statistik, pengguna internet di Indonesia mencapai angka 132 juta orang. Terdiri dari anak-anak berusia 10-14 tahun yang mengakses internet sekitar 768 ribu orang. Untuk usia 15-19 tahun tingkat akses internet mencapai 12,5 juta orang. Kemudian dari hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap 4.500 pelajar, total pengakses konten pornografi hampir mencapai angka maksimal 100 persen. “Survei yang dilakukan KPAI terhadap 4.500 pelajar SMP dan SMA di 12 Kota, jumlah yang mengakses konten pornografi mencapai 97 persen,” pungkas ECPAT (www.jawapos.com, 6/2/2018). Dapat dibayangkan semua itu akan menjadi bom waktu yang ledakannya akan membahayakan generasi. Kini berselang empat tahun berlalu, hasil survei itu telah menunjukkan bukti kerusakannya.  


Pornografi yang menghantui generasi ini terjadi karena lemahnya penjagaan negara. Banyak pihak sudah mengetahui betapa mudahnya mengakses konten negatif tersebut di gawai kita. Dengan mengetik satu sandi tertentu saja, aneka ragam konten tak layak tonton ini sudah dapat dinikmati. Bahkan tak diketik pun, konten seperti itu muncul layaknya iklan, berupa gambar ataupun artikel dengan judul bombastis dan menggelitik keinginan pembaca untuk mengaksesnya. Tak mengenal umur. Tak mengenal tujuan. Seakan memang tak ada filter yang diberikan.


Di sinilah bukti lemahnya negara, karena untuk memberikan perlindungan terhadap rakyat terkait konten tersebut sangat memerlukan peran negara. Dalam hal ini, peran negara dalam menyediakan internet positif dan ramah anak sungguh masih belum optimal. Melalui Kominfo, Pemerintah baru memblokir 1 juta dari 30 juta lebih situs porno di dunia. Harus kita sadari, dunia digital yang serba bebas adalah efek domino kehidupan sekuler liberal yang dianut banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Bila untuk konten yang dianggap radikal saja negara bisa mencegah, tentu seharusnya bisa pula memblokir setiap konten pornografi di internet, asalkan ada kemauan. 


Lemah dan lalainya negara dalam hal sepenting ini terjadi karena negara menerapkan sistem sekuler-kapitalistik. Sistem ini menafikan agama sebagai pedoman hidup manusia dalam bermasyarakat dan bernegara sehingga gaya hidup liberal menjadi budaya yang tidak terelakkan. Liberalisasi dan sekularisasi inilah yang sesungguhnya merusak masyarakat.


Misi hidup manusia sebagai hamba Allah tereduksi oleh pemikiran sekuler liberal. Oleh karenanya, meski Kominfo sudah terus berupaya memblokir situs porno, produksi konten pornografi akan tetap berlangsung di atas landasan sekularisme. Peran negara juga mandul terhadap produsen-produsen film yang memicu perilaku porno. 


Perangkap racun pornografi ini makin kuat karena kapitalisme menjadikan keharaman ini sebagai industri yang “halal”, bahkan sebagai salah satu andalan penyumbang pertumbuhan ekonomi. Dalam bingkai kebebasan dan hak asasi manusia, bisnis ini pun ditumbuhkembangkan, tidak peduli pada besarnya dampak buruk yang ditimbulkan, bahkan pada anak sekalipun. 


Dalam sistem ini pun, eksploitasi perempuan dan bisnis pornografi seolah menjadi satu kebutuhan. Keuntungan materi menjadi tujuan utama, kerusakan moral tidak dipermasalahkan. Oleh karenanya, upaya mencegah konten negatif tidak akan pernah terwujud, malah kerusakan di masyarakat makin parah. Keluarga pun terkena dampaknya, peran dan fungsinya makin samar, bahkan kemudian hilang.


Fakta buruk ini juga mencerminkan kerusakan berbagai sistem kehidupan kita, terutama sistem pendidikan, informasi, juga sosial. Semua ini berpangkal pada sistem kehidupan saat ini, yaitu sekularisme kapitalisme yang meminggirkan aturan agama dan menjadikan manfaat sebagai hal utama yang diperjuangkan, tidak peduli dengan dampak kerusakannya.


Sistem Islam Menjaga Generasi dengan Mencegah Internet Negatif


Dalam Islam, teknologi digunakan untuk memudahkan pekerjaan manusia. Negara akan melakukan berbagai upaya agar teknologi tidak menjadi malapetaka dan merusak generasi pada masa mendatang. 

Beberapa langkah strategis yang telah diatur oleh Islam terkait hal ini, pertama, negara akan membangun sistem pendidikan yang berasas akidah Islam. Setiap anak didik akan tersuasana dengan keimanan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Negara juga akan mendorong produksi tayangan dan media untuk syiar nilai-nilai Islam.


Infrastruktur digital akan diberikan secara merata hingga pelosok desa. Negara juga akan mengedukasi sekaligus memfasilitasi sarana yang dibutuhkan masyarakat dengan literasi digital yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala.


Kedua, melalui Departemen Penerangan, negara akan memblokir seluruh akses yang mengarah pada kemaksiatan, pornografi, kejahatan, kriminalitas, penipuan, dan seluruh kegiatan digital yang menyalahi syariat Islam. Negara akan menindak tegas setiap bentuk pelanggaran syariat, baik dunia nyata ataupun maya.


Ketiga, aktivasi kontrol masyarakat akan otomatis berjalan seiring dengan penyuasanaan akidah Islam dalam diri setiap individu. Masyarakat akan saling menasihati dalam kebaikan, serta mencegah anggota masyarakat lainnya berbuat maksiat.


Keempat, peran orang tua. Dalam hal ini, orang tua harus mendidik anak-anaknya dengan akidah yang kukuh. Dengan begitu, anak memiliki kesadaran dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Rasa takutnya pada Allah akan menjadi benteng pertahanan kuat mencegah mereka berperilaku maksiat.


Perjuangan penggunaan internet positif untuk anak akan berujung pada situasi dilematis jika masih berparadigma kapitalisme sekuler. Bagaimana mau mencegah dan menindak akses dan konten porno jika sistem kapitalismelah yang menjadi pemicunya?

Begitu pula, penanganan tanpa pencegahan yang mendasar tidak akan efektif manakala solusi yang ditawarkan masih dalam koridor kapitalisme. Tidakkah cukup kerusakan akibat penerapan ideologi ini? Sungguh hanya dengan sistem Islam generasi selamat dari pornografi dan teknologi bermanfaat bagi umat. 

Wallahu’alam bishshawab


Oleh Silmi Dhiyaulhaq (Pemerhati Sosial)

Posting Komentar

0 Komentar