Bulan mulia yang selalu dinanti-nanti kehadirannya akhirnya telah tiba. Bulan yang di dalamnya bertabur ampunan dan keberkahan. Satu hal yang dipelajari di dalam bulan mulia ini adalah menahan diri dari sesuatu yang berlebih-lebihan. Hal tersebut termaktub di dalam Alqur’an surat Al-A'raf ayat 31, yang berbunyi:
۞ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
Artinya: "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan."
Di dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ayat ini turun selain sebagai bantahan terhadap orang-orang musyrik, yakni tradisi melakukan thawaf dengan telanjang bulat yang biasa mereka lakukan. Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid. (Al-A’raf 31), hingga akhir hayat. Bahwa dahulu (di masa Jahiliah) kaum lelaki biasa tawaf sambil telanjang. Maka Allah memerintahkan mereka untuk memakai pakaian yang indah-indah (setelah masa Islam).
Di dalam ayat ini juga Allah mengatur urusan mengenai makan dan minum. Imam Bukhari mengatakan, Ibnu Abbas berkata bahwa makna yang dimaksud ialah makanlah sesukamu dan berpakaianlah sesukamu selagi engkau hindari dua pekerti, yaitu berlebih-lebihan dan sombong. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Saur, dari Ma’mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Allah menghalalkan makan dan minum selagi dilakukan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak untuk kesombongan.” Sanad Asar ini berpredikat sahih.
Imam Nasai dan Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Yahya ibnu Jabir bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Tiada suatu wadah pun yang dipenuhi oleh anak Adam yang lebih jahat daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang sulbinya. Dan jika ia terpaksa melakukannya, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk napasnya.
Ibnu Jarir pun mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf:31) Dan firman Allah Swt: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Maidah: 87). Yakni yang melampaui batasan Allah dalam masalah halal atau haram, yang berlebih-lebihan terhadap apa yang dihalalkannya, yaitu dengan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya atau mengharamkan yang dihalalkan-Nya. Tetapi Allah menyukai sikap yang meghalalkan apa yang dihalalkan-Nya dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, karena yang demikian itulah sifat pertengahan yang diperintahkan oleh-Nya.
Hal senada juga dijelaskan oleh Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili di dalam tafsir Al-Wajiz, wahai anak Adam, berhiaslah dan tutupilah aurat di setiap shalat dan thawaf. Kalian diperbolehkan untuk makan dan minum tanpa berlaku boros, yaitu melampaui batas dalam melakukan setiap sesuatu. Sesungguhnya Allah membenci orang-orang yang berlebihan, meridai orang yang menghalalkan sesuatu yang halal dan mengharamkan sesuatu yang haram.
Sebuah momentum yang sangat tepat di saat ini, dimana di bulan mulia ini sikap tidak berlebih-lebihan dalam urusan makan dan minum tersebut mulai dipraktikkan. Menjauhi sikap berlebih-lebihan, boros, dan mubazir. Hal ini menjadi sejalan dengan makna puasa itu sendiri secara bahasa yang berarti menahan. Menahan diri dari sesuatu yang dihalalkan oleh Allah seperti halnya makan, minum, serta berhubungan intim dengan suami/isterinya. Akan tetapi hal itu tidak boleh dilakukan selama bulan Ramadhan dari waktu subuh hingga terdengarnya adzan maghrib berkumandang.
Diharapkan tidak hanya sekedar mampu menahan dalam urusan makan dan minum, tetapi juga untuk urusan lainnya yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Sesuatu yang bertentangan dengan prinsip hukum Syara' bahwa hal tersebut haram haruslah mampu untuk ditinggalkan.
Puasa kali ini betul-betul menuntut kita untuk bisa menahan diri dari sikap berlebih-lebihan, kondisi masyarakat yang prihatin disana sini membuat kita lebih bisa merasakan betapa perihnya tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar hidup dengan layak. Semoga kita semua mampu melaksanakan apa yang menjadi perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya, sehingga derajat takwa pun bisa kita raih. Wallahu a’lam.
Penulis: Elif Shanum
0 Komentar