Remaja Tantang Maut, Cermin Kepribadian Sistem Acakadut

 



Remaja suka melakukan hal yang menantang. Siapapun akan menganggukkan kepala jika melihat fakta banyaknya remaja melakukan hal-hal yang berbahaya, bahkan cenderung menyerempet maut.

Di Bekasi, lima orang remaja melakukan aksi berbahaya dengan mencoba menabrakkan diri ke arah truk yang sedang melintas di Jalan Raya Narogong, Bantargebang, Bekasi. Aksi nekat ini dilakukan dengan alasan ingin menumpang  untuk pulang ke rumah (Kompas.com,17/3/2022). 

Aksi kelima remaja ini sangat berbahaya, baik bagi mereka maupun supir truk sendiri. Alih-alih truk berhasil dihentikan, malah celaka yang bakal didapatkan, bahkan bisa jadi maut yang menjemput.

Aksi menantang maut yang dilakukan oleh remaja Bekasi ini bukanlah yang perdana. Di bulan Juli 2021 seorang remaja harus meregang nyawa akibat gagal melakukan Challange Malaikat Maut, yaitu aksi menghentikan truk yang berjalan sambil direkam. Videonya kemudian diunggah ke media sosial (Detiknews.com/14/7/2021).

Miris. Apa yang sebenarnya dicari oleh para remaja? Melakukan aksi berbahaya tanpa memikirkan akibatnya adalah tindakan sia-sia. Memang, remaja identik dengan perilaku yang sulit dikontrol, senang jika mendapat perhatian dan merasa tertantang untuk melakukan sesuatu. Menurut dr. Nastiti Kaswandani dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI, sikap-sikap tersebut wajar terjadi di usia remaja. Namun demikian tetap saja harus diarahkan sesuai koridor yang benar.

Tak dapat dielakkan lagi, sistem pendidikan berbasis sekuler yang ditanamkan di negeri ini menggerus pola pikir remaja hingga tak mampu lagi membedakan salah dan benar. Standar baik dan buruk sudah tak lagi jelas karena disandarkan kepada ide kebebasan. Asalkan rasa penasaran sudah tersalurkan, perasaan pun menjadi puas.

Kapitalisme perlahan namun pasti juga ikut mengikis peran orang tua yang bertanggung jawab atas pendidikan anak di rumah. Ayah sibuk mencari nafkah, sedangkan ibu sibuk dengan urusan domestik yang tak kunjung usai. Belum lagi jika ibu juga harus ikut mencari nafkah. Alhasil raga pun terasa lelah, akhirnya pendidikan anak sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Pengabaian pendidikan akidah anak di rumah bisa juga karena faktor rendahnya tingkat pendidikan orang tua. Akhirnya terbentuklah pada diri remaja saat ini kepribadian yang rapuh, semaunya, membangkang dan tidak peduli pada sekitar. 

*Kepribadian Islam Hanya Terwujud dengan Akidah Islam*

Manusia diberikan oleh Allah Swt. akal, kebutuhan jasmani (hajatul udhowiyah), naluri (gharizah) serta dorongan (muyul) untuk memenuhi kebutuhan dan naluri saat diciptakan. Namun pembentukkan pola pikir dan pola sikap harus diupayakan sendiri oleh manusia. Ketika seseorang menjadikan akidah Islam sebagai landasan untuk berpikir dan menentukan benar salah berdasarkan landasan tersebut, maka ia telah memiliki pola pikir Islam. Pun ketika seseorang menjadikan akidah Islam sebagai landasannya untuk mengendalikan pemenuhan kebutuhan dan nalurinya, maka ia telah memiliki pola sikap Islam. Saat itulah ia memiliki kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah).

Sejatinya, pola pikir Islam telah terbentuk pada usia remaja. Karena pada usia mumayiz atau pra baligh telah ditanamkan akidah Islam yang kokoh melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Hingga akan didapati remaja-remaja yang memiliki kepribadian khas dan istimewa. Mereka mampu menentukan baik buruknya perbuatan berdasarkan syariat Islam. Remaja Islam juga mampu mengendalikan gejolak naluri "suka tantangan" dan menyalurkannya dengan aktivitas bermanfaat.

Para pemuda generasi sahabat dan sesudahnya adalah sosok-sosok pemuda yang istimewa. Mereka hidup dalam suasana iman dan takwa dan jauh dari perbuatan sia-sia. Saat dakwah dan jihad menjadi metode penyebaran Islam yang diadopsi oleh negara, para pemuda pun mengambil perannya sesuai kemampuannya. Mereka disibukkan dengan aktivitas thalabul ilmi dan penempaan fisik untuk persiapan jihad. 

Sebutlah Ali bin Abi Thalib ra. Pemuda cerdas juga ahli strategi perang. Lalu Usamah bin Zaid bin Haritsah yang berhasil memimpin pasukan untuk menumpas nabi palsu di perbatasan Syam dalam usia 17 tahun. Belum lagi pemuda mahsyur yang berhasil merealisasikan bisyarah Nabi saw. sebagai pemimpin terbaik yang mampu menaklukan Kostantinopel, yaitu Muhammad Al.Fatih.

Maka semakin nyatalah keberhasilan mencetak remaja berkepribadian Islam hanya dapat terwujud dalam sistem melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Masih mau menyangkal?


Oleh: Irma Sari Rahayu, S.Pi

Posting Komentar

0 Komentar