Ahmad Riza Patria selaku Wakil Gubernur DKI Jakarta mengatakan bahwa Pemprov DKI Jakarta membolehkan restoran atau tempat makan tetap buka selama Ramadan. Tetapi, pihak restoran wajib memakai tirai untuk menghormati umat muslim yang berpuasa. Menurutnya, aturan pemasangan tirai sudah diterapkan seperti Ramadan tahun-tahun sebelumnya (suara.com, 31/3/2022).
Masih dilansir dari laman suara.com, 31/3/2022, Sebelumnya, pemerintah pusat juga telah membuat aturan terkait kebolehan kegiatan buka puasa dengan syarat menjaga jarak dan tidak mengobrol. Senada dengan itu, Wagub DKI mengingatkan agar saat kegiatan buka puasa, masyarakat memperhatikan protokol kesehatan. Yakni menjaga jarak dan tidak banyak berbicara saat buka puasa bersama. Hal ini untuk mencegah penularan Covid-19.
Miris, Ramadan yang penuh berkah selalu saja ternoda dengan polemik aturan boleh atau tidaknya rumah makan buka. Padahal, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Faktanya menurut data Kementerian Dalam Negeri, sampai Juni 2021 sebanyak 83% penduduk DKI Jakarta beragama Islam. Tapi, mengapa tiap tahunnya selalu saja terjadi pro-kontra yang akhirnya menciptakan gap di antara kaum muslim.
Menyikapi aturan dari Pemprov DKI, Jika dibandingkan saat Covid-19 melanda negeri, aturan yang dikeluarkan pemerintah tebang pilih. Pemerintah membuat aturan yang melarang keras warung makan untuk beroperasi saat pandemi. Bahkan, dilansir dari media online liputan6.com, 19/6/2021, dalam Peraturan Gubernur DKI Nomor 3 Tahun 2021, restoran, rumah makan dan kafe dapat diancam denda maksimal Rp50 juta sampai pencabutan izin apabila melanggar protokol kesehatan pencegahan Covid-19 secara berulang.
Pemerintah terlihat tegas dan "tega" dengan menerapkan denda bagi pelanggar saat pandemi. Namun jika berkaitan dengan aktivitas keagamaan, pemerintah baik pusat maupun pemprov seolah meremehkan. Bukankah melarang warung buka saat pandemi dan Ramadan sama-sama menjaga masyarakat? Melarang warung buka saat Ramadan menjaga akidah, melarang warung buka saat pandemi menjaga kesehatan.
Lagipula, bukan perkara warung makan ditutup tirai atau bebas terbuka. Namun, lebih kepada bagaimana sikap kita sebagai muslim menghormati bulan suci Ramadan. Sama halnya seperti menghormati waktu saat shalat jumat tiba.
Senada dengan aturan pemprov, Laman bisnis.com, 29/3/2022, mewartakan Ketua MUI pusat, Cholil Nafis mengatakan bahwa warung makan tidak perlu tutup di siang hari saat Ramadan. Tetapi dia mengimbau warung-warung tersebut untuk tidak memamerkan dagangannya.
Menurutnya, orang yang berpuasa tidak boleh menutup hajat orang lain. Bagi yang tidak puasa jangan sampai menodai bulan Ramadan. Dia mengajak untuk saling tenggang rasa dan saling menghormati.
Sangat disayangkan, sejatinya ketika restoran atau warung makan tidak diperkenankan buka saat Ramadan. Bukan berarti menghalangi hajat atau rezeki orang lain. Adanya himbauan untuk tidak berjualan di siang hari saat Ramadan merupakan amar ma'ruf nahi mungkar. Artinya, kita tidak boleh membuka akses sedikit pun kepada orang yang tidak mau berpuasa. Hal itu karena makan atau minum di siang hari bulan Ramadan bagi seorang muslim adalah bentuk kemaksiatan kepada Allah Swt.
Orang-orang yang memang berhalangan berpuasa seperti sakit, ibu hamil atau anak-anak bisa mengakses secara personal (pesan). Lagipula, DKI Jakarta bukan wilayah gurun atau hutan yang jika dilewati musafir sulit mendapatkan warung kelontongan atau mini market untuk membeli makanan kemasan seperti roti dan biskuit.
Selain aturan pembolehan warung makan buka saat Ramadan, pemprov DKI Jakarta di bawah pimpinan Anies Baswedan tetap mengizinkan usaha karaoke keluarga beroperasi selama bulan suci Ramadan. Namun, sesuai Surat Edaran (SE) nomor e-0001/SE/2022 tentang Waktu Penyelenggaraan Usaha Pariwisata pada Bulan Suci Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri tahun 1443 H/2022 M. Penyelenggaraan kegiatan pada bulan Ramadan dibatasi mulai pukul 14.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB. Surat Edaran ditandatangani oleh Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) DKI Andhika Permata pada 1 April 2022.
Sungguh tidak masuk akal, bagaimana mungkin aktivitas sia-sia seperti itu diberikan akses. Padahal, Ramadan harusnya diisi dengan aktivitas ibadah. Memang, sungguh bagai buah simalakama hidup di negeri yang menjadikan demokrasi sekularisme menjadi dasar pengaturan pemerintahannya. Pasalnya, dalam alam sekularisme aturan konstitusi lebih tinggi dari titah iLlahi. Shaum atau puasa yang memang diwajibkan bagi seluruh kaum Muslim tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh penjuru bumi justru menyisakan perdebatan hingga kini.
Akibat gempuran paham sekuler dan liberal yang menyerang kaum muslim. Para pemangku kebijakan yang merupakan bagian dari kalangan umat muslim berkomentar bahwa muslim harus toleransi pada umat lain yang tidak puasa. Sungguh lucu, siapa sesungguhnya yang intoleran? Lagipula, sikap intoleran mereka bukan hanya kepada umat muslim, lebih dari itu mereka tidak menghormati bulan suci Ramadan yang penuh berkah.
Tapi, seharusnya masyarakat sadar bahwa siapapun yang memimpin negeri ini, kalau aturan dan mekanisme yang digunakan dalam pemerintahan adalah aturan sekuler demokrasi. Walaupun di kartu identitasnya beragama Islam, maka dia akan menerapkan aturan yang menentang Islam. Di alam sekularisme tidak mengenal halal-haram karena memang aturan agama dilarang ikut campur dalam pemerintahan.
Aturannya juga tidak pro rakyat, tapi akan condong pada siapa yang berkuasa. Jika kita perhatikan aturan terkait pandemi pun menyulitkan rakyat karena pemerintah dinilai lebih mementingkan laju pertumbuhan ekonomi ketimbang kebutuhan rakyat. Buktinya jelas, pasar-pasar tradisional diawasi, namun Mall bebas beroperasi. Rakyat yang melanggar didenda Rp5 juta sementara gerai makanan cepat saji yang menimbulkan kerumunan hanya didenda Rp500 ribu. Warung makan boleh buka saat Ramadan, tempat karaoke diberi izin beroperasi, namun aktivitas di masjid justru dibatasi.
Allah Swt. berfirman dalam Al Quran surat Al-maidah ayat 50 yang artinya, "Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? Apakah keinginan yang tidak sesuai dengan ajaran Allah itu karena mereka ingin kembali pada hukum Jahiliah yang mereka kehendaki?"
Oleh karena itu, sikap intoleransi terhadap bulan suci Ramadan dan aturan Islam lainnya akan terus berulang jika para pemimpin negeri masih menggenggam erat sistem demokrasi sekuler sebagai kompas. Hanya dengan kembali pada aturan Pemilik alam semesta, Allah Swt. saja umat Islam bisa khusyuk menjalankan seluruh kewajiban yang diberikan Allah tanpa harus dibatasi aturan manusia, wallahu alam bishawab.
Oleh Anggun Permatasari
0 Komentar