Meski masih menjadi pro kontra di sejumlah kalangan, namun tampaknya hal itu tidak menggoyahkan kemantapan DPR RI untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi UU. Dikutip dari Kompas.com (13/4/2022) tepatnya pada Selasa (12/4/2022) melalui Rapat Paripurna DPR ke-19, pengesahan RUU TPKS menjadi UU dilakukan. Rapat tersebut dihadiri sembilan fraksi, delapan fraksi menyetujui, sementara satu fraksi yakni F-PKS menolak pengesahan tersebut dengan alasan menanti pengesahan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pengesahan itu disambut gembira oleh sejumlah pihak yang terdiri dari organisasi-organisasi perempuan yang hadir untuk menyaksikan pengesahan UU TPKS. Di antaranya, Koalisi Perempuan Indonesia, Forum pengada Layanan, Yayasan LBH APIK Jakarta, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, Perhimpunan Jiwa Sehat, Peruati, Puan Seni Indonesia, GMNI. LRC-KJHAM, WCC Mawar Balqis dan Yayasan Kesehatan Perempuan (dpr.go.id, 12/4/2022).
Sejumlah aktivis perempuan, Komnas Perempuan termasuk pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang sejak awal kemunculan RUU TPKS ini terus mengupayakan agar segera menjadi UU. Baik aktivis perempuan maupun pemerintah menganggap UU TPKS yang memuat politik hukum ini sangat penting dan strategis serta merupakan terobosan dalam pembaruan hukum. Regulasi ini diharapkan mampu menjawab berbagai persoalan kekerasan seksual yang terus terjadi dalam berbagai modus.
Indonesia memang sudah di taraf darurat kekerasan seksual. Dilansir dari laman Komnas Perempuan menyebutkan bahwa laporan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan pada tahun 2021 sebanyak 338.496 kasus, sedangkan tahun 2020 sebanyak 226.062 kasus. Artinya ada peningkatan kasus sebanyak 50% dari tahun 2020 ke tahun 2021.
Untuk mengoptimalkan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, sebagaimana dilansir dari Tempo.co (12/4/2022) UU TPKS mengatur antara lain tindak pidana kekerasan seksual; pemidanaan (sanksi dan tindakan); hukum acara khusus yang menghadirkan terobosan hukum acara yang mengatasi hambatan keadilan bagi korban, mulai dari restitusi, dan bantuan korban, pelaporan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan; dan penjabaran dan kepastian pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan melalui kerangka layanan terpadu.
Masih di laman yang sama, pada tindak pidana kekerasan seksual, UU TPKS mengatur perbuatan kekerasan seksual yang sebelumnya bukan tindak pidana atau baru diatur secara parsial, yaitu tindak pidana pelecehan seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Definisi kekerasan seksual sendiri masih mengalami bias makna. Mengutip dari situs scholar.unand.ac.id, World Health Organization (WHO) memaknai kekerasan seksual merupakan semua tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh tindakan seksual atau tindakan lain yang diarahkan pada seksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan tanpa memandang status hubungannya dengan korban.
Demikian juga Komisioner Subkom Pemantauan Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi termasuk psikolog, Meity Arianty M.Psi berpandangan yang sama dalam mendefinisikan kekerasan seksual. Menurut keduanya, pelecehan seksual atau kekerasan seksual adalah segala bentuk perilaku baik fisik maupun nonfisik yang berkonotasi seks yang dilakukan sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya.
Dari defenisi di atas menunjukkan satu entry point bahwa yang dimaksud sebagai tindakan kekerasan seksual adalah tindakan yang mengandung unsur seksual yang dilakukan seseorang atau pelaku secara paksa atau tidak dikehendaki oleh korban. Berarti, jika perbuatan seksual dilakukan di atas dasar suka sama suka dan ada kerelaan dari korban maka tindakan tersebut tidak termasuk kategori kekerasan seksual yang layak atasnya dijatuhkan pidana sebagaimana yang diatur dalam UU TPKS.
Sebagai satu-satunya fraksi yang menolak pengesahan RUU TPKS, pada laman dpr.go.id (18/1/2022) PKS diwakili Kurniasih Mufidayati selaku Anggota Komisi IX DPR RI mengusulkan agar dalam RUU TPKS harus sesuai dengan RKUHP, terutama berkaitan dengan larangan perzinahan dan penyimpangan seksual. Sebab, jika RUU ini berdiri sendiri tanpa adanya aturan hukum Indonesia yang melarang perzinahan dalam perluasan pasal 284 KUHP dan larangan L98T sebagai perluasan pasal 292 KUHP, maka muatan RUU TPKS berisi norma sexual consent.
Dengan kata lain, keberadaan UU TPKS ini sama sekali bukan ditujukan untuk mencegah tindakan seks bebas yang justru menjadi salah satu penyebab dari munculnya tindak kekerasan seksual yang mengancam generasi bangsa ini.
Tidak hanya bias makna, UU TPKS juga lebih konsen hanya dalam penanganan korban kekerasan seksual. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Pakar Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof. Hibnu Nugraha sebagaimana dikutip dari PikiranRakyat.com (12/4/2022) berpandangan bahwa pengesahan UU TPKS menjadi bukti perjuangan bagi korban-korban kekerasan seksual sehingga mereka bisa mendapatkan perlindungan, hak-hak, termasuk hak yang berkaitan dengan dana pemulihan korban, seperti restitusi.
Jika tidak berisi muatan regulasi pencegahan tindak kekerasan seksual, maka UU TPKS tersebut tak layak disebut sebagai sarana untuk menyelesaikan kekerasan seksual. Ibarat obat penghilang rasa sakit yang hanya menghilangkan rasa sakit sesaat, namun tidak mampu mengobati faktor utama penyebab penyakit demikianlah analog yang tepat untuk UU TPKS ini. Sehingga berharap pada UU ini dalam menyelesaikan persoalan kekerasan seksual yang kian meningkat adalah sia-sia.
Sebagai negara penganut sistem demokrasi yang menjamin kebebasan berperilaku, wajar bila muatan UU TPKS pun kental dengan kebebasan. Wajar pula jika akhirnya UU ini banyak mendapat dukungan, bahkan usulan dari F-PKS kemungkinan besar akan mengalami penolakan. Sebab aturan larangan zina dan seksual menyimpang seperti L38T yang dinukil dari aturan agama (baca: Islam) adalah bagian dari kebebasan individu yang wajib dilindungi oleh negara.
Dan demokrasi yang berdiri di atas asas pemisahan agama dari kehidupan (sekuler) tidak akan memberi sedikit pun ruang bagi aturan-aturan agama dilegalisasi dalam bentuk undang-undang negara. Karenanya, sampai kapanpun demokrasi tidak akan pernah berhasil menyelesaikan masalah kekerasan seksual.
Sangat kontras dengan solusi Islam dalam mencegah tindak kekerasan dan kejahatan seksual. Di mana Islam melarang segala bentuk penyimpangan seksual dan kekerasan seksual baik dilakukan atas dasar suka sama suka maupun dengan kejahatan atau paksaan.
Bagi para pelakunya ada sanksi yang tegas yang akan diberikan. Abdurrahman al-Maliki dalam bukunya yang berjudul Sistem Sanksi Dalam Islam menjelaskan bahwa bagi pelaku zina ada hukum cambuk dan rajam atas mereka. Baik dilakukan dengan sengaja (suka sama suka) ataupun dengan tindakan kejahatan seperti pemerkosaan. Sanksi pidana bagi pelaku pencabulan serta hukuman bunuh bagi pelaku kekerasan seksual yang disertai dengan pembunuhan. Termasuk hukum bunuh bagi pelaku liwath (hom*s*ksual).
Tidak hanya menetapkan aturan kuratif, Islam juga menetapkan aturan preventif demi mencegah terjadinya perilaku seks bebas yang dapat memicu kejahatan seksual. Seperti hukum wajib menutup aurat baik pria maupun wanita, larangan berdua-duaan (khalwat) dan bercampur baur (ikhtilat), serta larangan melakukan segala aktivitas yang dapat memicu munculnya syahwat yang berujung pada tindak perzinahan dan sebagainya.
Islam juga tidak mengenal kebebasan berperilaku tetapi justru setiap muslim diwajibkan untuk mentaati segala aturan-aturan Allah Swt termasuk dalam interaksi sosial yang terjadi antara pria dan wanita sebagai satu-satunya aturan yang mampu menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang menimpa negeri ini, wallahu a'lam bishawab.
Penulis: Suriani, S.Pd.I (Pemerhati Kebijakan Publik)
0 Komentar