Solusi Palestina Bukan Gaungkan Kecaman Atau Perjuangkan HAM, Tapi Tegakkan Syariat Islam




Palestina kembali diserang. Di bulan ramadan yang mulia, ketika seharusnya umat muslim menyambutnya dengan damai dan penuh suka cita, muslim Palestina harus menjalaninya dengan penuh siaga. Diberitakan, tentara Israel kembali menyerang jamaah yang tengah beribadah di masjid di kawasan Masjidil Aqsa, Jumat 15 April 2022. Terlalu panjang daftar yang harus diuraikan ketika mengikuti perjalanan konflik Palestina hingga hari ini. Dari waktu ke waktu warganya diliputi ketakutan dimana korbanpun terus bejatuhan. Anak-anak, perempuan dan orangtua tak luput menjadi sasaran. 

Memang bantuan makanan, uang, obat-obatan tak berhenti mengalir ke Palestina, bukti solidaritas umat terhadap nasib saudaranya begitu tinggi. Bukti bahwa rasa cinta dan peduli mampu melampaui batas-batas negeri. Kecamanpun datang dari banyak tokoh, organisasi bahkan pemimpin dunia. Namun mampukah semua itu menghentikan konflik tak berkesudahan ini dan benar-benar membebaskan Palestina dari segala bentuk penjajahan? 

Mengapa konflik Palestina tak kunjung reda, bahkan posisinya semakin terdesak dimana Israel semakin berani merangsek dan menguasai, sementara dunia seolah “diam”?. Ibarat induk ayam, seketika akan melawan ketika anaknya diserang, harusnya begitu pula umat Islam. Namun umat muslim hari ini tak punya induk yang memimpin, melindungi dan mengayomi. Maka ketika ada yang tezalimi terpaksa harus berjuang sendiri. 

Kecaman-kecaman atas nama hak asasi manusia yang digaungkan setiap muncul konflik buktinya tak memberikan dampak berarti. Mereka yang terjajah tetap pada kondisi yang sama. Bahkan tidak jarang terjadi standar gandar dalam penerapannya. Amerika Serikat dalam hal ini begitu getol melabeli umat muslim sebagai teroris, sementara di saat yang sama mendiamkan bahkan disebutkan mendukung penyerangan Israel ke Palestina. Cnbcindonesia.com, 20/04/2022 menuliskan, AS memang dari awal mendukung Israel. Pada tahun 1948, mantan Presiden Harry Truman menjadi pemimpin dunia pertama yang mengakui Israel ketika didirikan tahun 1948. 

Dukungan tersebut berlangsung hingga hari ini di bawah Joe Bidden. Sebut saja saat terjadi adu serangan udara mematikan antara militer Israel dan para pejuang Hamas di Tel Aviv dan Gaza, Mei tahun lalu, pemerintah Amerika Serikat justru memberikan ijin terhadap Israel untuk melakukan serangan sporadis ke Palestina. Bahkan menurut Juru Bicara Gedung Putih, Jen Psaki, menurutnya Joe Bidden mengijinkan itu dengan alasan ‘keamanan Israel’. Tak hanya itu, Joe Biden menyebutkan bahwa Israel memiliki hak untuk penggunaan kuasa dan sumber dayanya untuk menahan serangan dari Hamas. (pikiran-rakyat.com, 12/05/2021).

Institusi pemersatu umat, Khilafah Islamiyah runtuh tahun 1924 dan nasionalismelah yang meruntuhkannya. Kaum muslim diadu domba, sama-sama “dididik” kafir penjajah untuk merasa paling berhak memimpin, hingga akhirnya memisahkan diri dari daulah khilafah dan saling menyerang. Umat muslim seluruh dunia yang awalnya berada dibawah satu kepemimpinan, akhirnya dipecah menjadi lebih dari 50 negeri-negeri muslim dengan sekat nasionalisme yang membatasi interaksi satu negeri dengan negeri yang lain. Sejak itulah umat tak lagi punya perisai, bagaikan anak ayam kehilangan induknya, tercerai-berai dan mudah “dijajah”.

Itulah mengapa bantuan yang bisa diberikan hanya sebatas makanan, obat-obatan dan uang, dan tidak ada jalan untuk mengerahkan kekuatan militer. Padahal satu-satunya yang mampu mengusir penjajahan tidak lain adalah kekuatan yang sepadan yaitu militer di bawah komando pemimpin negara.

Hak asasi manusia ataupun nasionalisme bukan datang dari Islam, melainkan konsep kafir barat yang sengaja di jajakan keseluruh dunia, termasuk ke negeri-negeri muslim. Hasilnya, bukannya membawa kepada keamanan dan persatuan, namun justru sebaliknya, menimbulkan konflik yang tak berujung, ketidakadilan dan perpecahan. 

Lemah dan sempitnya nasionalisme menggiring umat hanya peduli dengan yang sebangsa meskipun berbeda aqidah. Dan sebaliknya, tidak peduli dengan yang berbeda bangsa meskipun seaqidah. Padahal di dalam Islam, sesama muslim adalah saudara tanpa ada batas sekat wilayah.

Bagaimana solusi di dalam Islam? Khalifah mempunyai kewajiban melindungi seluruh kaum muslimin dimanapun berada. Allah berfirman dalam Al Quran Surat Al-Baqarah 193; “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada lagi fitnah dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”.

Tidak seperti hari ini, kaum muslim tidak berdaya menolong saudaranya karena terhalang sekat negara. Dalam kondisi Palestina, dan juga negeri-negeri muslim lain yang terjajah, khalifah wajib membebaskannya dengan jihad fiisabilillah. Bayangkan ketika tentara dari negeri-negeri muslim dan yang tunduk di bawah naungan khilafah di seluruh dunia bersatu, betapa luar biasa potensi kekuatannya. 

Kekuatan militer dan persenjataan menjadi bargaining potition yang menunjukkan kekuatan dan kedudukan negara Islam di mata dunia. Sejarah membuktikan Daulah Islamiyah di bawah naungan khilafah menjadi negara adidaya yang disegani dunia sekaligus dikagumi karena keberhasilannya melahirkan peradaban gemilang. 

Hal ini pula yang ditakuti oleh musuh-musuh Islam, sehingga mereka melakukan segala cara agar persatuan umat muslim itu tidak terwujud, termasuk terus meracuni pemikiran kaum muslimin dengan virus nasionalisme. Lantas masih pantaskah kita berharap pada nasionalisme dan turunannya, termasuk perjuangan hak asasi manusia untuk membebaskan Palestina dan juga negeri-negeri muslim lainnya? 

Oleh Anita Rachman

Posting Komentar

0 Komentar