Spirit Ramadhan Sepanjang Tahun, Mungkinkah Terwujud?




Sudah dipahami dan dirasakan bersama oleh kaum Muslimin, bahwa semangat beribadah selama bulan Ramadhan selalu meningkat. Bahkan bukan hanya dalam aspek ibadah, di ranah terpautnya hati dengan Allah dan Rasul-Nya juga terasa meninggi. Karenanya, di bulan Ramadhan diharapkan kondisi perpolitikan dunia cenderung lebih sejuk. Penistaan terhadap agama Islam dan praktik kesyirikan diharapkan juga meredup, tidak marak seperti di bulan-bulan lain.


Banyak Muslimin menyebut terjadinya hal ini dengan istilah ‘berkah di bulan Ramadhan.’ Ya, memang Allah SWT melimpahkan berkah di bulan Ramadhan. Namun, apakah di bulan-bulan lain selain Ramadhan, Allah tidak menurunkan berkah-Nya? Tentu tidak demikian! Allah senantiasa melimpahkan berkah-Nya sepanjang tahun. Selain itu, menurunkan keberkahan adalah hak Allah atas semua makhluk ciptaan-Nya. Contohnya dalam firman Allah di Surah Qaf ayat 9: "Dan Kami turunkan dari langit air yang berkah, lalu kami tumbuhkan dengannya kebun-kebun dan biji-bijian yang bisa dipanen." 


Sedangkan di sisi lain, hak kita sebagai manusia adalah berikhtiar dengan melakukan amal salih. Dengan melakukan amal salih itulah, setiap individu Muslim berharap mendapat balasan yang baik dari Allah SWT. Dengan beramal salih pula, individu dan masyarakat Muslim berharap mendapatkan keberkahan dari Allah SWT di bulan apapun.


Melakukan ikhtiar adalah satu-satunya hal yang bisa manusia lakukan untuk mengubah kondisi dari yang buruk menjadi lebih baik. Sementara ketetapan baik dan buruk hanya berada di tangan Allah, bukan di tangan manusia. Manusia hanya bisa berusaha saja.


Ini sebagaimana yang Allah firmankan dalam satu ayat, di Surah ar-Ra’d ayat 11, “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”


Jadi, spirit untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar harus diupayakan dengan sungguh-sungguh dan dengan istiqamah oleh kaum Muslimin. Hal ini karena itulah satu-satunya yang membuka jalan bagi kehendak Allah mengubah kondisi manusia. Namun, apa mau dikata, spirit kaum Muslimin ber-amar ma’ruf nahi munkar hanya meninggi di bulan Ramadhan saja. Di bulan-bulan lain melandai.


Sejatinya, ber-amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan di sepanjang hidup tiap Muslim. Jika tidak, maka kezaliman dan kemaksiatan pasti akan merajalela di muka bumi ini. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Hendaklah kamu beramar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan melakukan nahi mungkar (melarang berbuat jahat). Jika tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik di antara kamu berdoa, dan tidak dikabulkan (doa mereka)." (HR Abu Dzar).


Lalu bagaimana supaya spirit ber-amar ma’ruf nahi munkar bisa terus menjulang, tidak hanya di bulan Ramadhan? Kuncinya adalah hadirnya kesadaran. Kesadaran seperti apa? Kesadaran yang lahir dari pemikiran dan perasaan yang tertuntun oleh Islam. Siapa yang harus memiliki kesadaran tersebut? Tentunya kaum Muslimin semua, baik laki-laki ataupun perempuan. 


Kesadaran jika tidak tertuntun oleh pemahaman Islam akan sangat berbahaya. Ini karena pangkal munculnya semua problematika yang menimpa umat manusia di muka bumi ini adalah karena manusia menjauh dari pemahaman Islam. Contohnya, banyak Muslimin yang mengetahui bahwa mereka harus makan. Namun, mencari nafkah dan memilih makanan yang halal dan baik menurut Islam, masih banyak yang belum memahami. Akibatnya mereka melakukan praktik riba dan memakannya tanpa mereka memahami besarnya dosa riba.


Di level global, menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme yang menggerakkan lokomotif keuangan dan perdagangnnya dengan berbasis riba, dianggap tidak masalah. Padahal di situlah sumber segala masalah muncul. Contohnya adalah campur tangan negara-negara gembong riba seperti Amerika Serikat dan China dalam perekonomian dan kebijakan negeri ini. Negara-negara tersebut bisa menjadikan para pemimpin di negeri ini tunduk pada arahan mereka karena jerat utang ribawi yang mereka tebarkan. 


Pada akhirnya, rakyat negeri inilah yang merasakan derita akibat kebijakan yang tidak pro kepada rakyat. Contohnya utang luar negeri Indonesia. Di awal tahun 2022 ini Bank Indonesia merilis bahwa Utang luar negeri (ULN) Indonesia besarnya US$413,6 miliar atau setara atau Rp5.938,4 triliun, databoks.katadata.co.id, 15/3/2022. Utang negara ini digadang-gadang adalah untuk membiayai belanja negara yang meningkat. 


Belanja negara ini diantaranya adalah untuk membiayai pegawai negeri, belanja modal, belanja bunga utang, belanja subsidi, dan lain-lain yang sering kali tidak tepat sasaran dan tidak efisien. Di samping itu, tunjangan sebagian pegawai negeri yang fantastis besarnya, tak urung memberatkan keuangan negara. Sehingga, sumber terbesar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang didapat dari memungut pajak dari rakyat dianggap tidak mencukupi, walaupun sudah sangat besar.  


Karena dana APBN tidak mencukupi, maka pemerintah mencari utang untuk mencukupinya. Sementara itu, pemungutan pajak juga digenjot sedemikian rupa untuk meningkatkan pemasukan bagi APBN. Padahal, pungutan pajak yang tinggi akhirnya hanya akan menambah beban rakyat dalam membayarnya. Hal ini karena sejatinya kondisi ekonomi di tingkat akar rumput sedang mengalami kelemahan luar biasa akibat melambungnya harga-harga berbagai kebutuhan, dan lesunya dunia usaha. 


Sementara itu, Kementerian Keuangan pada Jumat (1/4/2022) mengeluarkan keputusan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen. Meski kenaikannya diklaim kecil, tetapi kenaikan PPN ini pasti akan berdampak pada naiknya harga-harga kebutuhan masyarakat. Barang-barang sandang, rumah, kendaraan, pulsa, dan lain-lain dipastikan akan naik harganya. Padahal, perekonomian rakyat Indonesia semakin hari semakin terpuruk kondisinya.


Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa kenaikan PPN sebesar 1 persen tersebut adalah sebagai upaya menyehatkan APBN dan pemulihan ekonomi, CNBC Indonesia (1/4/2020). Sri Mulyani menambahkan, bahwa kenaikan PPN bukan untuk menyusahkan rakyat. Menurutnya, listrik, LPG, BBM, tol, air dan lain-lain memerlukan pembiayaan. 


Namun, apakah semua biaya kebutuhan negara harus dibebankan kepada rakyat? Menurut pandangan sistem Kapitalisme memang demikian. Jargon yang terkenal dari negara gembong Kapitalisme adalah ‘No free lunch,’ tidak ada makan siang yang gratis. Pemikiran seperti ini sama sekali tidak dikenal dalam khasanah pemikiran Islam. Hal ini karena, tidak semua barang dan jasa harus dihargai dengan uang, seperti menurut pandangan Kapitalisme. 


Di dalam sistem ekonomi Islam, banyak sekali barang yang merupakan milik rakyat. Contohnya adalah air, barang-barang tambang, laut, hutan, gunung dan segala macam sumber daya alam. Barang-barang ini berhak diperoleh oleh rakyat tanpa harus membelinya atau membayar kompensasi atas penggunaannya. Pemimpin, atas nama negara harus mengelolanya, sehingga hasilnya bisa digunakan oleh rakyat. Pengaturan seperti ini adalah kehendak Allah. Jadi tidak boleh dianggap sebagai cara pengaturan yang salah.


Karenanya, jika selama ini pemerintah melakukan kesalahan dalam mengelola dan mengurus negeri ini, mereka harus dinasihati dengan acuan syariat Islam. Inilah upaya melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Jika sepanjang bulan Ramadhan spirit melakukan hal ini meningkat, maka seharusnya di bulan-bulan lain juga demikian. Sehingga spirit menjaga umat manusia dari kemunkaran akan terus hidup sepanjang tahun. Spirit ini bukan hanya menjaga manusia di ranah individu, tetapi juga di ranah negara dan dunia. []


Oleh Dewi Purnasari

Posting Komentar

0 Komentar