Transaksi Narkoba di Bekasi Kian Berkamuflase, Bukti Penanganan Klise?

 


Kamuflase Transaksi Narkoba

Penyalahgunaan narkoba merupakan kasus yang sulit diberantas di Indonesia. BNN dan pihak kepolisian sendiri mengakui bahwa memutus mata rantai peredaran narkoba di masyarakat bukanlah perkara yang mudah. Dengan demikian, rasanya masyarakat menjadi sudah biasa jika mendengar kasus tersebut seringkali mencuat ke permukaan, bahkan sudah seperti makanan sehari-hari. Tidak hanya sampai disitu, lingkaran narkoba kian hari menjerat masyarakat dari berbagai kalangan.

Selain menyerang berbagi level masyarakat, perdagangan narkoba juga makin beragam melakukan kamuflase untuk memperlancar perdarannya di masyarakat. Polres Metro Bekasi Kota menangkap pelaku peredaran narkoba di Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi. Pelaku mengedarkan narkoba dengan cara jualan nasi kucing.
Pelaku mengaku dirinya mendapatkan upah Rp 7 juta sebagai kurir per 100 gram narkotika yang dia jual. Pelaku mengaku baru melakukan aksinya 4 kali.(news.detik.com, 14/03/22)

*Sulitnya Berantas Narkoba dan Penanganan Klise*

Setidaknya maraknya kasus penyalahgunaan narkoba bisa dilihat dari 3 aspek yaitu :

1. Aspek Individu

Individu yang jauh dari agama Islam. Jauhnya Ia dari ajaran agama membuat ketaatannya kepada Allah juga hilang. Akhirnya berbuat sesuka hati, tidak menjadikan halal haram sebagai standar perbuatan. Hanya mengikuti nafsu belaka. Bagi mereka narkoba adalah sesutu yang mendatangkan kebahagiaan dan  bisa memuaskan nafsu mereka sehingga tidak ada perasaan bersalah ketika mengkonsumsi  bahkan menjual karena tipisnya keimanan.

2. Aspek  Masyarakat

Masyararat sudah banyak yang tidak peduli atau cuek terhadap bentuk-bentuk pelanggaran atau  kejahatan yg dilakukan di sekitar mereka karena masyakarakat sudah terkena penyakit individualistik dan egois sehingga sibuk dengan urusan masing-masing.  Orang mau menjual narkoba dan sebagainya dianggap bukan menjadi bagian dari urusannya. Bahkan mereka menganggap gaya hidup mengkonsumi narkoba adalah sesuatu yang sudah biasa

3. Aspek Penguasa/Pemerintah

Menurut Iftitah Sari, Peneliti Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) menilai jumlah kasus maupun penggunaan narkotika meningkat karena pemerintah tidak menyelesaikan masalah dasar narkotika. Hal ini tidak lepas dari logika pemerintah dalam penanganan pengguna narkoba dengan pemenjaraan daripada upaya rehabilitasi. Jadi selama ketersediaan barang terus ada, bandar peredaran gelap masih terus ada, dan pengguna tidak diintervensi dengan  rehabilitasi, tetapi dengan pidana , ini tidak akan menyelesaikan masalah. Pemerintah tidak, serta mengedepankan pemenjaraan membuat warga diam-diam mencari narkotika.

Peredaran narkoba memang menyasar ke segala kalangan, mulai dari orang biasa, kalangan artis, pengusaha sampai  aparat penegak hukum pun menjadi pengguna. Pada 2020, kepolisian memecat 113 anggota dari kesatuan dengan mayoritas adalah kasus narkoba.  Polisi pun menggunakan narkoba karena barang tersebut mudah diperoleh di publik.

Sangat miris jika pemerintah bersuara ingin memberantas narkoba, namun peredaran barang tersebut bahkan  didukung oleh aparat penegak hukum. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Budi Waseso mencium aroma kuat, banyak oknum petugas lembaga pemasyarakatan (lapas) yang berkomplot dengan bandar narkoba. Sebab, seringkali dalam pengungkapan kasus narkoba ditemukan fakta, bos besar atau pengendali narkoba justru datang dari narapidana yang ada di dalam lapas.

Di sisi lain, regulasi di Undang-Undang Narkotika sangat ‘karet’ karena tidak bisa membedakan antara pengguna biasa dengan pengedar dengan baik. Contohnya adalah bagaimana Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, dan Pasal 115 UU Narkotika sebagai upaya pemidanaan. Kemudian ada ruang gelap yang bernama rehabilitasi sesuai Pasal 127 UU Narkotika yang menjadi ‘ruang negosiasi’ polisi dan pengguna yang terjerat hukum. Sebenarnya ada pasal yang pengguna bisa direhabilitasi, tapi karena pasalnya karet dalam praktik banyak dijual beli, di dalam praktiknya pengguna membayar polisi untuk transaksional. Kalau mau direhabilitasi  harus mengeluarkan sejumlah dana dan   nanti dikenakan Pasal 127.

Maka dari sini tak aneh jika kemudian kesan klise dalam penanganan kasus peredaran narkoba semakin menguat , termasuk yang terjadi di Bekasi. Dengan regulasi yang lemah seperti ini, kamuflase peredaran narkoba semakin beragam dan masyarakat semakin berani untuk mengedarkan narkoba secara bebas.  Sekulerisme memang telah membuat agama terpisah dari kehidupan. Gaya hidup hedonis dan serba boleh pun semakin menjamur. Prinsip hidupnya bukan lagi halal haram melainkan hak asasi dan kebebasan. Akhirnya miras, narkoba, dan sebagainya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sebagian masyarakat di negeri ini.

*Penanganan Penyalahgunaan Narkoba dalam Islam*
  
Satu-satunya solusi hakiki untuk memutus mata rantai peredaran narkoba adalan mencampakkan sekularisme  dan menggantinya dengan penerapan syariat Islam dalam institusi Khilafah. Ketika syariat Islam diterapkan, maka peluang melakukan pelanggaran hukum akan tertutup. Hal ini dikarenakan landasan dalam mengatur negara bersumber dari Aqidah Islam yang mewajibkan setiap manusia hanya taat kepada satu-satunya pembuat hukum yaitu Allah SWT. Bukan taat kepada hukum buatan manusia yang sudah pasti lemah, terbatas dan cenderung memiliki kepentingan pribadi di dalamnya.

Akidah Islam mewajibkan Negara membina ketakwaan warganya. Ketakwaan yang terwujud akan mencegah seseorang terjerumus dalam kejahatan narkoba. Setiap individu akan sadar bahwa ada hari akhir dimana setiap amal perbuatan dimintai pertanggungjawabkan.  Kehidupan bernegara dilandasi dengan suasana keimanan yang tebal, bukan seperti saat ini.

Lalu bagaimana dengan penyalahgunaan narkobanya ?
Secara hukum, dalam syariah Islam, narkoba adalah haram sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Salamah ra: “Rasulullah saw. melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan”. (HR. Abu Daud dan Ahmad).

Sebagai zat haram, siapa saja yang mengkonsumsi, mengedarkan dan memproduksinya berarti telah melakukan tindakan kriminal. Pelakunya layak dijatuhi sanksi dimana bentuk, jenis dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi, bisa sanksi diekspos, penjara, denda, cambuk bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.

Terhadap pengguna narkoba yang baru sekali, selain harus diobati atau direhabilitasi oleh Negara secara gratis, cukup dijatuhi sanksi ringan saja. Jika berulang-ulang tertangkap menggunakan narkoba sanksinya bisa lebih berat. Terhadap pengedar tentu sanksinya lebih berat lagi karena juga membahayakan masyarakat. Gembong narkoba (produsen atau pengedar besar) layak dijatuhi hukuman berat bahkan sampai hukuman mati. Dalam kasus yang terjadi di Bekasi ini, tentunya aparat yang berwenang harus meneliti dengan detail status penyalahgunaan narkoba yang mereka lakukan, baru memakai sekali, berulang kali atau bahkan termasuk pengedar.

Jika vonis telah dijatuhkan, maka harus segera dilaksanakan dan tidak boleh dikurangi atau bahkan dibatalkan. “adapun untuk ta’zir dan mukhalafat, vonis Qadhi itu jika telah ditetapkan, maka telah mengikat seluruh kaum Muslim, karena itu tidak boleh dibatalkan, dihapus, dirubah, diringankan atau yang lain, selama vonis itu masih berada dalam koridor syariah. Sebab hukum itu ketika sudah ditetapkan oleh Qadhi, maka tidak bisa dibatalkan sama sekali”. (Sumber : Syaikh Abdurrahman al-Maliki di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât hal. 110, Darul Ummah, cet. li. 1990)

Pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan itu harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama setelah dijatuhkan vonis. Pelaksanaannya hendaknya diketahui dan disaksikan oleh masyarakat, sehingga masyarakat paham bahwa itu adalah sanksi atas kejahatan tersebut dan  memberikan efek pencegahan karena orang akan berpikir ulang ribuan kali ketika hendak melakukan pelanggaran yang serupa.

Pemerintah di dalam Islam tidak akan membuat aturan yang bersifat “karet”, karena hal ini bisa memicu kasus semakin bertambah dan membuat regulasi menjadi lemah. Tidak akan  ada lagi pasal karet sehingga tidak ada prosedur hukum yang disalahgunakan. Peran pengawasan diperkuat di lingkungan penegak hukum. Dengan demikian, tidak ada aksi kongkalikong atau upaya mencari untung dari aparat penegak hukum dalam penanganan narkoba.

Pemerintah harus menutup dan mendisiplinkan semua jenis usaha yang berkaitan atau membuka peluang tersebarnya barang haram ini. Tidak boleh ada izin beroperasi. Pemerintah menjamin betu semua ang dikonsumis warganya hanyalah zat yang halal dan thooyyib sehingga menjaga kerawarana generasi. Pengawasan negara dalam hal ini harus kuat. Kontrol di dalam masyarakat juga berjalan sebab masyarakat dibentengi juga dengan suasana iman yang kuat. Suasana iman yang kuat terbentuk, karena penguasa juga melakukan tindakan menjaga aqidah umatnya dari kerusakan dengan melakukan pembinaan tsaqofah Islam. Dengan Islam, generasi-generasi penerus berikutnya akan terjaga. Kewajiban menerapkan syariat Islam bukan lagi sebuah tuntutan zaman, tapi sudah menjadi tuntutan aqidah bagi seorang muslim. Wallahu a'lam bishawab.


Penulis: Hanum Hanindita, S.Si.
(Guru HS Khoiru Ummah Tingkat Dasar)


Posting Komentar

0 Komentar