Dosen Pulang Kampung merupakan program pengabdian kampus kepada masyarakat besutan IPB University. Menurut Rektor IPB University, Prof. Arif Satria, dalam kegiatan Sidang Paripurna Terbuka Majelis Wali Amanat (MWA) dan Rabuan Bersama IPB University (9/3) di Kampus IPB Dramaga, program Dosen Pulang Kampung ini merupakan salah satu program untuk mendayagunakan inovasi agar tercipta dampak sosial ekonomi yang positif dan luas.
Ia menjelaskan strategi yang akan dilakukan adalah mendorong pusat pembelajaran baru di masyarakat pada tingkat lokal, regional dan nasional. Hal ini untuk mendayagunakan inovasi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Pada tingkat lokal gerakan baru yang akan dilakukan adalah dengan melaksanakan program Dosen Pulang Kampung.
“Mulai tahun ini akan banyak dosen IPB University kembali ke kampung. Ada sekitar 1.300 dosen yang siap membawakan inovasi dan ilmu pengetahuan ke daerah. Program ini untuk mendorong agar inovasi semakin luas bisa diterapkan di masyarakat. Dosen inilah yang akan membentuk pusat pembelajaran di kampung halaman,” tambah Prof Arif. (www.ppid.ipb.ac.id)
Potret Riset dan Penerapannya
Inovasi tidak bisa dilepaskan dari suatu proses yang bernama riset atau penelitian. Dalam riset ada sumber daya yang perlu diperhatikan yaitu: periset, infrastruktur riset, anggaran riset dan program riset.
Periset merupakan sumber daya utama dalam proses penelitian untuk melahirkan inovasi dalam ilmu pengetahuan baik murni maupun terapan. Proporsinya bisa 70% dibanding dengan seluruh sumber daya lain.
Menurut Dyah Hikmawati, S.Si., M.Si dalam sebuah tulisannya yang dimuat di www.muslimah.net, Sumber daya utama iptek pertama adalah SDM periset. Pada konteks hari ini, periset adalah mereka yang telah menempuh pendidikan pascasarjana S3 (Doktor, Ph.D.) yang ada di perguruan tinggi (PT) dan kementerian/lembaga riset, serta Badan Ristek Inovasi Daerah.
Tahun 2020, tercatat data periset di Indonesia adalah 44.999 dosen telah S3, 342 perekayasa yang telah S3, dan 1.693 peneliti yang telah S3. Rasio periset Indonesia masih rendah, yaitu 1.070 per satu juta penduduk dibandingkan Malaysia (2.590), Jepang (5.570), Singapura (7.115), dan Korsel (8.105).
Standar ideal jumlah periset di suatu negara adalah 20% jumlah seluruh peneliti PT dan kementerian/lembaga. Artinya, dengan asumsi zero growth, Indonesia masih perlu meningkatkan kualifikasi periset sebanyak 17.889 orang.
Selain itu, riset di Perguruan Tinggi lazimnya dilakukan dosen yang tugas pokoknya mengajar, bukan meneliti. Jika target 20% terpenuhi, pada 2024, jumlah periset akan meningkat dari 44.434 menjadi 60.377 dengan kualifikasi S3, jumlah yang luar biasa banyak dan digdaya. Apalagi jika ditambah asisten riset (kualifikasi pendidikan belum S3) yang totalnya mencapai 326.320 saat ini.
Hanya saja saat ini, potensi besar SDM periset melakukan riset berbasis proyek dengan dana terbatas, serta administrasi pertanggungjawaban dana yang rumit dengan hasil kurang kompetitif secara global. Beberapa indikator capaian saat ini dapat terlihat dari jumlah paper publikasi jurnal internasional bereputasi, jumlah paper yang disitasi, prototipe produk, kekayaan ilmiah, paten, HKI, serta produk inovasi yang terhilirisasi dan dimanfaatkan dunia usaha dan industri. Hingga riset tidak ditujukan untuk kemandirian sebuah bangsa, tetapi untuk reseach and develompent serta diferensiasi produk industri kolaborat.
Sumber daya riset yang kedua yaitu infrastruktur riset pun masih terbatas. Salah satu penyebab keterbatasan ini karena adanya ketidakmandirian bahan baku. Jadilah, hingga 2020, tingkat inovasi Indonesia (global innovation index/GII), termasuk farmasi ada pada peringkat ke-87 dari 132 negara, 14 dari 17 negara Asia Tenggara!
Dalam bidang iptek, pada 2017, Indonesia berada pada posisi ke-160 dari 163 negara dalam indeks kontribusi global kemajuan sains dan teknologi, ke-111 dalam budaya, ke-19 dalam kedamaian dan sekuriti, ke-62 dalam tata dunia, ke-138 dalam iklim planet, ke-35 dalam kemakmuran dan kesetaraan, serta ke-70 dalam kesehatan dan kesejahteraan.
Dari sisi anggaran, Anggaran riset dan inovasi Indonesia paling rendah di antara negara-negara di ASEAN. Pada 2020, proporsi dana riset hanya 0,31% PDB, jauh di bawah Singapura yang mencapai 2,64%, Malaysia (1,29%), atau Korea Selatan (4,35%). Dengan proporsi anggaran 80% dari pemerintah dan 20% anggaran dari nonpemerintah. Ini terbalik dari standar UNESCO bahwa sumber anggaran riset harusnya 20% dari pemerintah dan 80% non pemerintah.
Memang biaya riset itu sangat tinggi dengan peluang kegagalan sebesar 95%. Hingga industri enggan untuk menanamkan modalnya dalam proses research and development. Walhasil, untuk melakukan riset dilakukan skala prioritas. Misal, mengutamakan untuk melakukan riset pada teknologi kunci seperti mini satelit yang saat ini masih menyewa dari riset bidang lainnya.
Sumber daya riset yang terakhir adalah program riset. Yaitu program-program yang memang diadakan untuk menstimulus riset itu dilakukan. Biasanya berupa program riset dan proyek yang jamak dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian.
Program ini perlu adanya suprastruktur dari kebijakan pemerintah yang mendukung. Jangan sampai kontraproduktif. Seperti, perubahan status Lembaga Eijkman baru lalu. Ini mengakibatkan kegaduhan karena banyak pegawai kontrak yang jadi kehilangan pekerjaannya.
Dari sisi penerapan hasil riset pun di Indonesia masih mengalami permasalahan. Banyak produk-produk riset yang kandas karena kebijakan pemerintah yang tak berpihak. Yang paling menyedihkan adalah kandasnya industri pesawat hasil karya fenomenal anak bangsa bersama IPTN. Pesawat N250 itu akhirnya dimuseumkan. Waktu itu proyek industri strategis pembuatan pesawat terbang ditutup karena negara menghentikan pendanaan atas desakan IMF ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998. Padahal, menurut Ilham Habibie, wilayah Indonesia yang berbentuk negara kepulauan ini sangat strategis untuk pemasaran pesawat terbang dan pihak asing sudah mengincarnya. (www.techno.okezone.com)
Bahkan, menurut Prof. Fahmi Amhar, hasil-hasil riset lebih sering tidak dipakai oleh para penentu kebijakan. Kebijakan publik lebih didominasi oleh para pembisik, baik dari kalangan politik, pengusaha maupun paranormal.
Jika seperti ini potret iklim riset kita saat ini, program Dosen Pulang Kampung yang digagas oleh IPB University ini terlihat menjadi berat. Tatanan negara yang kapitalistik tidak mendukung untuk berkembangnya program ini menjadi program yang berdaya untuk kemandirian dan kejayaan bangsa. Jika tujuannya untuk kemandirian dan kejayaan bangsa dalam berbagai bidang memang sangat berat jika hanya diampu oleh Perguruan Tinggi saja. Butuh underlying system yang menopang iklim riset yang menghasilkan inovasi dan bisa diterapkan untuk kemaslahatan umat.
Perlu Underlying System Adiluhung
Secara fundamental, riset merupakan kegiatan yang sangat tergantung politik ideologi suatu negara. Ideologilah yang menjadi underliying system bagi riset. Riset bagi negara kapitalis dilakukan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Jadilah berbagai riset diukur berdasarkan dampak ekonominya. Padahal, hanya 3—5% penelitian yang berhasil hingga berdampak keuntungan ekonomi. Riset-riset dasar jangka panjang kurang berdampak ekonomi pun terabaikan, padahal sangat penting untuk keberlangsungan peradaban. Apalagi dengan sumber pendanaan yang terbatas, menjadikan riset di negara kapitalis yang bukan negara maju menjadi tidak berdaya.
Berbeda dengan riset di negara kapitalis, riset dalam Islam (sistem khilafah) dilakukan untuk mendukung tanggung jawab Khalifah dalam mengurusi urusan umat, yaitu demi kemandirian pemenuhan kebutuhan asasi individual (sandang, pangan, papan) maupun kebutuhan asasi komunal (pendidikan, kesehatan, dan keamanan) bagi seluruh warga negara (muslim maupun nonmuslim).
Dalam Islam, para ilmuwan dan rekayasawan (muhandisun) mendapatkan kedudukan yang tinggi. Para Khalifah dan Sultan dekat dan merasa hormat pada mereka. Dan seperti para mujtahid, ilmuwan pada masa itu juga berani menyampaikan fakta ilmiah, sekalipun boleh jadi bertentangan dengan opini masyarakat atau penguasa. Sebagai contoh: al-Haitsam menyimpulkan bahwa dengan teknologi saat itu tidak ada kemungkinan dibendung, yang berarti proyek Sultan Mesir dibatalkan. Akibat sikapnya itu, dia harus mengalami tahanan rumah bertahun-tahun dengan tuduhan telah gila. Ada sejarahwan yang menulis bahwa dia memang pura-pura gila untuk menghindari hukuman akibat wanprestasi. Kedua hal ini tidak pernah diklarifikasi. Yang jelas, tidak mudah pura-pura gila bertahun-tahun. Fakta selama dalam tahanan, al-Haitsam tak berhenti meneliti. (www.fahmiamhar.com)
Secara umum, meski penguasa politik silih berganti, namun komitmen pada dunia iptek tidak berubah. Para ilmuwan disediakan dana yang tak terbatas, selama hasil penelitian mereka sebelumnya terbukti dapat diterapkan secara praktis. Bahkan di bidang ilmu dasar seperti astronomi dan matematika pun para peneliti wajib menjadikan masyarakat paham, atau minimal “terhibur” dengan ilmu. Majelis-majelis sains dan teknologi ramai dikunjungi khalayak. Karena itu orang-orang kaya juga terpancing untuk ikut mensponsori penelitian. Wakaf suatu perpustakaan atau laboratorium menjadi trend. Sultan dan aghniya' bersaing agar namanya diabadikan menjadi nama suatu tabel astronomi yang berguna dalam navigasi, nama atlas dunia baru, atau nama ensiklopedia baru. Inilah underlying system adiluhung yang akan menyangga dengan kokoh dunia riset dan penerapannya, termasuk program Dosen Pulang Kampung. Hanya dengan ideologi Islam yang diterapkan dalam sistem khilafahlah yang akan menjadikan riset dan iptek berdaya guna mencapai tujuan memuliakan umat. Wallahu a'lam bishowab.
Penulis : Rini Sarah
0 Komentar