Vonis Bebas Pelaku KM 50 : Keadilan Tidak Berpihak Pada Rakyat?

 


Dua terdakwa polisi kasus penembakan anggota FPI di KM 50, divonis bebas oleh hakim ketua di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 18 Maret lalu. Hal dilakukan oleh pengadilan dengan alasan pembenaran dan pemaaf. Walaupun mereka dinyatakan bersalah oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) (CNN Indonesia.com 18/3/2022). Tentunya kenyataan ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. 

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai bahwa kedua terdakwa ini terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama. Kemudian jaksa menuntut mereka dengan enam tahun penjara. Tuntutan ini sesuai dengan dakwaan primer, yakni pasal 338 KUHP tentang pembunuhan secara sengaja, juncto Pasal 5 ayat (1) ke-1 KUHP.

Jaksa menyebut bahwa anggota laskar FPI ditembak dari jarak dekat oleh tiga anggota Polda Metro Jaya. Dua orang tewas, sementara empat yang lain wafat diperjalanan saat hendak dibawa ke Polda Metro jaya.

Selain itu, jaksa menilai bahwa putusan hakim tidak cermat dalam menerapkan hukum pembuktian. Jaksa juga menilai bahwa hakim keliru dalam menyimpulkan dan mempertimbangkan fakta hukum dari keterangan saksi ahli juga surat yang dihadirkan oleh JPU. Oleh karenanya menurut jaksa, hakim memberi kesimpulan bahwa kedua terdakwa melakukan pembelaan terpaksa (Noodweer) (Detik.com 24/3/2022).

Sebelumnya, persidangan pernah memanggil saksi ahli ilmu kepolisian dari Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara, Kombes Purn Dr Warasman. Ia katakan bahwa senjata api bagi petugas boleh digunakan, dalam hal ini untuk menghadapi keadaan luar biasa dan untuk melindungi nyawa manusia (Detik.com 18/1/2022).

Tentang ‘terdakwa menghadapi keadaan luar biasa ini’, Prof Mudzakir, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia mengatakan,”Polisi memang memiki wewenang untuk melumpuhkan, hal ini sah di hadapan hukum. Namun tidak untuk mematikan (membuat lawan mati)” (chanel TVone news 18/3/2022). 

“Law inforcement tidak boleh mematikan siapapun”, ujar Mudzakir. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyatakan kasus pembunuhan laskar FPI tersebut sebagai ‘unlawful killing’ (pembunuhan yang melanggar hukum).

Bagitu juga Aziz Yanuar, tim Kuasa hukum FPI mengatakan bahwa,”Tidak ada yang bisa memberikan kesaksian kecuali orang yang masih hidup dalam peristiwa tersebut”. Kemudian yang harus diperhatikan juga adalah kondisi luka tembak jenazah laskar FPI korban penembakan. 

Tahun lalu, Bambang Rukminto, pengamat kepolisian berucap dalam wawancara di chanel youtube Metro tv news, bahwa setelah sekian lama, pihak kepolisian tidak pernah membuka siapa ketiga oknum pelaku penembak laskar FPI di KM 50 (26/3/2021). Setelah selang tiga bulan dari peristiwa penembakan, tiba-tiba kepolisian mengatakan bahwa salah seorang dari oknum polisi tersebut meninggal sejak Januari 2021 lalu. 

Rukminto juga mengatakan, kepolisian sebelumnya telah menetapkan bahwa enam laskar yang meninggal menjadi tersangka kemudian dianulir. Rukminto menambahkan, “Apabila kepolisian memang melakukan kesalahan, diharapkan segera mengakui kesalahannya dan melakukan permohonan maaf di depan publik secara umum dan transparan”. 

Panasnya Suhu Politik 

Pembunuhan sadis terhadap anggota laskar FPI ini tidak bisa dipisahkan dari rentetan peristiwa sejak kedatangan Habib Rizieq Shihab ke Indonesia. Pada akhir 2020, ia datang dari Arab Saudi dan disambut dengan gegap gempita oleh masyarakat Indonesia yang bahkan sekalipun bukan dari anggota FPI.   

Massa memadati bandara Soekarno-Hatta, menyemut dari berbagai daerah berkumpul menunggu kedatangan sang habib. Berkumpulnya massa di bandara kabarnya mengakibatkan terminal 3 menjadi lumpuh. Berdasarkan papan informasi penerbangan di terminal 3 bandara Soetta, sejumlah jadwal penerbangan menuju Indonesia bahkan hingga dibatalkan. 

Bukan itu saja, transportasi dari dan menuju terminal 3 pun tidak beroperasi seperti kereta bandara, bus, hingga penyewaan mobil. Hal ini dikarenakan massa berkerumun dan menutup jalur kendaraan di depan terminal 3 yang disinyalir berjumlah ribuan. Diluar bandara pun demikian, masa menyemut hingga Petamburan (Tribun news.com 10/11/2020).

Melihat sambutan yang sangat tak terduga itu tentu istana tak tinggal diam dan berusaha untuk menghalau pesona sang habib. Terlihat dari beberapa manuver politik yang dilakukan penguasa dalam meneropong situasi yang ada.

Seperti yang dikatakan oleh Ujang Komarudin Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR). Ia katakan bahwa kedatangan Habib Rizieq Shihab ke Indonesia bisa menjadi ancaman bagi pemerintahan Jokowi (UAI.ac.id 11/11/2020). Pasalnya kedatangan imam besar FPI itu akan membuat konsolidasi besar-besaran untuk menguatkan pergerakan oposisi untuk melawan pemerintah, ujarnya.

Persepektif Islam

Dr Marwan Batubara, juru bicara TP3 di chanel Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) 26 Maret 2022 menyatakan “Bila kejadian ini merupakan kejahatan konspiratif yang dilakukan secara sistematis dari lembaga-lembaga tinggi negara, maka kita pantas untuk menuntut orang-orang ini bertanggung jawab, dan mengatakan bahwa mereka ini adalah pelindung terhadap kejahatan kemanusiaan”.

Dalam Islam, hakim tidak berhak memaafkan pelaku, hanya keluarga yang bisa melakukannya. Bila keluarga tidak mau memafkan, maka terjadi hukum qisash. Namun bila keluarga memaafkan pelaku, maka pelaku harus membayar diyat dengan 100 ekor onta. 

Saat menghadapi kejahatan yang sistemik yang dilakukan adalah, pertama, harus kembali pada hukum Islam, karena tidak ada penyelesaian tanpa hukum Allah swt. Bahwa keadilan hanya datang bila Islam ditegakkan dalam naungan Khilafah Islam. 

Kedua, memberikan edukasi pada rakyat tentang realitas sebenarnya dan posisi pembelaan mereka ada dimana. Rakyat harus proaktif dan tidak diam, karena bisa jadi suatu saat kriminalisasi juga akan terjadi pada mereka. 

Sehingga kita semua berharap semoga kriminalisasi tidak terus berulang dan keadilan hakiki dapat tegak dengan aturan Allah swt.

Wallahu’alam


Oleh Ruruh Hapsari

Posting Komentar

0 Komentar