Panjang umur perjuangan. Hidup mahasiswa Indonesia! Berbagai tweet dengan nada yang sama dilontarkan netizen untuk mendukung gerakan aksi mahasiswa. Aliansi Mahasiswa Indonesia (AMI) baru saja menggelar aksi pada 1 April 2022, dalam rangka menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Aksi ini tentu bukan tanpa sebab. Sejak Januari hingga Maret, beberapa elit politik telah menyuarakan wacana penundaan pemilu hingga perpanjangan periode jabatan presiden.
Wacana penundaan pemilu ini dikawal oleh tiga partai yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Golongan Karya (Golkar). Ketua umum PAN, Zulkilfi Hasan menyampaikan setidaknya ada 6 alasan terkait penundaan pemilu yaitu kondisi pandemi, pemulihan ekonomi, situasi konflik global, anggaran pemilu yang bengkak, program pembangunan nasional yang tertunda akibat pandemi, dan tingginya angka kepuasan publik terhadap Jokowi (CNN Indonesia 25/02/2022).
Adapun wacana 3 periode diungkapkan Januari lalu oleh Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia. Menurutnya perpanjangan periode jabatan presiden diperlukan demi pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Wacana ini kembali bergulir pada kegiatan Silaturahmi Nasional 2022 yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) pada akhir Maret. Melihat hal ini, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) menyatakan bahwa dukungan kepala desa terhadap perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi merupakan bagian dari hak setiap warga (Kompas.com 31/03/2022).
Respons yang inkonsisten dari Presiden Jokowi turut disoroti oleh masyarakat. Pada 2019, Jokowi menolak dengan tegas usulan perpanjangan masa jabatan presiden. Ia menilai ada motif di balik usulan tersebut yaitu “ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan,” katanya (02/12/2019). Kemudian pada 2021, ia mengatakan tidak ada niat dan tidak berminat untuk menjabat selama 3 periode. Sementara itu, pada 2022 sikap Presiden Jokowi tidak setegas penyataan sebelumnya. Jokowi menyampaikan akan tunduk kepada konstitusi, namun wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tidak bisa dilarang karena hal tersebut merupakan bagian dari demokrasi (Kompas.com 06/03/2022).
Lantas, apakah sikap elit politik yang ngotot menunda pemilu 2024 maupun wacana perpanjangan periode jabatan presiden merupakan bentuk mencederai demokrasi atau ini menjadi bukti buruknya sistem demokrasi itu sendiri?
Pembangkangan Konstitusi
Dalam rilis sikap yang dilakukan BEM UI pada 4 Maret 2022, aliansi BEM se-UI dengan tegas menolak wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden lantaran dinilai sebagai bentuk pembangkangan konstitusi dan berpotensi absolute power di kemudian hari.
“Konstitusi adalah dasar hukum tertinggi di Indonesia, yang mana kehadirannya menandakan bahwa kita tengah betul-betul menjalankan konsepsi negara hukum. Penundaan pelaksanaan Pemilu 2024 akan berimbas pada diperpanjangnya masa jabatan Presiden yang jelas bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam konstitusi. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa rencana penundaan pemilu sejatinya merupakan usulan yang membangkangi konstitusi dan akan mengarah pada potensi absolute power pada kemudian hari.”
Batas masa jabatan presiden dan wakil presiden telah diatur di dalam Pasal 7 UUD 1945 bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudah dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Selain itu, penundaan pemilu dapat berdampak pada semakin lamanya jabatan kursi legislatif. Padahal dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) keempat lembaga tersebut dibatasi masa jabatannya selama lima tahun. Akhirnya, penundaan pemilihan anggota legislatif juga bertentangan dengan UU MD3.
Konflik Kepentingan pada Demokrasi
Aneh memang, mengapa penguasa negeri ini berusaha duduk lebih lama di kursi jabatannya bukankah tugas mereka sangatlah berat? Dalam salah satu postingan BEM UI, kondisi penguasa sekarang dapat dilihat lewat pendekatan political capital atau modal politik yaitu menjelaskan naik-turunnya para pemimpin politik bagaikan pasar saham. Karena para “investor” atau pemilik modal akan memberikan dukungan kepada calon-calon penguasa yang memberikan citra menjanjikan. Setelah mendapatkan posisinya, para penguasa akan balas budi kepada mereka yang telah menyukseskan pemilihan lewat kesempatan eksklusif pada proyek-proyek negara, penyesuaian kebijakan berdasarkan kepentingannya, bahkan perlindungan dari hukum.
Sebenarnya besarnya biaya pesta demokrasi sudah menjadi rahasia umum. Biaya besar ini dibutuhkan untuk kepentingan kampanye mengenalkan diri kepada masyarakat demi meningkatkan kemungkinan kemenangan. Jika paslon memiliki dana kecil maka jangkauan untuk dikenal masyarakat pun semakin kecil. Berdasarkan penelitian KPK, dana yang harus disiapkan untuk mencalonkan diri pada pilkada sebesar Rp5-10 miliar. Bahkan, jika ingin dipastikan menang, harus mempersiapkan dana sekitar Rp65 miliar (Detik.com 21/10/2020).
Kebutuhan dana yang besar membuka peluang bagi para pemilik modal untuk memberikan dukungan dana kepada calon-calon penguasa. Dukungan ini jelas bukan tanpa balasan. Akibatnya, penguasa yang berhasil duduk di bangku kekuasaan tidak lagi memiliki visi misi yang bersih untuk melayani rakyat melainkan sibuk untuk membalas budi atas bantuan dana dari mereka. Kepentingan rakyat pun tergadai demi kepentingan para pemilik modal. Peraturan yang lahir dari kekuasaan semacam ini jelas sering kali mencederai kebutuhan rakyat karena lebih mementingkan kebutuhan pemilik modal. Maka, para pemilik modal akan sulit melepaskan bangku kekuasaan karena dinilai telah menguntungkan mereka. Berbagai cara untuk melanggengkan kekuasaan yang ada pasti akan dilakukan termasuk wacana-wacana penundaan pemilu dan perpanjangan periode.
Harapan Palsu Demokrasi
Selanjutnya, apakah wacana ini mampu mengubah konstitusi yang ada? Dalam demokrasi, presiden tidak memiliki wewenang untung mengubah Undang-Undang. Kekuasaan untuk mengamandemen konstitusi diberikan kepada MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Maka, perubahan konstitusi dalam demokrasi bukanlah hal yang mustahil. Buktinya, Indonesia telah melakukan empat kali amandemen sebelum memberlakukan UUD 1945 pada 5 Juli 1949.
Seperti yang kita ketahui bahwasanya dalam demokrasi kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Artinya rakyat memiliki wewenang untuk membuat dan memutuskan perubahan peraturan dan perundangan. Termasuk perubahan konstitusi sekali pun yang lahir dari pemikiran dan keputusan rakyat yang suaranya di wakili oleh perwakilan rakyat. Hal ini mengakibatkan adanya peluang terjadinya perpanjangan periode. Ditambah lagi wacana tersebut penuh akan konflik kepentingan yang jelas itu merugikan rakyat.
Oleh karena itu, wacana perpanjangan periode ini bukan lagi soal mencederai demokrasi. Melainkan, ini menjadi salah satu bukti buruknya sistem yang lahir dari akal manusia. Sistem demokrasi yang memberikan kedaulatan dan kekuasaan kepada rakyat serta menjadikan sekularisme sebagai asasnya akhirnya berpeluang melahirkan kekuasaan yang otoriter. Penguasa lebih mengedepankan kepentingan pribadi maupun pemilik modal dan mengesampingkan kepentingan masyarakat. Slogan dari rakyat-untuk rakyat-oleh rakyat akhirnya menjadi omong kosong demokrasi belaka.
Kekuasaan dalam Pandangan Islam
Kekuasaan dalam Islam adalah hal yang krusial sebab lewat kekuasaanlah syariat Islam dapat diterapkan atau ditinggalkan. Kekuasaan dalam Islam dibutuhkan untuk mencapai kemaslahatan agama dan masyarakat. Karena itu, tugas penguasa adalah tugas yang berat karena kekuasaan yang diberikan kepadanya merupakan amanah yang akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat.
Islam telah memperingatkan bahaya hubb ar-ri’asah (cinta kekuasaan). Rasulullah SAW bersabda, “dua ekor serigala yang dilepas kepada seekor domba tidak lebih parah kerusakannya bagi domba itu dibandingkan dengan ketamakan seseorang terhadap harta dan kedudukan dalam merusak agamanya” (HR at-Tirmidzi).
Salah satu bahaya cinta kekuasaan adalah dapat merusak agama pelakunya sebab Ibnu Hajar menjelaskan bahwa tidak akan selamat agama seseorang apabila ia tamak terhadap harta dan kedudukan dunia.
Meskipun dalam Islam kekuasaan seorang pemimpin (khalifah) tidak dibatasi suatu periode namun ini tidak bisa disamakan dengan sistem demokrasi. Karena dalam Islam kedaulatan bukan berada di tangan manusia, namun berada di tangan Asy-Syari’ (Allah SWT) sehingga jauh dari pengaruh absolute power kekuasaan manusia. Dengan demikian, masa jabatan seorang khalifah dibatasi oleh syariat. Selama ia memimpin menggunakan syariat Islam dan tidak ada aturan yang ia langgar serta ia masih memenuhi syarat sebagai seorang khalifah, maka ia dapat memimpin jabatan hingga akhir hayat.
Dalam riwayat Imam Muslim dari jalan Ummu al-Hushain disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “(selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah, ia wajib didengar dan ditaati.”
Sistem Islam dibangun berdasarkan aqidah Islamiyyah dengan menerapkan aturan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Karena kedaulatan berada di tangan syara, maka manusia tidak bisa merubah syariat Islam sesukanya berdasarkan kepentingan pribadi atau kepentingan golongan. Inilah kesempurnaan yang dimiliki oleh konsep Islam, karena telah secara alami menutup peluang lahirnya pemimpin yang otoriter dan mengabaikan masyarakat. Melainkan, Islam melahirkan pemimpin yang memiliki cita-cita penuh sebagai pengurus dan pelindung masyarakat.[]
Oleh : Fatimah Azzahrah Hanifah, Mahasiswi Universitas Indonesia/FMIPA
0 Komentar