Begal Berulah, Putusan Hukum Aparat Salah, Rakyat Kian Resah

 




Aparat kepolisian kembali mendapat kritik dari publik. Berawal dari peristiwa seorang pemuda asal Lombok Tengah bernama Amaq Sinta (34) yang menjadi korban tindak pembegalan pada Minggu (10/4). Dalam aksi tersebut, Amaq Sinta berhasil selamat setelah alami perkelahian yang mengakibatkan dirinya menewaskan dua orang pelaku pembegalan. 


Dilansir dari Merdeka.com (25/4), tidak berselang lama setelah kejadian tersebut, Polsek Praya Timur menerima laporan dari warga. Setelah melakukan penyelidikan penyidik Polres Lombok Tengah menyatakan Amiq Sinta sebagai tersangka kasus pembunuhan. 


Wakapolres Lombok Tengah, Kompol I Ketut Tamiana dalam konferensi pers pada Selasa (12/4) mengatakan bahwa korban begal dikenakan pasal 338 KUHP, menghilangkan nyawa seseorang melanggar hukum maupun pasal 351 KUHP ayat (3) melakukan penganiayaan mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.


Keputusan Polres Lombok Tengah tersebut lantas mendapat reaksi penolakan dari pihak warga. Mereka berbondong-bondong mendatangi mapolres dan mendesak agar Amaq Sinta dibebaskan. Mereka mengatakan bahwa keputusan Polres tersebut jangan sampai menjadi alibi yang bisa membuat rakyat takut untuk melawan tindak kejahatan. 


Atas peristiwa di atas, banyak masyarakat yang menganggap aparat kepolisian tidak profesional dalam menjalankan tugasnya dan hal itu menggambarkan ketidakmampuan polisi dalam menangani kasus. Dikutip dari BBC.com (18/4), Ahli Kriminologi dan Kepolisian, Adrianus Meliala turut mempertanyakan langkah polisi yang menetapkan Amaq Santi sebagai tersangka, tapi kemudian menghentikan kasusnya. Dia menduga bahwa keputusan tersebut diambil oleh polisi akibat dari adanya tekanan dari media dan perintah dari atasan.


Tidak hanya pihak warga, viralnya berita ini kemudian memicu respon keras dari publik yang menilai polisi melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan. Imbas dari desakan tersebut, malam harinya penahanan Amaq Sinta ditangguhkan oleh penyidik dan dibebaskan setelah ada surat permintaan penangguhan dari keluarga dan mengetahui pemerintah desa. 


Setelah dilakukan pembebasan, kasus tersebut lantas diambil alih oleh Polda Nusa Tenggara Barat (NTB). Kapolda Irjen Djoko Purwanto menjelaskan penyidik polda akan menyelidiki unsur pembelaan diri karena terpaksa yang dilakukan oleh Amaq Santi dan hakim dipersidanganlah yang akan memutuskan (Merdeka.com, 25/4/2022).


Polda NTB lantas menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) dan pada Sabtu (16/4) Kapolda NTB Irjen Djoko Poerwanto mengumumkan secara resmi penghentian proses hukum sehingga status tersangka atas Amaq Santi pun gugur. SP3 tersebut diterbitkan berdasarkan peraturan Kapolri No.6 Tahun 2019 Pasal 30 tentang penyelidikan tindak pidana bahwa penghentian penyidikan dapat dilakukan demi kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Aksi Amaq Sanda menewaskan dua pelaku begal adalah sebagai upayanya untuk membela diri sebagaimana Pasal 49 Ayat (1) KUHP soal pembelaan terpaksa.


Bukan kali pertama, aparat kepolisian dan penegak hukum mengambil putusan hukum yang keliru atas tindakan penyelidikan yang dilakukan. Tahun 2021 misalnya, heboh kasus seorang istri bernama Valencya di Karawang Jawa Barat dituntut 1 tahun penjara karena memarahi suaminya yang kerap pulang dalam keadaan mabuk dan menelantarkan anak dan istrinya. Valencya menyampaikan keberatannya atas tuntutan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebab dirinya mengaku putusan hukum tersebut mendiskriminasi dirinya. Dirinya merasa ketidakadilan menimpa dirinya sebab suaminya yang melakukan kesalahan tapi dirinya yang dinyatakan bersalah dan dituntun hukuman penjara satu tahun (Kompas.com, 14/10/2021).


Terjadi pula pada akhir tahun 2021, sebagaimana dikabarkan Republika.co.id (23/2) seorang bendahara Keuangan di Desa Citemu, Cireon, Jawa Barat bernama Nurhayati ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resor (Polres) Cirebon setelah dirinya melaporkan dugaan tindak pidana korupsi Dana Desa tahun anggaran 2018-2020 yang dilakukan oleh Kepala Desa Citemu. Hal tersebut menurut Kurnia Ramadhan, Peneliti ICW, akan menjadi preseden buruk bagi peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi.


Kasus yang sama pun terjadi di tahun 2020, seorang mahasiswa di Universitas Negeri Semarang menerima hukuman skorsing selama 6 bulan setelah melaporkan rektor kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kesalahan dalam pemberian putusan hukum tersebut akhirnya berpotensi menciptakan ketakutan masyarakat untuk aktif terlibat dalam mencegah berbagai tindak kejahatan yang terjadi sekaligus seolah menjadi legitimasi bagi pada pelaku tindak kejahatan untuk tetap aman melakukan kejahatannya.


Di tahun 2018, terjadi pula kasus di mana dua remaja bernama Ahmad Rafiki dan Mohamad Irfan Bahri ditodong dengan senjata tajam di Jembatan Layang Summarecon, Bekasi. Keduanya melakukan perlawanan yang mengakibatkan satu begal tewas dalam perjalanan ke rumah sakit. Dan polisi pun awalnya menetapkan keduanya sebagai tersangka sebelum akhirnya diberikan penghargaan oleh polisi (Populis.id, 16/4/2022).


Sebagai negara hukum, Indonesia seharusnya mampu menyelesaikan berbagai kasus tindak kriminal dengan perangkat Undang-undang yang dimilikinya. Namun nyatanya, setiap kali satu kasus kriminal menyeruak kepermukaan akan disusul dengan kasus-kasus yang serupa lainnya. Seolah tidak ada ujungnya, pelaku kejahatan begal sampai hari ini masih terus berkeliaran dan meresahkan masyarakat.  


Namun realitasnya, KUHAP dan KUHP sebagai rujukan hukum masih memiliki kelemahan dalam menyelesaikan berbagai tindak pidana yang mendera bangsa ini. Hal tersebut juga dinyatakan oleh seorang Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Gita Putri Damayana sebagaimana dikutip dari laman pshk.or.id. Ia berpendapat bahwa KUHAP dan KUHP perlu untuk direvisi karena ternyata pada prakteknya sejak KUHAP diundangkan pada tahun 1981, pasal-pasalnya tidak mampu melindungi hak warga secara maksimal. 


Contohnya pasal 18 ayat 1 tentang penangkapan menyebutkan bahwa tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan pada keluarga tersangka segera setelah penangkapan. Dalam prakteknya, kata “segera” didefinisikan sesuai kondisi di lapangan saja; tidak ada batas waktu maksimal. Sehingga semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh penyidik semakin lama pula seseorang yang berstatus tersangka akan ditahan. 


Padahal, seseorang yang berstatus tersangka bukan berarti ia terbukti bersalah. Sehingga ada kemungkinan orang yang tidak bersalah atau nilai kesalahannya nyaris tak berarti harus melewati semua proses penyelidikan yang cukup panjang tersebut. Terlebih dengan banyaknya kasus salah tangkap yang dilakukan oleh polisi dalam banyaka kasus. Kelemahan hukum ini akan memberi dampak psikologi dan sosial bagi korban salah tangkap begitu juga keluarganya.


Mas Hushendar, M.H selaku Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur menuliskan pendapatnya tentang tuntutan kerugian dalam perkara praperadilan pada laman badilum.mahkamahagung.go.id (29/6/2020).


Ia mengutip pendapat Yahya Harahap terkait Pasal 191 ayat (1) KUHP yakni, sekiranya seorang terdakwa dituntut dan diadili dalam pemeriksaan sidang pengadilan, kemudian ternyata apa yang didakwakan tidak dapat dibuktikan berdasarkan alat bukti yang sah, sehingga apa yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, dan terdakwa dibebaskan dari tuntutan pidana. Berarti terdakwa telah dituntut dan diadili tanpa dasar alasan hukum. Putusan pembebasan tersebut menjadi dasar bagi terdakwa untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian atas alasan telah dituntut dan diadili tanpa berdasarkan undang-undang. 


Masih menurut Mas Hushendar, menurutnya KUHP yang diterapkan di negeri ini memuat pasal-pasal kurang jelas juga kurang terperinci sehingga masih dibutuhkan petunjuk dan penjelasan bahkan tidak jarang menimbulkan perbedaan penafsiran dari kalangan ahli hukum.


Sebagai sebuah perangkat hukum hasil dari buah pemikiran manusia yang lemah dan terbatas, sangat wajar jika undang-undang yang dihasilkan lemah, serba kurang, kemungkinan terjadi kesalahan bahkan bisa memicu sengketa. Wajar jika akhirnya aparat penegak hukum hingga hakim kerap melakukan kesalahan dalam mengamalkan isi undang-undang yang dijadikan sebagai pedoman. Mirisnya lagi, yang akhirnya selalu menjadi korban dari ketidakadilan hukum adalah rakyat kecil.


Tidak hanya lemahnya pasal-pasal dalam undang-undang yang tak ampuh menyudahi berbagai tindak kriminal yang ada, sistem ekonomi yang berkiblat pada ekonomi kapitalisme barat juga menjadi salah satu pemicu maraknya aksi kriminal termasuk begal. Praktek ekonomi dalam kapitalisme yang berpihak hanya pada kaum kapital (pemilik modal) menjadikan kekayaan bertumpu hanya pada segelintir orang. Wajar jika akhirnya ketimpangan sosial terjadi, yang kaya semakin kaya sedang yang miskin semakin miskin. 


Hidup di negara yang berjalan sesuai dengan kepentingan kapital sangat berat bagi rakyat kecil. Kian hari kehidupan semakin sulit terlebih setelah pemerintah menaikkan harga sejumlah barang komoditi. Rakyat pun kian sengsara dan angka kemiskinan meningkat. Kondisi ini akan melahirkan potensi munculnya tindakan-tindakan kriminal sebagai salah satu jalan untuk mendapatkan uang dengan cara cepat dan mudah. 


Demikianlah wajah asli dari ideologi kapitalisme yang selalu gagal dalam menyelesaikan persoalan dalam aspek apapun. Berbeda dengan ideologi Islam yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt tak hanya mempersiapkan sanksi yang tegas bagi para pelaku begal yang jika diterapkan akan memberi efek jera bagi pelakunya sekaligus dapat menjadi pelajaran bagi manusia agar tidak melakukan kejahatan tersebut sebab hukumannya sangat berat. 


Abdurrahman Al-Maliki dalam bukunya berjudul Sistem Sanksi Dalam Islam menjelaskan bahwa hukuman bagi pelaku begal ditetapkan berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Maidah: 33 yang artinya:

“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah da Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh dan disalib, dan dipotong tangan dan kakinya secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.”


Tak hanya tegas dalam memberikan sanksi atas pelaku begal, Allah Swt. juga telah menurunkan syariat-Nya yang agung untuk mengatur aktifitas ekonomi yang dilakukan oleh sebuah negara yakni khilafah. Allah telah mewajibkan agar seorang khalifah sebagai raa’in atau pemimpin rakyat agar memperhatikan kebutuhan-kebutuhan rakyatnya baik sandang, pangan dan papan. Seorang Khalifah akan berdosa di sisi Allah jika berdiam diri membiarkan rakyatnya kelaparan walau hanya satu orang. Sistem politik ekonomi Islam yang diterapkan oleh khilafah akan mencegah penimbunan harta atas sekelompok kecil rakyat dan memastikan kekayaan terdistribusi secara merata agar seluruh rakyat khilafah merasakan kesejahteraan. 


Jika kedua aspek di atas yakni ketegasan hukum dan sistem ekonomi yang stabil terwujud maka tindak kriminal akan terminimalisir bahkan tidak ada, terlebih ketika seluruh rakyat beriman dan bertakwa kepada Allah. Hal tersebut akan terwujud hanya dalam sistem Khilafah, Wallahu A’lam.


Oleh Suriani, S.Pd.I (Pemerihati Kebijakan Publik)

Posting Komentar

0 Komentar