Besaran anggaran untuk pelaksanaan Pemilu 2024 sangat fantastis. Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah melakukan pemangkasan sejumlah mata anggaran, tetap saja nominal yang akhirnya ditawarkan untuk disetujui oleh DPR masih terbilang masih besar. Anggaran yang diajukan oleh KPU awalnya sebesar Rp86 triliun. Namun, ajuan tersebut membuat pemerintah dan DPR keberatan hingga akhirnya diturunkan sebesar Rp76 triliun.
Angka Rp76 triliun tersebut lantas menjadi nominal yang disepakati oleh Komisi II DPR, pemerintah dan KPU dalam rapat konsinyering pada Jum’at (13/5) sebagai anggaran untuk membiayai penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024 (CNBCIndonesia.com, 14/5/2022).
Dikutip dari laman Bisnis.com (13/4), Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro, Rami Ramdana dan Drewya Cinantyan menjelaskan bahwa anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp86 triliun. Bahkan, dari banyak sumber disebutkan akan mencapai kisaran angka Rp110 triliun adalah anggaran yang jauh lebih tinggi dari pelaksaan pemilu-pemilu sebelumnya.
Keduanya menyebutkan bahwa anggaran pemilu 2004 tercatat senilai Rp4,5 triliun, tahun 2009 Rp8,5 triliun, tahun 2014 Rp15,6 triliun sedangkan tahun 2019 sebesar Rp25,6 triliun. Total anggaran pelaksaan pemilu mulai dari tahun 2004 sampai 2019 sebesar Rp54,2 triliun. Artinya, total anggaran pemilu 2024 melewati total biaya empat masa pemilu yang terjadi selama era reformasi.
Berkenaan dengan angka fantastis itu, Anggota KPU, Yulianto Sudrajat sebagaimana dilansir Republika.co.id, (16/5) mengatakan dari jumlah yang sudah di tetapkan, sebanyak Rp8 triliun akan dicairkan di tahun 2022 ini. Anggaran itu akan digunakan untuk melaksanakan tahapan pemilu 2024 yang berlangsung di 2022. Tahapan tersebut antara lain pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu 2024 hingga pembentukan badan ad hoc. Selain itu, Yulianto juga menjelaskan bahwa anggaran pemilu 2024 juga akan digunakan untuk perbaikan infrastruktur gedung seperti kantor sekretariat KPU daerah dan gedung logistik.
Pada laman resminya di situs perludem.org (17/5), Perkumpulan untuk Pemilu dab Demokrasi (Perludem) mengatakan bahwa KPU perlu untuk menjelaskan kepada publik terkait kebutuhan pos-pos mana yang memakan banyak biaya sehingga membuat kebutuhan anggaran dalam pelaksaan pemilu 2024 sangat besar.
Situs Fh.uii.ac.di, (20/5/2019) merilis sebuah makalah berjudul Catatan Penyelenggaraan Pemilu Serentak yang ditulis oleh Idul Rishan. Di sana Idul menjelaskan bahwa hampir di setiap fase pemilu pasca transisi politik, akan lahir undang-undang serta tawaran konsep yang berbeda. Setelah Indonesia melaksanakan pemilu secara serentak, tentu ada banyak catatan dan kelemahan yang perlu dijadikan sebagai bahan evaluasi.
Salah satu yang perlu untuk disoroti adalah faktor daya tahan fisik sumber daya manusia dalam mengawal logistik pemilu. Sebab kuantitas pekerjaan yang meningkat, banyak anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) serta anggota kepolisian yang meninggal dan sakit pada penyenggaraan pemilu 2019 lalu. Tercatat jumlah anggota KPPS yang meninggal mencapai 440 orang sedangkan yang sakit sebanyak 3.788 orang.
Kejadian tersebut tentu saja menjadi catatan gelap bagi bangsa ini dalam perhelatan akbar demokrasinya. Bahkan hingga detik ini, tragedi tersebut masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Pemerintah selaku penyelenggara pemilu dengan segala instrumen kekuasaannya berkewajiban untuk menjamin dan memprioritaskan keselamatan rakyat dalam setiap penyelenggaraan kebijakannya.
Tidak hanya bermasalah pada tataran pelaksaan pemilunya saja, Idul juga menjelaskan bahwa para politikus yang beradu tanding dalam pemilu tersebut sibuk meraih kemenangan semata. Kubu yang telah unggul akan sibuk untuk mempertahankan kemenangannya dengan membangun diksi bahwa pemilu telah berjalan dengan jujur dan adil. Sementara kubu lawan pilihan diksinya adalah menyiapkan strategi untuk membuktikan kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Padahal, semua elit politik yang bertarung dalam pemilu mengklaim diri mereka siap mengikuti prosesi pemilu secara demokratis. Namun, faktanya kata demokratis hanyalah ilusi. Sebab yang utama bagi mereka adalah kemenangan untuk bisa sampai ke puncak kekuasaan.
Demikianlah wajah sistem demokrasi yang di agungkan di negeri ini. Di satu sisi melalui momen pemilu rakyat berharap akan terlahir wajah pemimpin baru yang akan membawa perubahan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya, namun di sisi yang lain para calon-calon pemimpin rakyat lebih tertarik membidik kursi kekuasaan. Wajar jika akhirnya semua pemimpin lulusan pemilu yang diselenggarakan dalam sistem demokrasi mendadak amnesia ketika sudah mendapatkan kekuasaan yang diinginkan.
Mereka melupakan janji-janji manis saat kampanye dan yang lebih ironi lagi mereka mengabaikan kepentingan rakyat, bahkan membuat kebijakan demi kebijakan yang justru memperbesar jurang kesengsaraan rakyat.
Dalam ejournal.undip.ac.id yang dirilis tahun 2020 disebutkan bahwa salah satu kecacatan yang selalu terjadi dalam pentas pemilu adalah terjadinya money politic. Di mana kecurangan ini dilakukan oleh hampir semua peserta pemilu dalam aktifitas kampanye yang dilakukan untuk meraih dukungan dan suara dari rakyat.
Menurut Nisa Nabila sebagai salah satu penulis dalam jurnal yang berjudul Pengaruh Money Politic Dalam Pemilihan Anggota Legislatif Terhadap Keberlangsungan Demokrasi di Indonesia tersebut, dampak dari praktik money politic bagi Indonesia di antaranya; politik uang menjadi jebakan bagi rakyat, di mana rakyat memilih dengan pertimbangan uang pemberian dari calon peserta pemilu saja, bukan karena menginginkan perubahan bangsa.
Selain itu, politik uang akan mematikan kaderisasi politik, yang berarti bahwa setiap peserta pemilu merasa tak punya tanggungjawab atas rakyat yang memilihnya karena baginya keberhasilannya dalam meraih kursi kekuasaan adalah hasil dari jual beli suara. Sehingga, mereka akan cenderung sibuk memepertahankan kekuasaannya dibanding memperjuangkan kepentingan rakyat.
Dampak yang tidak kalah fatal adalah money politic akan berujung pada tindak korupsi. Mahalnya biaya politik dalam sistem demokrasi mengharuskan para kandidat yang akan bertarung dalam pemilu mengeluarkan budget yang besar. Sehingga, salah satu prioritas mereka saat berhasil menduduki kursi jabatan dalam pemerintahan adalah mengembalikan kerugian saat kampanye. Salah satunya adalah membiayai jual beli suara antar dirinya dengan rakyat.
Wajarlah bila akhirnya pendiri Nextlead Indonesia, Hariman Siregar pada kegiatan diskusi “Problem Partai Dalam Penguatan Demokrasi” pada Jumat (13/8/2010) sebagaimana diwartakan RepublikMerdeka.id, (13/8/2010) mengatakan, salah satu kebobrokan demokrasi Indonesia adalah munculnya motivasi uang dalam proses demokratisasi di Indonesia.
Dan karakteristik sistem demokrasi yang sarat dengan manipulasi dan money game tidak lepas dari ideologi yang melahirkan demokrasi tersebut, yaitu ideologi kapitalisme di mana menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya berjudul Nidzamul Islam menyebutkan bahwa ideologi kapitalisme menjadikan keuntungan materi atau uang adalah tujuan utamanya. Karenanya wajar jika dalam kekuasaan ideologi kapitalisme, pemegang kekuasaan tertinggi adalah pemilik modal (kaum kapital).
Bahkan, mereka mampu mengintervensi para pemimpin-pemimpin negara agar melahirkan peraturan dan kebijakan yang memuluskan kepentingan kaum kapital untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Olehnya itu, setiap momen pergantian kekuasaan di negeri ini melalui pemilu tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi bangsa dan rakyat selama sistem yang digunakan oleh para penguasa dalam memimpin adalah sistem yang bobrok yakni demokrasi.
Sebanyak apapun anggaran yang dikucurkan untuk membiayai prosesi pemilu dengan dalih untuk meningkatkan kualitas pemilu guna untuk mencapai hasil pemilu yang adil dan demokratis tetap saja tidak akan berdampak pada terwujudnya kesejahteraan rakyat. Sebab sejatinya, yang dibutuhkan rakyat bukanlah pentas pemilu yang mewah, meriah dan apik, namun perubahan sistem yang membawa perubahan dan kebahagiaan hakiki.
Yaitu mengganti sistem demokrasi yang rusak dengan sistem yang sesuai dengan tuntunan Allah Swt. dan Rasul-Nya yakni Khilafah. Sebuah sistem yang lahir dari akidah Islam dan berjalan berdasarkan hukum-hukum Allah saja. Sehingga pemimpin yang akan terlahir dari sistem Khilafah ini adalah pemimpin yang bertakwa kepada Allah Swt. dan akan melayani rakyat dengan dasar kecintaan kepada mereka, bukan dengan dasar manfaat dan keuntungan materi, Wallahu a’lam bishawab.
Penulis: Suriani, S.Pd.I (Pemerhati Kebijakan Publik)
0 Komentar