Deportasi UAS; Wajah Asli Demokrasi Perlakukan Islam



Viral berita Ustadz Abdul Somad (UAS) dideportasi dari Singapura. Mengutip dari detik.com, 18/05/22 UAS beserta keluarga dan beberapa pendamping tiba di Terminal Feri Tanah Merah Singapura pada 16 Mei 2022. Namun kemudian, UAS mendapat not to land notice atau peringatan tidak boleh mendarat yang dikeluarkan oleh Immigration & Checkpoint Authority (ICA) Singapura karena tidak memenuhi kriteria. Diberitakan UAS dinilai sebagai penceramah ekstrimis dan mengajarkan segregasi yang tidak dapat diterima masyarakat multi-ras dan multi-agama Singapura. Konten yang disinggung adalah ceramah UAS tentang bom bunuh diri dalam konteks perang Israel-Palestina, menyampaikan salib sebagai tempat tinggal jin dan menyebut non-muslim sebagai kafir.

Mengapa ada yang mempermasalahkan konten ceramah UAS tentang bom bunuh diri dalam perang Palestina, namun diam dengan teror dan pembantaian yang dilakukan oleh tentara-tentara Israel yang tidak memandang korbannya. Padahal yang dilakukan muslim Palestina jelas mempertahankan diri dari serangan penjajah. Mengapa juga ceramah tentang patung dan istilah kafir menjadi polemik, padahal semua ada landasan dalilnya di dalam Islam.

Luthfi Affandi, S.H., M.M. dari Indonesia Justice Monitor menyampaikan pendapatnya dalam sebuah diskusi online di channel youtube Khilafah Channel. Menurutnya kebijakan deportasi ini terlalu berlebihan, karena apa yang disampaikan UAS melalui ceramah-ceramahnya itu adalah menyangkut keyakinan atau paham agama seseorang yang punya landasan argumentasi yang jelas. Dan tidak terbukti bahwa UAS mengajak kepada kekerasan seperti yang dituduhkan.

Masih menurut Lutfhi, ini akan sangat berbahaya jika dibiarkan, karena bisa jadi ketika ada yang menyampaikan seperti UAS, meskipun sesuai dengan Islam, akan dipersalahkan atau dipermasalahkan. “Dan sebagai bangsa yang besar, harusnya Indonesia ini merasa tertampar karena menyangkut harga diri bangsa, apalagi ini dilakukan oleh negara kecil Singapura yang jelas afiliasinya adalah kepada negara kafir barat”, jelas Luthfi.

Anehnya, penguasa negeri ini, ketika mengetahui salah seorang warga negaranya menghadapi kondisi tidak menyenangkan di negeri orang, bukan malah dibela, namun justru diam bahkan mendukung tindakan tersebut. Sepertinya negeri ini benar-benar telah latah dengan opini yang memang terus digulirkan barat, karena lagi-lagi narasi perang melawan radikalisme, terorisme yang diusung dan dijadikan dalih. Sebagaimana disampaikan Brigjen Ahmad Nurwakhid, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dimana menurutnya kebijakan Singapura sebagai bentuk prediksi atau antisipasi dini terhadap potensi ancaman kepada negaranya.

Katanya hari ini kita tinggal di negeri pengusung demokrasi, dimana setiap individu punya hak kebebasan yang dilindungi oleh negara, termasuk dalam beragama. Semangat toleransi begitu nyaring digaungkan. Bahkan umat muslim cenderung menjadi tertuduh sebagai umat yang intoleran, hingga dituntut menghargai agama lain dengan cara mengakui bahkan terlibat dalam ritual agama lain, yang justru dilarang dalam Islam. Tapi ketika seorang UAS dengan kapasitas keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan, menyampaikan ajaran Islam yang notabene disampaikan kepada jamaahnya yang muslim, justru dianggap sebagai ajakan ekstrimisne, intoleran bahkan terorisme. Siapa yang sebenarnya intoleran?

Katanya demokrasi menjamin kebebasan individu. Siapapun bebas melakukan apapun selama tidak melanggar hak kebebasan individu lain. Tapi mengapa seorang UAS yang sekedar ingin berlibur, pun telah memenuhi persyaratan kunjungan, justru harus menerima keputusan deportasi. Sementara tidak sulit kita melacak jejak digital sederetan nama koruptor kelas kakap yang merugikan negara, bebas berlenggang keluar masuk negeri singa ini.

Beginilah wajah asli demokrasi. Kepada para koruptor yang jelas menggarong uang negara alias uang rakyat, hingga pada para pelaku zina atau eL9e6eTe sekalipun, maka demokrasi akan menerapkan prinsip kebebasan dan hak individu dengan bangganya. Bukan demi keadilan ataupun kebenaran, namun semata karena ada pihak yang punya kepentingan dan atau mendapatkan manfaat.

Namun bandingkan bagaimana demokrasi memperlakukan Islam dan simbol-simbolnya. Ketika seorang UAS, salah seorang anak bangsa, ulama panutan umat, dilecehkan di negeri orang, apa yang dilakukan penguasa penganut demokrasi? Tidak hanya UAS dan tidak hanya di Indoneisa, adakah demokrasi melakukan pembelaan ketika Islam dan simbol-simbolnya selama ini begitu mudah dilecehkan?

Kasus deportasi UAS hanyalah satu dari sekian banyak kasus pelecehan terhadap Islam dan simbol-simbolnya, dan ini masih akan terus berulang selama umat masih terkungkung di dalam sistem yang sama. Demokrasi mustahil berpihak pada Islam, pun Islam mustahil berjaya melalui jalan demokrasi. Demokrasi menghalalkan apa yang diharamkan Islam, dan sebaliknya. Sementara di dalam Islam semua aturannya jelas dan tegas tanpa keraguan. Dalam demokrasi haq dan bathil di campuradukkan karena memang standarnya adalah kebebasan, asasnya adalah manfaat dan atau kepentingan. Di dalam Islam standarnya adalah halal-haram, tujuan utamanya adalah ridho Allah. Maka mana yang lebih baik?


Penulis: Anita Rachman

Posting Komentar

0 Komentar