Persoalan sampah merupakan masalah pelik bagi sebuah kota. Seperti yang terjadi pada pemerintahan kota Tangerang Selatan, dalam sehari bisa menghasilkan sampah rumah tangga sebanyak 1000 ton.
Cipeucang, yang selama ini menjadi Tempat Pembuangan Akhir di kota Tangsel, pada 2020 lalu longsor dan menutupi jalur sungai Cisadane karena kelebihan muatan. Oleh karena itu pemerintah kota Tangsel menggelontorkan dana sebanyak 100 Miliyar rupiah untuk mengalihkan sampah ke kota Serang dan Bogor (Republika.co.id 25/3/2022).
Sedangkan di Jakarta pada Desember 2021 lalu, volume sampah yang berhasil diangkut dari sungai setara dengan 2,5 kali bangunan monas. Menurut wakil Gubernur DKI, Ahmad Riza Patria hal itulah yang menjadi biang keladi timbulnya masalah banjir Jakarta.
Indonesia sendiri menghasilkan 67,8 juta ton sampah per tahunnya, yang artinya satu penduduk menghasilkan 0,68 kg sampah per hari. Dari jumlah tersebut 3,2 juta ton nya merupakan sampah plastik dan hanya dibuang ke laut. Selain itu penyumbang terbesar menumpuknya sampah berasal dari rumah tangga kemudian pasar tradisional.
Dari jumlah sampah plastik yang ada, ternyata Indonesia menjadi penyumbang terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Sedangkan sampah rumah tangga menempati urutan keempat terbesar di dunia.
Padahal seperti diketahui efek dari timbunan sampah terhadap lingkungan tidak dipungkiri banyak sekali. Seperti pencemaran sungai, laut, menghambat proses air tanah, pencemaran tanah serta air tanah menjadi tidak sehat.
Selain itu timbunan sampah tersebut juga menimbulkan bencana hidrometerologi, bau busuk dari sampah organik yang tidak dikelola akan menghasilkan gas metana dan hal ini dapat menghasilkan terjadinya peningkatan pemanasan global (Kompas.com 29/10/2021).
Seperti yang dilansir Katadata.co.id bahwa tahun lalu komposisi sampah Indonesia yang paling tinggi adalah sampah yang berasal dari sisa makanan yang mencapai 28,3 persen. Sedangkan sampah plastik di urutan nomor dua, yaitu sebanyak 15,73 persen.
Oleh karenanya persoalan sampah ini harus ada jalan keluar. Pengelolaannya bukan hanya dari pengaturan bagaimana sampah akan diapakan, namun lebih dari itu. Pola hidup manusia yang dapat menghasilkan sampah pun harus ada pengaturannya.
Budaya Rakus Manusia
Sampai saat ini banyak pengelolaan sampah yang ditawarkan, mulai dari daur ulang hingga rencana pembuatan Pembangkit Listrik Tenaga sampah (PLTSa) seperti yang dilakukan oleh pemkot Tangsel. Namun ada hal utama yang harus ditata ulang agar permasalahan sampah tidak berlarut-larut, itulah perspektif manusia.
Didasari dari kenyataan bahwa sampah di Indonesia terbanyak didominasi oleh sampah sisa makanan, padahal di saat yang sama masih banyak masyarakat yang mengais sampah demi menyambung hidup. Oleh karenanya pasti ada yang salah dari kenyataan ini.
Karena bagaimana mungkin dua kenyataan yang bertolak belakang hadir di depan mata. Bahwa yang berlebihan makanan tidak hadir untuk sekedar memikirkan dan berbagi kepada yang kekurangan. Pemerataan ini bukan hanya urusan individu, namun negara harus mengambil alih perkara ini.
Pengaturan Konsumsi Pangan
Sebelum berbicara mengenai sampah sisa makanan, Islam telah mengatur sacara menyeluruh tentang konsumsi makanan hingga pemerataannya.
Pertama, makan hanya secukupnya. Tubuh hanya membutuhkan makanan sepertiga saja karena yang lain adalah untuk minum dan bernapas.
Kedua, dalam mengambil makanan, dianjurkan mengambil lauk yang terdekat. Ketiga, menyuapkan makanan dengan tiga jari. Keempat yang terpenting adalah makan bukan untuk kenyang, tapi hanya sekedar mengisi lambung untuk beraktifitas.
Selain itu, Islam juga mengatur tentang pemerataan pangan. Dengan sedekah, orang-orang yang berlebihan melalui kesadaran iman akan mengulurkan tangannya kepada yang kekurangan.
Selain pemerataan pangan secara individu, negara sebagai pengayom masyarakat wajib mendistribusikan pangan sampai ke tiap kepala. Bukan hanya dilempar ke pasar saja. Sehingga seluruh rakyat negeri mendapatkan kebutuhan sektor pangan.
Dengan begitu, sektor pangan sebagai kebutuhan pokok akan merata ke seluruh rakyat. Selain itu tiap individu tidak lagi dengan mudahnya membuang makanan ataupun mengkonsumsi makanan secara berlebihan.
Dalam lingkup kehidupan kapitalis masyarakat dengan mudahnya mengkonsumsi makanan sebanyak yang ia mau. Padahal belum tentu semua makanan tersebut ia butuhkan, sehingga dibuang percuma menjadi sampah.
Oleh karenanya untuk merubah pola konsumtif tersebut butuh aturan syariat. Pun saat pendistribusian bahan pangan ke tiap individu oleh negara. Karena syariat diturunkan untuk mengatur segala masalah manusia.
Wallahu'alam.
Penulis: Ruruh Hapsari
0 Komentar