Sejarah Islam di Singapura tak jauh berbeda dengan sejarah Nusantara. Selain berdekatan, kesultanan yang menguasai kedua daerah ini juga saling berkelindan.
Ratusan tahun lalu Singapura merupakan bagian dari kesultanan Malaka hingga pada 1511 jatuh ke tangan Portugis. Kemudian pada tahun 1528, kesultanan Malaka diganti dengan kesultanan Johor. Sehingga otomatis Singapura merupakan bagian darinya. Kesultanan Johor ini kekuasaannya hingga mencapai Riau.
Pada tahun 1613, Kesultanan Johor menjadi bagian dari kesultanan Aceh saat Sultan Iskandar muda berkuasa. Saat itu, Aceh telah berhubungan erat dengan Khilafah Usmaniyah.
Namun gabungan kesultanan itu bertahun kemudian melemah dan harus terpecah. Kemudian setelah muncul Traktat London pada 1824, Inggris dan Belanda membagi kekuasaan mereka terhadap kaum Muslimin.
Akibatnya Nusantara dikuasai oleh Belanda dan Malaysia dikuasai oleh Inggris. Dua tahun kemudian, Inggris telah terang-terangan menjajah Malaysia. Kemudian membentuk Singapura hari ini yang kaum muslimin sebagai minoritas.
Nama Singapura yang sebelumnya adalah Tumasik, merupakan pemberian dari Rafless pada sekitar tahun 1860 an. Saat itu ia menjabat sebagai Gubernur dari Inggris yang awalnya berkedudukan di Bengkulu.
Menariknya, saat Singapura sedang dikuasai Inggris di tahun 1864, kekhilafahan Usmani mendirikan konsulatnya di negeri singa putih ini. Sultan Abdulhamid II mengamanahkan pada Sayyid Abdullah Al Junayd sebagai konsul jendral pertamanya di Singapura.
Namun setelah setahun kematiannya, Inggris ditekan oleh kolonial Belanda untuk menutup konsulat Usmaniyah tersebut. Alasannya bahwa Singapura merupakan tempat transit para jamaah haji dari Hindia Belanda.
Walaupun Inggris pada akhirnya mengiyakan keinginan Belanda, namun pada dasarnya Inggris tidak terlalu mengkhawatirkan keberadaan konsulat Utsmaniyah berada di wilayah Singapura. Sehingga pada 1901 Inggris mengizinkan pembukaan konsulat Usmaniyah tersebut beraktifitas kembali.
Bersamaan dengan pembukaan kembali konsulat Usmaniyah di Singapura, Sultan Abdulhamid II menempatkan Haci Ahmet Attaullah Efendi sebagai konsulat jenderalnya. Ia merupakan ulama kharismatik yang menguasai banyak bahasa termasuk Melayu. Dengan kemampuannya itu tentunya dapat mempengaruhi kedekatannya dengan kaum muslimin setempat.
Pada tahun 1890, kapal perang Khilafah Usmaniyah yang bernama Ertugrul bersandar di pelabuhan Singapura dengan tujuan Jepang. Sebelumnya Jepang telah mengirimkan utusannya ke Istanbul untuk menjalin persahabatan dengan kaum muslimin di bawah pimpinan Kholifah.
Walaupun hanya beberapa saat namun kedatangan Ertugrul mendapat sambutan hangat dari ulama dan kaum muslimin Singapura, Hindia Belanda maupun negeri sekelilingnya. Kapten kapalnya, Osman Pasha mendapatkan surat dari para tokoh dan haji yang diwakili oleh Qodhi kaum muslimin Singapura.
Dalam suratnya yang ditujukan pada Kholifah Abdulhamid II, sang Qodhi mengelu-elukan beliau sebagai seseorang yang telah mengabadikan hidupnya untuk kebaikan dan kehormatan kaum muslimin. Melalui pedang dan pena untuk menegakkan kebenaran, agama dan menguatkan syariat Islam.
Tidak sampai di situ, sang Qodhi juga memanjatkan doa-doa yang menggentarkan. Salah satunya adalah, "Ya Allah, kuatkanlah ‘ranjang’ (singgasana) Kerajaan dan Khilafah dengan kehadiran Sultan Abdülhamid.”
Kemudian doa yang lainnya,"Ya Allah, tolonglah pasukan-pasukan Muslimin dan tentara-tentara para ahli tauhid. Dan hancurkanlah, wahai Allah, (kekuatan) orang-orang kafir, rafidh, dan musyrikin.“
Selain itu sang Qodhi juga menceritakan tentang kondisi masyarakat Jawi (Indonesia) yang berada dibawah kekuasaan kolonial Belanda. Walaupun saat itu Singapura berada di bawah kekuasaan Inggris, namun Qodhi Singapura tidak melupakan kondisi masyarakat negeri sekitarnya.
Tertulis dalam suratnya, "Sesungguhnya kami penduduk Jawa, yang semuanya itu telah terzalimi oleh kaum Nasrani Belanda, di mana mereka telah memerintah kami dengan begitu zalim. Di antara kezalimannya kepada kami ialah apabila kami berkumpul untuk mengkaji ilmu, bershalawat, membaca maulid Nabi dan lain-lain yang merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya; Belanda akan mendatangi kami dan melarang-larang kami berkumpul untuk mengkaji ilmu dan sebagainya.”
“Sesungguhnya kami penduduk Jawa, yang semuanya itu telah terzalimi oleh kaum Nasrani Belanda, di mana mereka telah memerintah kami dengan begitu zalim. Di antara kezalimannya kepada kami ialah apabila kami berkumpul untuk mengkaji ilmu, bershalawat, membaca maulid Nabi dan lain-lain yang merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya; Belanda akan mendatangi kami dan melarang-larang kami berkumpul untuk mengkaji ilmu dan sebagainya.”
Namun jaman itu telah berlalu, mereka lupa atas sikap pendahulunya kepada ulama dan kaum muslimin di negeri sekitarnya. Terlihat bagaimana pemerintah Singapura mendeportasi Tuan Guru Ustaz Abdul Shomad dari negeri mereka.
Perubahan sikap tersebut jelas merupakan warisan danproses cuci otak penjajah yang ingin menjauhi kaum Muslimin dari Islamnya.
Oleh karenanya apakah kaum muslimin saat ini tidak merindukan sejarahnya. Sejarah tentang kepemimpinan global yang selalu mengayomi pada tiap keadaan.
Wallahu alam
Penulis : Ruruh Hapsari
0 Komentar