Kunci Sukses Implementasi Al-Qur’an dalam Kehidupan


Dalam membuka program Pekan Tilawatil Qur’an (PTQ) Ke-52 Tingkat Nasional di Takengon, Provinsi Aceh pada Rabu, (13/4), Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyampaikan pesan sebagai berikut: "Jika sudah memahami Al-Qur'an dengan benar dan konsisten mengamalkannya, maka tidak ada lagi praktik adu domba, memproduksi dan menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, maupun praktik tidak baik lainnya, karena hal tersebut dilarang oleh Al-Qur'an" (cnnindonesia.com, 13/4).

Memang benar, perkara-perkara di atas seperti praktik adu domba, memproduksi dan menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, dan lain sebagainya tidak akan dilakukan oleh orang yang memahami Al-Qur’an dengan benar, dan konsisten mengamalkannya. Sebagai buku panduan bagi tatanan kehidupan manusia, Al-Qur’an wajib untuk dipahami secara benar dan dijadikan sebagai tolok ukur atau standar dalam memilih perbuatan, sehingga dapat dengan konsisten diaplikasikan dalam kehidupan. 

Allah memerintahkan manusia mengambil Islam secara keseluruhan (kaffah), dengan Al-Qur’an sebagai panduan utama, dilengkapi hadits Nabi saw., ijma’ sahabat, serta qiyas sebagai bagian dari sumber hukum syara’. Sehingga manusia tidak boleh mengambil aturan hidup lain selain Islam. 

Allah Swt berfirman: 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu" (QS. Al-Baqarah:208).

Di negeri yang menerapkan ideologi kapitalisme ini, kebebasan berbuat dan berekspresi menjadikan media sosial sebagai ruang bebas tanpa batas. Terbukti, sejak Agustus 2018 hingga November 2019 saja Kementerian Kominfo telah merilis adanya kasus informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya atau hoax di media sosial sebanyak 3.091 item hoax. Hoax itu berkaitan dengan berbagai hal dalam aspek kehidupan. 

Siaran Pers No. 217/HM/KOMINFO/12/2019 menyebutkan bahwa hoaks kategori politik mendominasi di angka 973 item hoaks. Disusul 743 hoaks kategori pemerintahan, 401 hoaks kategori kesehatan, 271 hoaks kategori kejahatan, 242 hoaks kategori fitnah, 216 hoaks kategori internasional dan sisanya 307 hoaks kategori lain-lain terkait bencana alam, agama, penipuan, mitos, perdagangan dan pendidikan. 

Dewasa ini, pengguna media sosial bertambah. Pada Januari 2022, datareportal.com, membeberkan bahwa pengguna media sosial mencapai 191,4 juta jiwa atau 68,9 persen dari total populasi di Indonesia yang berjumlah 277,7 juta jiwa. Tanpa perubahan ideologis dan sistematis, otomatis penyebaran berita hoax akan semakin bertambah pada 2022, dari tahun 2018, dimana populasi di Indonesia saat itu masih mencapai 265,4 juta jiwa. 

Dalam Islam, Allah Swt mengecam pelaku hoax dan memberikan penegasan hukum berupa had bagi para pelakunya. Allah juga memerintahkan manusia untuk melakukan tabayyun (klarifikasi) terhadap suatu informasi yang didapatkannya, serta menganjurkan manusia agar selalu berkata benar. 

Allah Swt berfirman:

إِنَّمَا يَفْتَرِى ٱلْكَذِبَ ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰذِبُونَ

“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta" (QS. An-Nahl: 105).

Dengan demikian, seorang pribadi didukung oleh lingkungan dan dimotivasi untuk bersikap kritis dalam menerima atau mencari suatu informasi. Sehingga ia akan terjauhkan dari memproduksi dan menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, praktik adu domba, dan turunannya.

Namun, tidak cukup dengan berkata benar, seorang muslim, apalagi memiliki kekuasaan di tangannya, wajib pula melarang dari yang mungkar. Ia tidak boleh diam pada kemungkaran yang ada di hadapannya. Hal ini juga merupakan perintah Al-Qur’an dalam QS. Al Imran ayat 110:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa orang yang memerintahkan kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, maka Allah Swt Yang Maha Agung, Pemilik langit dan bumi memberinya gelar umat terbaik. Sungguh gelar kehormatan yang luar biasa agung.

Adapun diam dari kemungkaran seperti; pengesahan UU Cipta Kerja yang diprotes berbagai pihak, termasuk mahasiswa, buruh, hingga pelajar, karena kebijakan didalamnya pro kepentingan oligarkhi kapitalis; ditekennya Perpres Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 yang berisi perizinan pembangunan megaproyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menggunakan APBN, yang sebelumnya dijanjikan tidak akan mengganggu APBN, serta kebijakan lainnya yang melanggar hukum syara’ dan menimbulkan kezaliman bagi rakyat tidak boleh dilakukan. 

Imam Abu Ali Ad Daqqaq An Naisaburi Asy Syafi’I dan Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebut orang yang diam saat melihat kemungkaran itu dengan istilah syaithon akhros (شيطان أخرس)/setan bisu.

Sebaliknya, seorang muslim, apalagi termasuk ulama, lebih-lebih lagi jika berada di tampuk kekuasaan, maka wajib menyampaikan kebenaran Islam dengan berani, berterus terang, serta dibekali dengan ilmu yang mumpuni. Ia harus siap menyampaikan yang haq dari Allah Swt. meskipun penuh tantangan karena bertolak belakang dengan masyarakat sekitar, atau adat istiadat yang ada tanpa bermanis muka kepada pihak tertentu, apatah lagi bermuka dua. 

Legitimasi seorang muslim dalam menyampaikan kebenaran dan melarang dari kemungkaran wajib diletakkan secara mutlak kepada ideologi Islam. Sehingga tidak ada istilah ceramah pesanan, atau ulama pesanan yang konten ceramahnya didikte oleh majikannya.  

Demikianlah mengamalkan isi Al-Qur’an, dalam konteks melaksanakan apa yang diperintahkannya, dan menjauhi apa yang dilarangnya. Mari amalkan Al-Qur’an dalam seluruh segmen kehidupan, dengan menjadikannya sebagai aturan main, Wallahu a’lam bishawab.

Oleh Annisa Al Munawwarah
(Aktivis Dakwah Kampus dan Pendidik Gnerasi)

Posting Komentar

0 Komentar