L98T Hingga "Jatah Mantan", Demokrasi Gagal Melibas Penyakit Sosial yang Kian Mengganas



Patah satu, tumbuh seribu, penyakit sosial yang ada di negeri ini. Belakangan sempat hangat diperbincangkan mengenai fenomena 'jatah mantan'. Ya, istilah yang digunakan bagi mereka yang melakukan hubungan seksual dengan mantan kekasih karena 'katanya', masih saling mencintai.


Mirisnya, istilah ini digunakan bagi mereka yang menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Biasanya mereka beralasan bahwa hal itu terjadi karena mereka telah dijodohkan dengan orang lain, ataupun memiliki perbedaan keyakinan.


Lewat akun Twitter @briankhrisna yang merupakan salah seorang penulis, istilah ini marak dibincangkan kembali. Brian menuliskan jika dirinya melakukan wawancara terhadap beberapa pihak yang melakukan praktik 'jatah mantan'. Mirisnya, kebanyakan dari mereka melakukannya beberapa hari sebelum hari pernikahan.


Sebelum tragedi 'jatah mantan', Indonesia pun dihebohkan dengan sosok Ragil Mahardika yang merupakan seorang gay yang terbuka soal orientasi seksualnya. Pria yang lama tinggal di Jerman ini bahkan sudah menikah dengan pria bernama Frederik Vollert.


Ragil Mahardika dan suami beberapa waktu lalu diundang jadi bintang tamu podcast Deddy Corbuzier. Tentu saja hal ini memicu kontroversi di kalangan publik yang masih menjunjung adat ketimuran serta norma dan nilai agama. Deddy bahkan dikritik habis-habisan karena memberi panggung untuk pasangan L98T.


Maka kita harus tegas menyatakan bahwa Indonesia sedang sakit. Negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Problem sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat semakin menjadi-jadi. Penyakit sosial ini bukannya sembuh, justru kian mengganas.


Hal ini terjadi karena abainya negara yang seharusnya berperan dan bersinergi untuk memberantas penyakit sosial. Yang ada, negara dengan segala kebijakannya justru memperparah penyakit ini. Sistem atau aturan sosial yang berlaku di negeri yang menerapkan demokrasi ini malah kontraproduktif dengan cita-cita bangsa untuk memberantas segala problem sosial yang ada.


Rusaknya tatanan sosial merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme sekularisme. Dimana asas dari sistem ini adalah pemahaman yang salah tentang naluri prokreasi kaum liberal yang mengutamakan asas manfaat bahkan kesenangan sensual di atas kelangsungan umat manusia. Sehingga tak jarang siaran-siaran yang berbau sensual justru meraih rating tinggi karena lebih diminati.


Ide liberal kebebasan pribadi telah menciptakan dampak yang menghancurkan dalam masyarakat seperti unit keluarga yang rusak, penurunan jumlah pernikahan, peningkatan perceraian, peran dan tanggung jawab yang salah tempat laki-laki dan perempuan dengan dalih kesetaraan gender, peningkatan pelecehan seksual pada anak-anak dan banyak penyakit sosial lainnya.


Dengan demikian, ide Barat sesungguhnya telah merusak seluruh struktur sosial yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan, namun gagasan-gagasan yang cacat ini justru diklaim sebagai tolok ukur masyarakat beradab. Walaupun realita yang terjadi justru berlawanan, semakin ide-ide sekularisme ini menancap kuat, maka kian tak beradab. Seiring jalan dengan mengganasnya kerusakan tatanan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.


Berbagai solusi untuk memperbaiki kerusakan sosial yang ditawarkan oleh sistem ini pun tak jua berkorelasi menghentikan kasus yang terjadi. Alih-alih menyelesaikan masalah, timbul masalah baru dari setiap penyelesaian yang diberikan. Sehingga solusi tersebut tak solutif bahkan menjadi problem baru yang akhirnya terus saja bertambah banyak layaknya bola salju yang bergulir kian membesar.


Ditambah lagi penanganan hukum yang cacat dalam demokrasi ini yang tak menuntaskan problem serta tak memberikan efek jera bagi para pelaku. Tak jarang terjadi disparitas, hukum dapat disesuaikan dengan uang dan kekuasaan. Sehingga wajar apabila kasus-kasus kriminal sosial yang terjadi tidak pernah selesai dengan tuntas. Oleh karena itu, layakkah kita masih berharap pada sistem demokrasi ini? Padahal kita sadar, kerusakan tatanan sosial ini tampaknya tak akan pernah usai. Patah satu, tumbuh seribu. [] Wallahualam.


Penulis: Novita Sari Gunawan



Posting Komentar

0 Komentar