Membenahi Masalah Fundamental Sektor Pertanian




Profesi petani rupanya sepi peminat saat ini. Apalagi di kalangan milenial. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah petani per 2019 mencapai 33,4 juta orang. Adapun dari jumlah tersebut, petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya 8% atau setara dengan 2,7 juta orang.

Kemudian, sekitar 30,4 juta orang atau 91% berusia di atas 40 tahun, dengan mayoritas usia mendekati 50-60 tahun. Kondisi ini kian diperparah dengan penurunan jumlah regenerasi petani muda. Dalam data yang sama, dari periode 2017 ke 2018, penurunan jumlah petani muda mencapai 415.789 orang. (www.data.alinea.id) 

Rupanya hal ini menjadi kekhawatiran bagi Mentri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo dan Kementrian Pertanian hingga mendorong dan membuat berbagai program agar milenial terjun ke dunia pertanian dengan mandiri. “Sektor pertanian merupakan sesuatu yang menjanjikan bagi pemuda. Banyak peluang yang bisa dimanfaatkan, jika ingin hebat maka bertanilah”, tegas Mentan Syahrul.

Lebih lanjut Kepala BPPSDMP Dedi Nursyamsi menyampaikan bahwa Kementan memberikan perhatian yang luar biasa untuk membangun petani milenial melalui berbagai program, diantaranya yaitu pendidikan vokasi pertanian, pelatihan vokasi pertanian, Penumbuhan Wirausaha Muda Pertanian (PWMP), Program YESS (Youth Enterpreneurship And Employment Support Services), serta Duta Petani Milenial dan Duta Petani Andalan. (www.radarbogor.id) 

Inilah sekelumit masalah dalam dunia tani Indonesia. Tapi benarkah permasalahannya hanya sekedar pada regenerasi? Sehingga penyelesaiannya dengan berbagai program pencetak petani milenial saja. 


Masalah Fundamental Pertanian

Pertanian merupakan sektor penopang terbesar kedua bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) lapangan usaha pertanian atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai Rp2,25 kuadriliun sepanjang 2021. Nilai tersebut berkontribusi sebesar 13,28% terhadap PDB nasional.

Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional pada tahun 2021 tercatat turun 0,42 persen poin dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 13,7%. Jika dibandingkan dengan posisi 2010, kontribusi sektor pertanian juga menyusut sebesar 0,65 persen poin. Jika diukur menurut PDB atas dasar harga konstan (ADHK) 2010, sektor pertanian sepanjang tahun 2021 hanya tumbuh 1,84% dibanding tahun sebelumnya. (www.databoks.katadata.co.id) 

Pertanian Indonesia memang sedang mengalami permasalahan. Pada tahun 2010, Menteri Pertanian saat itu, Suswono,  menyatakan ada 10 masalah fundamental dalam pertanian kita. Adapun kesepuluh masalah tersebut yakni meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global, ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan, dan air. Kemudian, status dan luas kepemilikan lahan. 

Selain itu, keterbatasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usaha tani, lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh, masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi, belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik, rendahnya nilai tukar petani (NTP), serta kurang optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian, dan keterpaduan antar sektor. (www.economy.okezone.com) 

Senada dengan Mentan Suswono, Wakil Ketua KADIN Bidang Agribisnis, Pangan dan Kehutanan Franky Oesman Widjaja menyatakan, komoditas pangan juga menghadapi berbagai persoalan seperti lahan, benih, pupuk, irigasi, pembiayaan, pemasaran, serta sarana dan prasarana pertanian. Khusus di hortikultura ditambah fasilitas penyimpanan. Sektor peternakan juga menghadapi masalah bibit, lahan, pembiayaan dan kelembagaan peternak. Sementara sektor perikanan menghadapi kendala cold storage, pembiayaan, logistik, serta sarana dan prasarana. (www.kontan.co.id, 18/11/2020) 

Bahkan, Bank Indonesia (BI) menyatakan permasalahan pertanian mempunyai masalah dari sektor hulu hingga hilir. Menurut Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo, permasalahan tersebut antara lain adalah produksi, distribusi, dan keterjangkauan harga. “Masalah produksi terkait kapasitas, produktivitas petani, insentif untuk petani, dan data yang tidak akurat sehingga menimbulkan masalah dalam kebijakan impor,” ujar Dody. (www.kompas.com) 

Sementara itu, permasalahan dalam distribusi antara lain panjangnya tata niaga dan adanya pelaku-pelaku yang dominan di pasar. Di samping itu, pembentukan harga juga dikuasai oleh beberapa pelaku pasar saja. Dalam hal keterjangkauan harga. Bank sentral memantau, struktur pasar produk pertanian dikuasai oleh beberapa pelaku utama saja.

Inilah masalah fundamental dalam masalah pertanian. Tentu saja hal ini perlu diselesaikan. Penyelesaiannya pun tidak bisa diselesaikan hanya dengan tambal sulam dengan program-program yang tidak menyentuh masalah fundamental tersebut, seperti melibatkan milenial dalam sektor pertanian.


Islam, Ekosistem Kondusif Pertanian dari Hulu ke Hilir

Permasalahan dalam dunia pertanian bermula dari adanya liberalisasi investasi (neoliberalisme) yang dihalalkan dalam sistem kapitalisme. Sehingga sektor pertanian dari aspek produksi, distribusi dan keterjangkauan harga semuanya dikuasai oleh swasta yang mempunyai modal besar dan menyisihkan petani-petani kecil. 

Neoliberalisme juga menjadikan kian terpinggirnya peran sentral pemerintah sebagai penanggung jawab rakyat. Fungsi negara hanya sebatas regulator dan fasilitator. Pengelolaan kebutuhan dasar dan layanan publik diserahkan kepada mekanisme pasar dan dijalankan oleh swasta atau korporasi. Di sektor pertanian, tidak jarang muncul perusahaan integrator yang menguasai seluruh rantai usaha pengadaan pangan (mulai dari hulu ke hilir) yang berjalan dalam mekanisme persaingan bebas. Seperti dalam kasus minyak goreng yang sedang terjadi saat ini.

Minimnya peran negara dan berkuasanya oligarki juga menyebabkan arah tata kelola pertanian lebih mengikuti kehendak oligarki dibanding membangun ketahanan pangan bagi rakyat secara berdaulat dan mandiri. Hingga bisa kita lihat, kebijakan-kebijakan pemerintah yang lebih pro oligarki daripada petani. Misal, kebijakan pelarangan ekspor CPO malah ditenggarai akan mematikan petani-petani sawit kecil. Belum kebijakan impor pangan ketika panen raya, harga pupuk mahal, benih mahal, dan industrialisasi yang terkadang menggerus lahan pertanian. Kebijakan konsesi lahan pun semakin menggencet petani kecil. Akibat konsesi ini, lahan pun tidak terdistribusi dengan adil. Pengusaha mempunyai lahan yang sangat banyak. Sementara rakyat untuk sekedar punya lahan untuk rumah pun susah. Hingga tidak heran profesi ini semakin tidak menarik karena memang tidak menjanjikan.

Oleh karena itu, perlu solusi sistem hidup yang lain. Perlu sebuah sistem yang bisa menjadi ekosistem kondusif bagi tumbuhnya dunia pertanian. Sistem itu tidak lain adalah Islam.

Dalam dunia pertanian Islam memiliki aturan, sebagai berikut :

Pertama, Islam membuat lahan pertanian itu produktif dan melekatkan pengelolaan pertanian pada pemiliknya (intensifikasi pertanian). Jika pemilik lahan ingin tetap memiliki lahannya tapi tak mempunyai keahlian bertani. Maka ia harus memperkerjakan para petani. Tentu saja dengan upah yang memadai. Jika tidak, ya bersiap saja kehilangan kepemilikan atas lahannya. Karena Islam menetapkan jika lahan pertanian tidak digarap selama 3 tahun, negara akan mengambilnya dan menyerahkan kepada siapa saja yang mampu mengelolanya. 

Hal ini mendudukkan petani benar-benar sebagai tuan dari lahannya. Bukan jongos dari tuan tanah yang hanya memiliki lahan tanpa mampu untuk mengelolanya. Kalau sepeti ini posisi tawar petani menjadi sangat tinggi. 

Lalu, Islam pun melarang penyewaan atas tanah pertanian. Ini melindungi petani dari eksploitasi pemilik lahan. Karena dalam sistem sewa lahan, sang pemilik lahan tidak akan menanggung berbagai biaya produksi pertanian tapi tetap mendapatkan keuntungan dari uang sewa. Sementara segenap kerugian dan biaya ditanggung oleh petani. Padahal, risiko gagal panen dalam pertanian itu tinggi. Kalaupun panen raya, tak jarang harga justru merosot tajam. Akibatnya petani merugi, sekedar balik modal pun sulit.

Untuk memiliki lahan pertanian dalam Islam mekanismenya pun cukup mudah. Bisa dengan menghidupkan lahan mati atau dengan pemberian lahan dari negara. Hanya saja penguasaan lahan ini ditujukan untuk dikelola. Jika 3 tahun tidak dikelola maka lahan tersebut akan diambil oleh negara, selanjutnya diberikan kepada orang lain yang mampu mengelola lahan tersebut. Ini mekanisme ekstensifikasi pertanian dalam sistem Islam.

Kedua, untuk mendorong rakyat mengelola tanah, selain memberikan tanah, Khalifah juga akan membantu memberikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam mengelola tanah pertanian tersebut. Di antaranya adalah memberikan bibit, pupuk, sarana pertanian, dan membangun infrastruktur penunjang seperti irigasi dan pembangunan jalan untuk memudahkan distribusi hasil panen. Negara juga akan mendorong penerapan teknologi mutakhir dalam dunia pertanian.

Negara Islam pun akan mempermudah permodalan pertanian. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dalam Kitab al-Kharaj, bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra., misalnya, memberi petani Irak harta dari baitul mal untuk membantu mereka menanami tanah mereka, meskipun mereka belum masuk Islam. 

Ketiga, distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang praktik penimbunan, kecurangan, monopoli dan pematokan harga. Praktik monopoli pasar termasuk kartel adalah cara perdagangan yang diharamkan Islam. Praktik perdagangan seperti ini hanya menguntungkan para pengusaha karena mereka bebas mempermainkan harga. Negara khilafah akan memberangus praktik-praktik perdagangan yang diharamkan.

Negara Islam pun akan mempertimbangkan dengan baik, ditunjang data yang akurat, ketika ingin menetapkan kebijakan impor pangan. Walaupun impor pangan dibolehkan, namun jika akan berdampak buruk pada kemandirian, kedaulatan dan kemaslahatan bagi warga terutama petani, maka negara tak akan melakukan impor pangan. Negara akan mengupayakan kemandirian pangan.

Pengelolaan pertanian dalam sistem Islam inilah yang diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan fundamental dalam pertanian. Insya Allah ketika hal ini diterapkan bersama syariat Islam yang lain dalam naungan khilafah, maka persoalan pertanian akan hilang. Dan dunia pertanian akan menarik bagi setiap orang termasuk kaum milenial. Tidak akan terjadi kepunahan profesi petani. Wallahu a'lam.


Oleh : Rini Sarah








Posting Komentar

0 Komentar