Mengakhiri Ribetnya Pilkada

 




2024 panen Pilkada ( Pemilihan Kepala Daerah). Pada tahun 2022 dan 2023, banyak Kepala Daerah baik tingkat 1 maupun 2 yang berakhir masa jabatannya. Tercatat sepanjang tahun tersebut akan ada 272 Kepala Daerah yang lengser. Rinciannya 24 Gubernur dan 248 Bupati dan Walikota. 

Untuk mengisi kekosongan kepemimpinan sebelum dilaksanakannya Pilkada serentak pada 2024, posisi ke-272 kepala daerah ini akan diisi oleh pejabat atau Pj. Para Pj ini sebagian besarnya akan menjabat selama lebih dari satu tahun. (www.liputan6.com). Baru-baru ini, Mendagri, Tito Karnavian, telah melantik lima orang pilihan Presiden Jokowi sebagai Penjabat atau Pj Gubernur Provinsi Papua Barat, Gorontalo, Banten, Bangka Belitung dan Sulawesi Barat di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (12/5). (www.cnnindonesia.com) 

Ribet

Pengangkatan para Pj Kepala Daerah ini bukan tanpa menyisakan permasalahan. Dalam sebuah acara Talkshow Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) yang digelar secara daring, Senin 14 Maret 2022, Direktur Fasilitasi Kepala Daerah dan DPRD Kementerian Dalam Negeri, Andi Bataralifu menyatakan ada pembatasan kewenangan Pj Kepala Daerah. "Tugas dan wewenang penjabat kepala daerah itu sama dengan definitif, namun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya ada pembatasan sebagaimana tertuang dalam PP No.49 Tahun 2008," imbuhnya. (www.liputan6.com) 

Pembatasan wewenang ini tentu saja akan menyisakan problem. Jika ada permasalahan-permasalahan yang tidak bisa ditangani oleh Pj Kepala Daerah karena pembatasan, maka kemungkinan besar urusan akan naik ke Kemendagri. Bisa jadi saking banyaknya kasus yang harus ditangani pusat akan ada pengurusan kemaslahatan umat akan terbengkalai.

Selain itu, pada tahun 2024 nanti akan ada setidaknya 272 pilkada. Itu belum ditambah dengan pemilu presiden dan badan legislatif. Wow, Indonesia akan mendapatkan gelar kampiun negara penyelenggara pemilu terbanyak dalam satu tahun!

Di lain pihak, tentu saja perhelatan lima tahunan ini melahap biaya tinggi. Baik finansial maupun sosial. Presiden Joko Widodo menyebut pesta demokrasi tersebut diperkirakan akan menelan biaya Rp 101,4 triliun. Lebih lanjut, Presiden merinci bahwa anggaran tersebut akan dialokasikan untuk KPU sebesar Rp 76,6 triliun (sudah disahkan) dan Bawaslu Rp 33,8 triliun. (www.cbnindonesia.com) Biaya ini tidak termasuk biaya yang dikeluarkan oleh para kontestan.

Selain biaya yang super fantastis untuk pemilu/pilkada. Ada biaya sosial juga yang harus dibayar oleh masyarakat, yaitu timbulnya konflik horizontal. Baik yang sampai kepada konflik fisik berupa perkelahian selama kampanye seperti yang terjadi di Kendal dan Semarang pada tahun 2004 lalu. Atau konflik di medsos hingga berujung terpolarisasinya netizen  menjadi kelompok kampret dan cebong. 

Proses pengangkatan pemimpin di Indonesia pun begitu makan waktu. Pada tahun 2020 saja memakan waktu 3 bulan dari masa kampanye resmi yang ditetapkan KPU hingga waktu pencoblosan. (www.tirto.id) untuk pemilu 2024 nanti perhelatan akan dimulai pada bulan Agustus 2022 dan akan berakhir pada Oktober 2024 untuk tingkat pusat. Untuk tingkat daerah tentu lebih lama lagi. 

Dengan panjangnya durasi acara dan banyaknya pemungutan suara yang akan dilakukan, tentu saja akan membutuhkan tenaga yang banyak juga. Mereka pun akan dituntut bekerja bagai kuda. Hingga ada kasus para anggota KPPS yang meninggal karena kelelahan seperti yang pernah terjadi di pemilu tahun 2019 kemarin. Ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit setelah perhelatan ini. Ini dikatakan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman. Menurut dia, beban kerja di Pemilu 2019 cukup besar sehingga menjadi salah satu faktor banyak petugas yang sakit atau meninggal dunia.(www.kompas.com) 

Sungguh sistem pengangkatan pemimpin baik daerah maupun pusat yang ribet dan menelan biaya begitu besar. 

Pengangkatan Kepala Daerah Anti Ribet

Itulah pilkada dalam sistem demokrasi. Begitu ribet dan menelan biaya begitu besar. Bahkan hingga menelan korban jiwa. Hasilnya? Bisa kita saksikan sendiri bagaimana para pemimpin hasil proses demokrasi mengurus kepentingan rakyatnya.

Keribetan ini sebenarnya bisa kita akhiri. Jika kita mau untuk meninggalkan demokrasi dan beralih pada sistem pemerintahan Islam. Dalam buku Struktur Negara Khilafah ( Pemerintahan dan Administrasi) dijelaskan bahwa pemimpin daerah yang disebut Wali (daerah tingkat 1) dan Amil (daerah tingkat 2) diangkat lewat penunjukan oleh Kepala Negara (Khalifah). Mereka diberhentikan pun oleh Khalifah.

Rasulullah saw., dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, telah mengangkat para wali untuk berbagai negeri. Beliau menetapkan bagi mereka hak memutuskan persengketaan. Beliau telah mengangkat Muadz bin Jabal menjadi wali di wilayah Janad, Ziyad bin Walid di wilayah Hadhramaut, dan Abu Musa al-‘Asy‘ari di wilayah Zabid dan

‘Adn.

Rasulullah saw. memilih para wali dari orang-orang yang memiliki kelayakan (kemampuan dan kecakapan) untuk memegang urusan pemerintahan, yang memiliki ilmu, dan yang dikenal ketakwaannya. Beliau memilih mereka dari kalangan orang-orang yang dapat melaksanakan tugas dengan baik dalam urusan yang menjadi kewenangannya dan yang dapat ‘mengairi’ hati rakyat dengan keimanan dan keagungan (kemuliaan) negara. Sulaiman bin Buraidah menuturkan riwayat dari bapaknya yang berkata: Rasulullah saw. itu, jika mengangkat seorang amir pasukan atau detasemen, senantiasa berpesan, khususnya kepada mereka, agar bertakwa kepada Allah, dan kepada Muslim yang ikut bersamanya agar berbuat baik. (HR Muslim).

Jadi walaupun wali dan amil langsung diangkat oleh Khalifah, insya Allah akan terpilih orang-orang yang benar-benar kapabel dan amanah. Selain itu, Wali dan Amil pun akan tetap dalam kontrol Khalifah. Karena Khalifah mempunyai kewajiban untuk itu. Sebagaimana dilakukan oleh Umar bin Khaththab ra. 

Umar bin al-Khaththab sangat ketat mengontrol para wali. Beliau menunjuk Muhammad bin Maslamah untuk menyelidiki kondisi mereka dan mengaudit mereka. Beliau mengumpulkan para wali pada musim haji untuk melihat apa yang telah mereka lakukan; beliau mendengarkan keluhan-keluhan rakyat terhadap mereka, mengingatkan mereka tentang urusan-urusan kepemimpinan, dan untuk mengetahui kondisi mereka. Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab bahwa ia pernah berkata pada suatu hari kepada orang-orang yang berada di sekitarnya, “Bagaimana pendapat kalian jika aku mengangkat amil bagi kalian dari orang yang terbaik yang aku ketahui, lalu aku perintahkan ia berlaku adil, apakah aku telah menunaikan apa yang dibebankan kepadaku?” Mereka menjawab, “Benar.” Umar berkata, “Tidak, hingga aku melihat aktivitas-aktivitas mereka, apakah ia melakukannya sesuai dengan yang aku perintahkan atau tidak.”

Umar juga sangat ketat dalam meminta pertanggungjawaban para wali dan amilnya. Begitu ketatnya Umar dalam meminta pertanggungjawaban sampai salah seorang dari mereka diberhentikan karena suatu syubhah (kesamaran) yang tidak didukung oleh bukti. Umar telah memberhentikan sejumlah wali dan amil karena adanya keraguan yang bahkan tidak sampai derajat syubhah.

Pada suatu hari, Umar pernah ditanya tentang hal itu, lalu ia berkata, “Sesuatu yang mudah yang menjadikan suatu kaum lebih baik adalah aku mengganti untuk mereka seorang amir untuk menduduki jabatan amir yang lain.” Meskipun sedemikian ketatnya Umar terhadap para wali, beliau tetap bersikap terbuka terhadap mereka dan memelihara kemuliaan mereka dalam (menjalankan urusan) pemerintahan. Beliau biasa mendengarkan mereka dan memperhatikan argumentasi mereka.

Jika argumentasi mereka memuaskannya, Umar tidak menyembunyikan kepuasannya atas argumentasi tersebut dan setelah itu ia memberikan pujian kepada amilnya. Pada suatu hari, telah sampai berita bahwa amilnya di Himsh, yaitu Umair bin Saad, berkata dan ketika itu ia sedang berada di atas mimbar, “Islam akan tetap kokoh selama penguasa itu bersikap keras.

Sikap keras penguasa itu bukan berupa pembunuhan dengan pedang atau pukulan dengan cemeti, tetapi memutuskan perkara secara benar dan mengambil secara adil.” Lalu Umar berkata tentang hal itu, “Aku merasa senang, seandainya aku mempunyai lelaki semisal Umair bin Saad, pasti aku akan meminta tolong kepadanya untuk mengurusi aktivitas-aktivitas kaum Muslim.”

Ketika Wali atau Amil diangkat dan diberhentikan oleh Khalifah, jangan takut rakyat tidak bisa berbuat apa-apa jika ada ketidaksukaan atas walinya. Jika penduduk suatu tempat menunjukkan ketidakridaannya pada Wali atau Amilnya, maka Khalifah bisa memberhentikan Wali atau Amil tersebut. Tentu saja dengan prosedur yang sesuai dengan syariah. Rasulullah saw. pernah memberhentikan ‘Ila’ bin al-Hadhrami yang menjadi amil Beliau di Bahrain karena utusan Abd Qays (seorang tokoh yang merepresentasikan warga)  mengadukannya.

Inilah sebuah sistem pengangkatan kepala daerah anti ribet yang diamanahkan Allah Swt. kepada kaum muslim. Irit dan tidak memerlukan waktu lama. Karena hanya tinggal ditunjuk saja. Konflik horizontal antar warga pun insya Allah bisa dihilangkan.

Sistem pengangkatan kepala daerah ini tentu saja akan terlaksana jika kaum muslim kembali ke pangkuan syariah Islam kafah dalam bingkai negara Khilafah. Sebuah negara yang akan melahirkan para pemimpin amanah dalam mengurus rakyatnya. Wallahualam bishowab. 

Oleh Rini Sarah

Posting Komentar

0 Komentar