Merajut Silah Ukhuwah Meraih Kemenangan Islam, Liqo Syawal Tokoh Muslimah Kota Tangerang Selatan 1443 H



Liqo Syawal tahun ini terasa begitu istimewa, setelah dua tahun terhalang pandemi, akhirnya agenda rutin tahunan ini bisa diselenggarakan secara offline. Bertempat di ruang pertemuan sebuah restoran di daerah Tangerang Selatan yang dihadiri kurang lebih 100 tokoh muslimah kota Tangerang Selatan, acara ini menjadi ajang temu wajah pertama kalinya sejak dua tahun  yang lalu sekaligus temu kangen para tokoh muslimah untuk merajut kembali silah ukhuwah yang sempat terputus akibat pandemi.

Liqo Syawal ini bukan sekedar berkumpul melepas rindu dan mengikat tali silah ukhuwah saja tetapi Liqo Syawal ini menghadirkan juga diskusi yang bertujuan untuk menyamakan persepsi bagaimana kemenangan Islam itu dapat diraih kembali sebagaimana yang pernah tercapai pada masa silam. Terlebih acara ini juga memanfaatkan momentum bulan syawal setelah umat Islam menjalankan ibadah puasa Ramadan, Syawal merupakan bulan kemenangan bagi orang-orang yang beriman yang senantiasa meningkatkan dan menjaga ketakwaannya selepas Ramadan.

Sejalan dengan tema yang diusung dalam Liqo Syawal kali ini, diskusi dibuka dan dimoderatori dengan apik dan luwes oleh Ustadzah Reni Tri Yuli Setiawati menghadirkan pembicara Kak Annisa Ebenna Ezeria atau yang akrab disapa dengan sapaan Kak Tere yang merupakan aktis hijrah dan mantan anggota DPR RI sebagai pembicara pertama dan menghadirkan pula Ustadzah Iffah Ainur Rochmah yang merupakan aktivis dakwah dan pemerhati dunia Islam sebagai pembicara kedua.

Mengawali diskusi ini dengan menyimak pemaparan dari Kak Tere bagaimana pandangan beliau tentang ajaran Islam, Kak Tere mengatakan bahwa Islam adalah ajaran yang paling rasional dan alim dari yang saya pelajari, Islam adalah ajaran yang sempurna, dan sesungguhnya kesempurnaan hanya ada pada Islam. Kak Tere mengatakan melalui Islam, ia mengetahui siapa Rabb yang sesungguhnya dan Kak Tere makin menyadari bahwa Islam bukan hanya ada dalam perkara ibadah tetapi ternyata juga ada pada perkara kehidupan sehari-hari yang jauh lebih luas, dan hal inilah yang membuat Kak Tere makin totalitas dalam menjalankan seluruh ajaran Islam.

Pernyataan ini tentunya bukan sembarang pertanyaan, karena Kak Tere sendiripun sempat  merasakan dan juga terjun langsung masuk ke dalam parlemen yang pada saat itu dianggap dapat memberikan jalan keluar bagi permasalahan suara perempuan di parlemen dan menjadi solusi dari permasalahan umat pada skala yang lebih luas, tetapi apalah jadinya, harapan itu pupus, ibarat jauh panggang dari api, karena kenyataan yang didapati ketika masuk ke dalam parlemen justru makin menjauhkan diri dari solusi hakiki yang selama ini dibayangkan, bukanlah solusi yang didapat tetapi malah membuat kesehatan akal dipertaruhkan begitu yang diungkapkan oleh Kak Tere, sebab apa yang dilakukan di parlemen faktanya bukan membawa suara rakyat tetapi justru membawa suara fraksi yang sarat dengan berbagai kepentingan, tidak hanya itu ternyata dengan menjadi anggota DPR tidak serta merta mengetahui seluruh seluk beluk lembaganya seperti yang diduga banyak orang selama ini, tetapi justru mereka banyak tidak tahu apa-apa. Inilah wajah sebenarnya dari lembaga kerakyatan yang digadang-gadang sebagai representasi dari rakyat.

Menanggapi pengalaman yang dialami oleh Kak Tere, Ustadzah Iffah sebagai pembicara kedua mengatakan bahwa memang begitulah wajah asli dari demokrasi. Sayangnya, banyak orang termasuk dari kalangan umat Islam sendiri yang masih meletakkan harapan besar terhadap sistem demokrasi, berharap jika sistem ini mampu menyelesaikan problematika umat dan membawa umat menuju kemenangan Islam.

Umat Islam hanya berfikir demokrasi secara proses dan prosedural saja tanpa berfikir realitas praktek sistem demokrasi di lapangan dan sejarah bagaimana demokrasi itu sendiri lahir. Akibatnya, umat Islam sibuk mencari-cari sosok yang tepat untuk menyuarakan Islam dan berupaya sekeras tenaga memenangkan sosok tersebut agar dapat memasuki parlemen dan berteriak lantang memenangkan Islam. Apakah berhasil? Nyatanya hingga saat ini tidak, ibarat memasukkan air yang jernih kedalam wadah yang kotor, air itu tidak mampu menjernihkan wadah yang kotor tetapi justru air yang jernih itu terkotori dengan wadah yang kotor tersebut. Demikian pula yang terjadi selama ini pada orang-orang dianggap dapat membawa perubahan untuk Islam.

Ustadzah Iffah kemudian menjelaskan jika demokrasi lahir dari penolakan terhadap hukum-hukum agama, sistem ini lahir dari ketidakpuasan rakyat terhadap praktek teokrasi yang diterapkan penguasa pada saat itu, pun para agamawan di kalangan mereka bertindak sebagai corong kedzaliman penguasa dengan bertindak semaunya, terlebih di agama mereka aturan agama tidak diatur menyeluruh  dan menyentuh seluruh aspek kehidupan seperti pada hukum Islam, walhasil terjadilah pergolakan dan pertentangan yang melahirkan sebuah pemikiran tentang pemisahan agama dari kehidupan yang merupakan pondasi dari pemikiran demokrasi, yang kemudian melahirkan trias politica dengan maksud menafikan kekuasaan secara absolut yang bertumpu hanya pada satu orang.

Lalu, bagaimana dengan dunia Islam? Menurut Ustadzah Iffah  dunia Islam menjadi korban, ditengah kemunduran umat Islam yang meninggalkan bahasa Arab dan pintu Ijtihad, ditambah runtuhnya perisai umat Islam pada tahun 1924, umat Islam disodorkan sistem demokrasi dengan iming-iming dapat meraih kemenangan Islam melalui jalan sistem demokrasi, inilah kekeliruan terbesar umat Islam karena menggunakan sistem yang justru bertentangan dengan ajaran Islam.

Jika ingin meraih kemenangan Islam, tentunya harus menjalankan Islam secara Kaffah baik dari pondasinya, sistemnya hingga peraturannya yang datangnya harus dari Islam tidak terkontaminasi dengan sistem selain Islam, selain itu Ustadzah Iffah juga mengatakan bahwa terkait kepemimpinan kita harus melihat pada dua aspek, yakni orang dan sistemnya, dua aspek ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, seseorang yang dinilai cakap sekalipun tidak akan berdaya jika sistem yang ada adalah sistem yang rusak, yang bukan berasal dari Allah. Pemimpin yang baik dunia dan akhirat adalah yang mampu menjalankan pemerintahan sesuai dengan hukum Allah secara total dan merdeka dan independen bukan pemimpin boneka.

Maka Ustadzah Iffah mengingatkan, jangan mudah silap mata, jangan mudah tergoda dengan kemasan tanpa mengetahui konten apa yang dibawanya, artinya seorang pemimpin idaman yang mampu membawa Islam pada kemenangan bukanlah lahir dari sistem demokrasi yang bertentangan dengan Islam, meski seseorang itu terlihat mumpuni tetapi tidak berniat mengaplikasikan hukum Islam tetaplah dia bukan seroang pemimpin idaman. Oleh karenanya diperlukan pembinaan umat yang memiliki kesadaran pada politik Islam, yang menjalankan Islam secara menyeluruh dan menyakini bahwa mengembalikan kehidupan Islam kembal di tengah-tengah masyarakat merupakan solusi yang hakiki membawa kemenangan Islam dalam genggaman.

Sebagai penutup agenda temu wajah ini, kak Tere menyelipkan sebuah pernyataan yang menyentil, jika kita cermati sepanjang kehidupan demokrasi berjalan, demokrasi justru membawa umat Islam berjalan mundur, bukan bergerak maju. Ustadzah Iffah mengamini pernyataan yang menyentil ini dengan menambahkan bahwa adlah sebuah halusinasi dan ilusi ketika umat Islam masih terus berharap pada sistem demokrasi untuk meraih kemenangan Islam. 


Reporter: Sari Hermalina Putri (Pemerhati sosial dan politik)

Posting Komentar

0 Komentar